Part 3

14.5K 944 35
                                    

Happy reading 💙
Jangan lupa vote, coment and share!

***

Pulang cepat adalah hal yang paling menyenangkan. Seluruh siswa-siswi SMA Bintang berhamburan keluar sekolah setelah mendengar bel berbunyi. Beberapa anak menunggu jemputan di halte depan sekolah, dan sebagian langsung pulang ke rumah karena membawa kendaraan.

Saat ini, Zahra tengah duduk di halte yang ada di sebrang sekolah bersama beberapa anak yang sedang menunggu jemputan seperti dirinya. Lama. Padahal, tadi dia sudah menyuruh kakaknya untuk cepat.

Rani sudah pulang duluan bersama Dion. Fakta yang memang sudah Zahra duga---Rani berpacaran dengan Dion. Sedangkan Arvin pulang sendiri, begitu juga dengan Rakha.

Cowok pemilik nama lengkap Aurick Rakha Nugraha itu memang tampan. Tetapi sayang, sikapnya dingin, cuek, dan mata tajamnya selalu ia tunjukkan. Membuat orang lain takut kalau melihatnya. Postur tubuhnya ideal dengan rambut hitam gelap, hidung mancung, alis mata tebal, bulu mata yang lentik, dan bibir merah alami. Oke, katakanlah Zahra sudah mencuri pandang dengan waktu yang lama.

Ingat, tadi sebelum dia tidur di kelas. Dia sempat melihat Rakha yang sedang terpejam. Hanya beberapa detik melihat saja, namun Zahra sudah banyak menyimpulkan tentang cowok itu. Oh tidak, dia bukan peramal atau psikolog. Dia tahu sedikit dari apa yang dia lihat saja. Selebihnya, dia belum tahu. Dan untuk apa juga dia tahu lebih banyak tentang cowok itu. Memang dia siapa?

Mobil Honda Jaz berwarna putih berhenti di depan halte. Zahra yang melihatnya langsung berdiri dan menghampiri mobil yang merupakan jemputannya.

"Lama banget tau," cibir Zahra yang sudah duduk di samping kursi kemudi.

"Tadi kakak lagi di perpustakaan, Ra," balas kakaknya. Aldo.

"Gimana sekolah baru?" tanya Aldo. Menoleh sebentar, kemudian fokus kembali pada jalanan.

Zahra tersenyum. "Sekolahnya bagus, Ara juga udah punya teman loh...," balas Zahra.

"Bagus kalau gitu. Nanti pulang sekolah langsung bersih-bersih," ucap Aldo yang fokus menyetir.

"Siap bos ku."

Mobil putih itu sampai di depan pagar. Rumah bertingkat dua dengan cat berwarna cream berpadu coklat terlihat sepi.

"Bunda nggak ada?" tanya Zahra.

"Iya. Nanti bunda pulangnya agak sorean," kan, benar dugaannya.

"Terus Kakak mau ke mana?"

"Mau pergi ke rumah teman, bentar. Mau ambil laptop, masih di mana soalnya."

Zahra mengembuskan napasnya. Ia turun dari mobil dan masuk ke rumah. Kendaraan beroda empat yang dikendarai kakaknya pun sudah melesat begitu saja.

Masuk ke kamarnya, Zahra membaringkan tubuhnya di atas kasur dengan sprai berwarna biru. Matanya melihat langit-langit kamarnya yang berwarna putih. Mendadak, dia ingat yang Rani katakan tadi di sekolah mengenai Rakha.

Kenapa Rani bilang begitu padanya?

Huhh, daripada repot-repot memikirkan hal itu. Tunggu saja, nanti Rani akan cerita padanya. Lebih baik dia bersih-bersih sekarang.

***

Rakha duduk di sofa kamarnya dengan memegang buku kecil berwarna biru langit. Buku yang penuh dengan tulisan tangan Dia, mantan kekasih Rakha. Disampul depannya terdapat foto Dia bersamanya saat mereka berada di rumah pohon. Saat itu, adalah hari jadi mereka yang ke 1 tahun. Foto itu memperlihatkan kalau mereka tengah bahagia.

Rakha membuka buku tersebut. Membaca lembar demi lembar buku yang berisi tulisan tangan Dia. Pertahanannya runtuh, dadanya terasa sesak dan matanya pun mulai mengeluarkan air mata. Ia tak sanggup, ia tak sekuat yang Dia katakan. Rakha menutup buku kecil itu dan menyimpannya kembali kedalam laci meja belajarnya.

Tok.. Tok.. Tok..

"Rakha!" Suara Khairini, kakaknya, berteriak sembari menggedor pintu kamarnya dari luar.

Dengan cepat Rakha mengusap air matanya, tak ingin terlihat lemah di hadapan kakaknya. Cowok itu menarik napas, lalu beranjak dari duduknya.

"Kenapa?" tanya Rakha saat membuka pintu kamarnya. Ada Khairin yang tengah bersedekap dada.

"Kamu nangis?" bukannya menjawab, Khairin justru bertanya. Cewek itu menyipitkan matanya, menginterogasi.

"Nggak."

"Bohong!" sergah Khairin, cepat.

"Kakak tau kalo kamu nangis," Rakha hendak menjawab, tapi Khairin lebih dulu melanjutkan kalimatnya. "Pasti habis baca buku dari Dia?" tebak Khairin.

"Nggak usah sok tau!" ketus Rakha.

"Ya, ya, ya ... Terserah kamu lah," ucap Khairin dengan malas.

"Kakak kenapa manggil?" tanya Rakha lagi, karena pertanyaannya tadi belum sempat dijawab.

"Oh, itu. Kakak mau pergi ke kantor papa. Kamu mau keluar, nggak?"

Rakha mengendikkan bahunya. "Paling main ke rumah Dion," balasnya.

"Main terus. Banyak-banyakin belajar, udah kelas sebelas. Bentar lagi kelas dua belas," kata Khairin menasihati.

"Belajar terus, capek tau! Udah, sana pergi!" usir Rakha, membalikkan bahu kakaknya. Mendorongnya---menuruni anak tangga hingga berjalan menuju pintu depan.

"Udah berani ngusir, ya?" sindir Khairin.

Rakha tersenyum singkat dan menganggukkan kepalanya. Meski kakaknya tidak tahu.

"Iya, Rakha nggak ada uang receh soalnya."

"Awas, ya!" ancam Khairin. Keduanya tertawa.

"Kalau mau pergi nanti jangan lupa kunci rumah," pesan Khairin.

"Kan ada Bi Inah."

Khairin memutar bola matanya dengan malas. Berdebat dengan adiknya itu tidak akan pernah selesai. Dirinya ngotot dan Rakha yang tidak mau mengalah. Kalaupun mengalah, itu tandanya dia sedang tidak mood.

Senyum tipis yang Rakha tunjukkan pada Khairin tadi kian memudar. Matanya menatap mobil sedan kakaknya yang keluar dari perkarangan rumah. Sepi. Hanya ada dia, Bi Inah dan security.

Pengin main ke rumah Dion. Tapi, mengingat kejadian di kantin sekolah tadi, Rakha mengurungkan niatnya untuk ke sana. Bukannya tidak mau meluruskan masalah. Namun, Rakha pikir keduanya butuh waktu tanpa dirinya. Dia akui, dia selalu membuat keduanya kesal karena sikapnya yang begini.

Satu tahun sudah. Namun, semuanya masih terasa menyakitkan. Kehilangan seseorang yang sangat kita sayang, siapa yang tidak akan sedih?

Oke, mungkin Rakha lebay. Tapi percayalah, tidak mudah untuk melupakan seseorang yang pernah mengisi hari-hari kita. Melupakannya lalu mencari pengganti yang baru. Rakha tidak bisa melakukan hal itu. Perasaannya masih tetap sama meskipun tidak akan lagi terbalas. Satu yang Rakha minta. Dari saat itu sampai sekarang.

Semoga Dia bahagia di sana.

***

Gimana setelah baca part ini?

Follow Ig: @puspasetyaa_

Puspa Setyaningrum

Prabumulih, 26 Januari 2020

Zahra & RakhaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang