Bagian 5

290 15 8
                                    

Rumah disudut jalan itu tampak sepi sehingga bunyi motor yang dikendarai Kumala deru mesinnya menggebu. Seperti biasa, Kumala mengucap salam sambil menuntun sepedanya memasuki sebuah ruangan kecil disamping rumah untuk memarkir motornya. Parkiran motor itu dahulu yang digunakan Ibu Kumala untuk membuka warung gado-gado yang kemudian mengantarkan Kumala menjadi seorang wanita berpendidikan seperti sekarang ini.

Setelah menyimpan motornya, Kumala segera berlari kecil menuju dapur yang memang sebelahan dengan garasi mungilnya. Di dapur, terlihat ibu Kumala yang sedang mondar-mandir menyiapkan makan malam. Seperti biasa, Kumala segera menyapa ibunya dan bercerita aktivitas hariannya. Sementara Kumala masih bercerita dengan riang, suara mobil yang cukup halus sayup-sayup terdengar berhenti didepan rumah Kumala.

"Apa yang datang Pakdhemu ya? Tapi kok pakai mobil bagus punya siapa?" Gumam Ibu Kumala sambil mengintip dibalik tirai ke halaman rumah yang sempit itu.

Kumala spontan mengikuti gaya mengintip ibunya sambil membenahkan letak kacamata yang agak melorot dari hidungnya. "Mobil majikan Pakdhe mungkin, Bu... Pakdhe kan sekarang kerjanya jadi sopirnya orang kaya... ya kalau dulu jadi sopir taxi, kalau kesini ya pakai taxi....hehehheeee......"

"HHuussh! Kamu ini.... Segera bersih diri sekarang, masak iya kamu nemui pakdhe masih pakai baju kantor?" sergah Ibu diakhiri senyum kepada putri tunggalnya.

Kumala menjawab dengan senyum dan anggukan sembari segera melesat sesuai perintah ibunya. Ibu Kumala menghambur kedepan untuk membuka pintu dan mempersilahkan tamunya masuk. Benarlah yang datang memang tamu yang ditunggu-tunggu, Pakdhe Mahmud.

Pakdhe Mahmud adalah kakak almarhum ayah Kumala. Beliau asli orang Semarang yang dahulunya berprofesi sebagai sopir taxi di Semarang sana. Namun, sejak beliau mengalami katarak beliau tidak lagi bekerja. Beberapa kali Kumala dan Ibunya menjenguk beliau di Semarang. Dan minggu lalu Pakdhe Mahmud menelpon Kumala menyampaikan bahwa sakit kataraknya sudah sembuh dengan bantuan biaya operasi dari orang kaya yang satu kota dengan Kumala. Tidak hanya dibantu biaya operasi, tapi setelah Pakdhe sembuh, orang kaya itu memberi pakdhe pekerjaan sebagai sopir pribadinya.

Sebenarnya Pakdhe Mahmud sudah dua bulan lebih bekerja di kota ini, tapi baru kali ini ada kesempatan silaturrahim ke rumah Kumala.

"Sehat, Mas Mahmud?"

"Alhamdulillah sehat.... Kamu sama anakmu sehat juga kan? Berapa tahun ya kita tidak bertemu?"

"Makan apa malam ini? Kumala yang masak?"

"Begitulah, Mas.... Kumala yang beli buku resepnya, saya yang masak....."

Hahahahahaaaaa........

Di kamar Kumala, wajah merah merona mendengar gurauan itu menempel dengan asesoris kacamata tebalnya yang tidak pernah terpisahkan. Kumala senyum-senyum sendiri didepan cermin mendengar Pakdhe dan ibunya bergurau hangat membicarakan dirinya. "Ah, Ibu.... Kapan aku bisa memasak sepintar Ibu?" Desahnya.

"Awalnya saya mau kesini sendiri pakai angkot, tapi ternyata majikan saya ini meminta saya langsung kesini setelah beliau saya antar kemana-mana seharian...."

Suara Pakdhe Mahmud masih terdengar oleh Kumala saat ia hendak membuka pintu untuk menemui Pakdhenya.

Kumala segera menyimpulkan dalam hatinya, "Ternyata benar....Pakdhe Mahmud datang dengan majikannya....."

"Assalamu'alaikum, Pakdhe....." Salam Kumala saat hadir di ruang tamu yang sekaligus akan menjadi ruang makan malam.

Yang dipanggil 'pakdhe' membalas salam sambil mengatur daya akomodasi matanya yang memang telah terenggut usia. "O.... Kumala, anakku.... Kamu sudah sebesar ini sekarang, Nak?.....

Kumala mengangguk hormat kepada Pakdhenya. Cairlah dingin angin malam itu, berubah menjadi hawa hangat yang menyelimuti keluarga kecil Kumala. Saling bertanya kabar, menceritakan sanak keluarga, dan sebagainya hingga mereka tersadar ada orang asing disana yang bukan keluarga mereka dan mungkin ia merasa asing dengan cerita nostalgia.

"Masyaallah... Pakdhe sampai lupa.... Maaf, Pak... kami asyik cerita sendiri... padahal ada bapak disini...." Kata Pakdhe dengan gaya sangat bersalah kepada majikannya.

"Tolong dimaklumi ya, Pak... kami lama tidak bertemu....." Tambah Ibu Kumala.

Kumala segera mencuri pandang kepada majikan pakdhenya yang memang sejak tadi tidak ia hiraukan sama sekali keberadaannya

"Iya, tidak apa-apa.... Silahkan saja... saya senang menyimak percakapan kekeluargaan kalian.... Atau saya keluar saja agar kalian tidak canggung?..."

"OOo.... Tidak, pak.... Sebaiknya kita segera makan malam sebelum makanannya dingin," Ajak Ibu.

"Iya, Betul sekali... mari makan, Pak.... Silahkan!" Sahut Pakdhe sambil memulai mengambil piring.

"Ah, jangan buru-buru.... Silahkan kangen-kangenan dulu.... Makanan ini tidak akan dingin selama kehangatan keluarga kalian tetap terbangun....." Jawab majikan pakdhe.

Kami semua tertawa mendengar jawaban itu....

Upz! Kumala mendadak berhenti tertawa dan kini ia seperti memutar otaknya dengan keras untuk memikirkan sesuatu. Kumala mulai gelisah dengan sosok majikan pakdhenya itu. lamat ia perhatikan dengan mencuri-curi sosok itu. seperti tidak asing bagi Kumala, tapi siapa ia lupa.

Buru-buru Kumala menarik diri untuk memperhatikan majikan pakdhenya itu. Segera ia istighfar dalam hati, tidak sepantasnya ia memandang majikan yang masih cukup muda itu. dan kini ia terlelap dengan hangatnya makan malam dengan masakan ibunya yang selalu nikmat baginya.

"Maaf ya, Pak... masakannya sederhana sekali....." Ujar ibu kepada majikan pakdhe.

Sang majikan tampak tersenyum kemudian menanggapi dengan santun, "Sangat nikmat, Bu.... Saya jadi kangen sama ibu saya....."

"Apalagi sambelnya, bu.... Subhanallah.... Mantap!"

Semuanya tertawa ringan. Kumala tidak turut tertawa, iya memilih menjaga sopan santunya dengan cukup mengulum senyum saja. Saat ia beranjak untuk mengambil tissue makan yang ternyata lupa tidak terbawa di meja makan, langkah Kumala terhenti karena ada yang menggoda penglihatannya.

Majikan pakdhe mengeluarkan saputangan biru tuanya dan menggunakan saputangan itu untuk menepis bulir-bulir keringat di dahinya. Kumala tersentak dengan pemandangan itu, bukan karena majikan pakdhenya yang masih sangat muda, bukan.... Tapi pada saputangan biru tua itu....

Saputangan biru tua milik majikan pakdhenya itu memiliki sulaman halus ditepinya.... Sulaman yang mengejakan semua kata yang tak asing baginya.

*DIARGA*

"Pak Diarga kepanasan ya?"

"Maaf Rumah kami tidak ada AC-nya...."

"Oh, tidak... tidak apa-apa.... Ini efek sambel yang mantap.....hehehehe...."

Kumala tercengang beberapa lama sebelum ibunya menyadarkan, "Kumala.... Tolong ambil tissue makan di meja dapur ya, Nak....."[#Bersambung]

Kunang-Kunang SederhanaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang