Bagian 27

109 10 0
                                    


Aku Kumala

Perjalanan ke kantor pagi terasa lambat. Padahal aku telah menempuh separuhnya untuk singgah di rumah Diarga. Segalanya menjadi sedikit rumit bagiku sejak aku mengenal Diarga lebih dekat. Meski Ibu yang memulai kedekatan ini, tetap saja sulit bagiku untuk memposisikan diri.

Siapapun pasti akan sepakat denganku. Tidak menganggapnya penting sedikitpun akan sulit sebab hampir setiap momentum dia ada bahkan menjadi bagian. Setidaknya, bersama ibu. Tidak ada rasa lain selain rasa canggung yang luar biasa saat bersamanya. Terlibat percakapan atau terlibat dalam suasana yang sama.

Aku sungguh tidak bisa menduga, dia akan menjadi orang yang tahu jejak kisahku dengan Fairus. Sama sekali di luar prediksiku. Aku bahkan tidak pernah menyangka jika Diarga adalah saudara sepupu Rosemita. Ah, intinya tak ada yang pernah kukira sebelumnya tentangnya.

Kini, aku dan dia memiliki satu rahasia, tentang kisahnya dengan Hayati dan tentang kisah Fairus bersamaku. Sebenarnya ini adalah kisah yang tak pernah beralur, karena memang tidak ada alur kisahnya. Sehingga bagiku ini tidak penting untuk dibahas atau bahkan disebar-luaskan. Ya, ini adalah hikmah dari tata langkah menjemput jodoh yang sesuai dengan aturan-Nya. Tahapan-tahapan yang kami lalui tidak berujung pada akad nikah. Mulai dari ta'aruf, bahkan Diarga sudah hampir meng-khitbah Hayati, namun jodoh berkata sebaliknya, tertolak. Tertolak agaknya kurang tepat, istilah yang pasti adalah: Tidak berjodoh.

Allah swt. telah mengaturnya, bahwa tahapan yang benar tidak akan menyakiti siapapun. Sebab semua berjalan dengan sama-sama ikhlas dan sama-sama berlapang dada dengan takdir yang menggaris. Kalaupun ada ceruk hati yang berderai kecewa atau keikhlasan yang tidak utuh membulat, itu adalah urusan hati dengan Penciptanya. Urusan manusia dengan manusia clear, jelas diawal tanpa abu-abu apapun.

"Bagaimana bisa ibu menjodohkan Fairus dengan Hayati?" Tanyaku pada ibu seusai Hayati akad nikah.

Ibu manyun, "Allah swt. yang menjodohkan mereka, bukan ibu," Jawabnya.

"Hayati tahu tentang a-."

"Jangan!!! Simpan itu sebaik mungkin!" Seru Ibu memotong tanyaku.

Dan aku hanya mengangguk mantap kemudian memilih diam, mengunci lembar lamaku tentang Fairus.

"Anggap Fairus tidak pernah ada apa-apa dengamu, La! Doakan pernikahan mereka penuh keberkahan!"

Pakdhe Mahmud angkat bicara, masih di tengah resepsi Fairus dan hayati kemarin.

"Diarga cerita tentang kami?" Tanyaku menelisik. Alangkah tepatnya, Pakdhe segera saja mengangguk dengan tegas.

"Harusnya dia tidak cerita," Ujarku dengan nada kecewa.

"Dia tidak cerita dengan gamblang. Beberapa bulan yang lalu dia cerita tentang pencarian jodoh Fairus di Jepang dan dia seperti melihatmu di sebuah masjid. Dari cerita ini aku simpulkan bahwa yang didatangi Fairus itu Kumala, keponakanku," Jelas Pakdhe dengan diakhiri senyum gagahnya.

Aku menerima penjelasan itu dengan manyun, "Kemudian Pakdhe berasumsi dan Diarga membenarkan asumsi itu?"

Pakdhe tersenyum, "Kita tutup tentang itu ya! Pakdhe doakan kamu segera menikah dengan jodoh yang baik dan-"

"Dan sholih, Pakdhe!" Sahutkan di-aamiin-i beliau.

Ah, berbicara tentang jodoh, aku hampir melupakannya akhir-akhir ini. Seolah kini aku telah terbiasa dengan kesendirian dan cukup bersama dengan ibu hatiku tentram. Aku bahkan tidak tahu harus memulai penantian jodohku dari mana atau dengan apa, terlebih dengan siapa. Yang kuingat, terakhir aku mematri nama Fairus dalam doaku dan ternyata takdir bergaris lain.

Kunang-Kunang SederhanaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang