• 66 •

72.4K 3.3K 1.7K
                                    

Percayalah, Tuhan tidak akan pernah membiarkanmu berjuang sendirian.

Kadang, kamu hanya perlu lebih peka untuk menyadarinya.

Andhita Zheanna Devaliant
______________________________________

Warning! 4000+ words
(Asli ini banyak banget, silahkan siapin cemilan-nya gengs)

Pak Bimo memarkirkan kendaraan yang dibawanya tepat di depan pintu masuk. Lewat miror view di atasnya, ia bisa melihat Reynand masih bersandar di tempat duduknya dengan mata terpejam. Pandangan bapak itu kini berganti ke arah Gio. Pria itu kini terlihat sedang mengamati putranya dengan khawatir, sebelah tangannya tertahan di udara. Dengan penuh pertimbangan, ia akhirnya menepuk pelan bahu Reynand.

"Bangun, Rey. Kita udah sampai," ucap Gio dengan nada suaranya yang terdengar begitu lembut.

Kali ini, Gio-lah yang ikut menaiki kendaraan putranya. Dalam perjalanan pulang, mereka berdua akhirnya pindah mobil karena beberapa peralatan medis darurat hanya terpasang di kendaraan yang sering dipakai Reynand.

Reynand membuka kelopak matanya, iris terang itu sempat terdiam untuk beberapa saat. Kepalanya masih bersandar lemah ketika ia menoleh untuk menatap manik terang sang ayah. Sebenarnya, tanpa diberitahu pun ia tau kalau mereka sudah sampai. Ia bisa merasakan saat kendaraan yang dinaikinya berhenti, karena sebenarnya selama perjalanan ia tak tidur. Lagipula, perjalanan mereka terlalu singkat bagi Reynand untuk bisa mengistirahatkan tubuhnya dengan tidur.

Ia masih diam karena merasa belum cukup kuat untuk berjalan memasuki rumah. Sejak insiden tadi, kondisinya masih belum pulih. Di sampingnya, Gio tampak memperhatikan dan menunggu.

"Rey," panggil Gio. "Are you okay?"

Reynand masih diam, anak itu kini melihat ke arah manik Pak Bimo yang sejak tadi memperhatikannya lewat cermin. Sama seperti ayahnya, bapak itu juga terlihat cukup khawatir, menunggu jawaban darinya. Reynand ingin sekali berbohong, tapi ia sudah tak bisa memaksakan tubuhnya lagi.

"Masih pusing dan sesak ya?" tebak Gio yang mengerti alasan diamnya Reynand.

Reynand mengarahkan sorot redup matanya ke luar kaca jendela ketika memberi anggukan lemah. Ia tak ingin Gio melihat kilat matanya yang kini berkaca-kaca karena emosinya masih belum stabil. Ada begitu banyak hal yang ada dalam pikirannya saat ini.

"Bagaimana kalau kita panggil dokter David ke sini?" tawar Gio. Jika tak memikirkan perasaan putranya, ia pasti sudah menghubungi Dr. David tanpa meminta persetujuan.

Reynand memberi gelengan pelan. Gio yang sudah menebak hal itupun hanya bisa memberi anggukan pasrah meski Reynand tak melihatnya, "Okay," ucap pria itu.

"Kita naik pakai kursi roda, ya? Ayah akan antar sampai ke kamar," bujuk Gio dengan hati-hati. Pria itu tau Reynand paling tak suka ditawari hal semacam ini. Tapi, ia juga tak bisa membiarkan Reynand memaksakan kondisinya lagi.

Dengan berat hati, Reynand akhirnya memberi anggukan samar. Saat ini, ia tak punya pilihan. Posisi kamarnya cukup jauh dan ia sadar kalau tubuhnya masih belum bisa dipaksa untuk bekerja sama.

●●●

"Terima kasih, Bim," ucap Gio.

Bapak itu memberi anggukan dan senyum sopan, tangannya bergerak merapihkan bekas infusan dan oksigen yang tadi sempat Reynand gunakan, "Sama-sama, Tuan," ucapnya.

ReynandhitaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang