Bagian 13

165 12 10
                                    


"Hebat benar kau, Rus... kali ini kau dilamar...bukan melamar...."

Fairus tertegun mendengar seloroh Diarga usai ia menceritakan pertemuannya dengan Ustadz Burhan.

"Lalu apa lagi yang kamu pikirkan, teman?... Kali ini kau bisa menjemput cintamu di ibu pertiwi..." Tambah Diarga dengan gembira. Dia gembira karena sahabatnya sekali lagi berdekatan dengan pintu pernikahan.

"Ah, kau ini, Ga,...bukan di ibu pertiwi...tapi di ibu Laila..."

"Hahaha......" Diarga tertawa diikuti Fairus. Suasana persahabatan itu mencair, dan hati Fairus mulai terbebas dari rasa sesak.

"Jadi kapan kamu pulang?"

"Pekan depan insyaallah.... Ikut pulang?"

Diarga berpikir sejenak, sebelum memutuskan, "Emmm.... Sepertinya aku belum waktunya pulang, Rus..."

"Apa kau menunggu dilamar perempuan dulu baru pulang, hah?"

Keduanya tertawa renyah. "Itu kan kau, Rus.... Hehehe...Pekan depan aku ada janji dengan teman untuk urusan bisnis disini."

Dan pulanglah Fairus ke Indonesia untuk menjemput cintanya. Kali ini ia sendiri tanpa Diarga.

Hari berlalu dan Diarga kembali tenggelam dengan aktivitasnya. Selain riset yang harus diselesaikan, Diarga punya rencana pengembangan bisnisnya di Korsel dan itu sangat menyita waktunya. Beberapa kali pihak kampus tempat ia mengajar juga menghubungi untuk mengisi seminar atau workshop tapi Diarga tidak bisa memenuhi. Bahkan sempat mengajukan resign tapi rektorat menolak dan mengizinkan Diarga cuti selama pengerjaan risetnya.

Seperti hari ini, Pagi-pagi Diarga sudah duduk manis di sebuah kafe bernuansa Turki untuk bertemu dengan rekan bisnisnya. Berkali-kali ia melirik jam dinding kafe hingga ada tiga orang yang menghampirinya. Seorang lelaki Turki usia 40 tahunan bersama dengan 2 perempuan berjilbab. Dari wajah dan cara berjilbab, dua perempuan itu sudah berbeda. Seorang seusia Diarga mirip perempuan Timur Tengah dan seorang lagi tampak lebih muda dan jelas bagi Diarga ia perempuan Asia.

"Assalamu'alaikum.... How are you?" Ibrahim, lelaki Turki dengan setelan jas mewah itu menyapa sambil memeluk Diarga erat selayaknya teman dekat.

Diarga menyambut salam hangat itu sambil matanya berusaha melirik perempuan berwajah  Asia itu, dan secara cepat ingatan Diarga menyebut sebuah nama: Kumala.

Ya, perempuan Asia itu adalah Kumala.

"Oh, I am forget... She is my wife..."

Spontan mata Diarga memandang dua perempuan beda kebangsaan itu. "Yang mana istrinya? Apa dua-duanya?... Jadi....Kumala?....." Batin Diarga.

"Her name is Aisyi."

Perempuan yang bernama Aisyi itu mengulum senyum dan melipat telapak tangannya memberi salam. Diarga membalas salam itu dengan mengangguk santun.

"And then.... She is Kumala, my best partner."

Yang bernama Kumala memberi salam, sama dengan cara perempuan Timur Tengah tadi, tapi kali ini Diarga tertegun dan membalas salam itu sekedarnya saja.

Pertemuan bisnis itu akhirnya berjalan dengan kesepakatan kemitraan bisnis yang baik, meski sepanjang obrolan dihiasi dengan nuansa hati Diarga yang terbungkrah. Entah apa yang terjadi, bagi Diarga, kali ini sosok Kumala seperti godam yang menghancurkan pernak-pernik hatinya. Tak terkendali, dan semua rasa bercampur tak menentu.

Lebih tidak menentu lagi saat Ibrahim dan istri meminta undur diri dengan meninggalkan Kumala dengan alasan ingin menikmati Seoul berdua. Sehingga Kumala dan Diarga hanya berdua saja.

Kunang-Kunang SederhanaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang