• 21 •

77.8K 3K 26
                                    

"Setidaknya, kita pernah saling berbagi kebahagiaan di masa lalu. Soal masa depan, biarlah takdir yang menentukan."
-

------------------------------------------------------------

Jam yang terpasang di dinding ruang rawat inap Reynand sudah menunjukkan pukul Tiga lewat, tapi Reynand masih belum juga sadarkan diri.

Hening.

Meskipun di situ ada Raffa yang masih terbangun.

Anak lelaki itu duduk persis di samping tempat tidur Reynand sambil memainkan game lewat ponselnya. Matanya masih belum mengantuk, ia bahkan belum ada niatan untuk tidur.

Gio dan Candytha memutuskan untuk pulang, mereka mempercayakan semuanya kepada pihak rumah sakit dengan tetap mengerahkan beberapa orang kepercayaannya untuk menjaga Dua putra mereka di pintu depan ruangan.

Sebenarnya Raffa juga telah dipaksa untuk ikut pulang. Candytha khawatir putranya itu kelelahan karena baru saja mengikuti perlombaan. Tapi anak itu menolak dengan tegas

Raffa masih memainkan ponselnya, hingga irama dari monitor elektrokardiogram yang terhubung dengan tubuh Reynand terdengar berbeda. Anak itu segera kehilangan fokusnya dalam bermain game saat mendengar suara deru nafas kakaknya yang masih belum tersadar itu kian cepat, membuat dadanya yang ditempeli banyak elektroda ikut naik turun tak stabil.

"Kak?!" Raffa mengguncang tubuh Reynand.

Percuma. Reynand tak merespons, wajahnya terlihat semakin memucat.

"Kak Rey! Bangun, Kak!" Raffa berseru semakin panik, tak tega melihat kakaknya meringis kesakitan.

Tak ingin buang-buang waktu, Raffa segera berlari, berniat memanggil dokter yang berjaga. Tepat sebelum Raffa membuka pintu, Dua orang perawat lebih dulu membuka pintu itu dan memasuki ruang rawat inap Reynand. Mereka datang bukan karena tau apa yang terjadi, mereka hanya ditugaskan untuk mengecek kondisi tubuh Reynand setiap setengah jam sekali.

"Ada apa, Dek?!" Salah seorang dari mereka bertanya cepat.

"Jantungnya kumat!" jawab Raffa.

Tanpa pikir panjang, mereka segera mengecek keadaan Reynand, kemudian menghubungi Dr. David dan yang lainnya, meminta mereka segera datang.

🍁🍁🍁

Sudah hampir Dua hari Reynand tak sadarkan diri. Kondisinya masih sering tak stabil setiap beberapa jam, menimbulkan drama tak berkesudahan bagi Dr. David yang paling bertanggung jawab mengatasinya.

"Den Raffa. Maaf sekali, tapi Aden disuruh untuk pulang malam ini," Pak Asep berbisik halus, takut emosi Raffa memuncak.

Raffa masih memperhatikan Reynand, berharap Reynand akan segera membuka kedua matanya, melihatnya, kemudian memarahi dan mengusirnya seperti biasa.

Itu lebih baik ketimbang melihat matanya terus-terusan terpejam seperti saat ini, terbaring lemah dengan bantuan alat-alat medis yang melekat menopang hidupnya. Seolah tanpa alat-alat itu, Reynand tak akan bisa diselamatkan.

Raffa selalu takut setiap kali melihat kondisi kakaknya seperti ini. Ia bahkan tak bisa membayangkan seberapa besar rasa sakit yang selalu berhasil membuat raut wajah kakaknya yang selalu datar itu jadi berubah.

ReynandhitaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang