Bagian 22

118 7 0
                                    

Kumala melambaikan tangannya melepas kepergian Pakdhe Mahmud yang telah mengantarkannya pulang. Dini hari membuat sekeliling rumah Kumala sepi. Gesekan angin terdengar lirih, membuat Kumala bersyukur dapat menikmati udara yang telah dia tinggalkan hampir 2 tahun terakhir ini.

Bunga anggrek dibebatang pohon mangga sisi kanan rumahnya mempertegas suara angin dari gesekan dedaunnya. Gemericik air terdengar, Kumala bisa mengenali itu aktivitas wudhu Ibunya, yang senantiasa berusaha mendirikan sholat malam.

Kumala memilih duduk di kursi teras, menikmati setiap sudut taman mungilnya sembari menunggu Ibu keluar dari kamar mandi. Namun, ternyata insting Ibunya lebih kuat, tanpa dia mengetuk pintu, Ibunya sudah mendahului. Senyumnya yang mengembang setelah pintu dibuka membuat Kumala tidak bisa membendung lagi haru rindunya. Ibu dan anak itu lantas berpelukan, membiarkan angin dini hari menjadi saksi cinta diantaranya.

"Mana Pakdhemu?" Tanya Ibu setelah prosesi peluk kangen berakhir.

Kumala ingin menjelaskan bahwa Pakdhenya perlu segera pulang untuk menyiapkan pernikahan majikannya, tapi jawaban yang tersuarakan ternyata lain. "Ada apa dengan Pakdhe bagi Ibu sekarang?"

Ibunya mengernyitkan dahi tanpa tidak mengerti, "Bahasamu menjadi aneh, Kumala!"

Kumala tersenyum, tanpa menjawab, dia kembali mendaratkan pelukan ke Ibunya.

Kini rumah mungil itu hening, dua cahaya sederhana berkilau di tengah malam bak kunang-kunang yang menari lincah. Rajutan doa ibu dan anak memilin-milin mengetuk pintu langit.Mereka hanyut dalam senandung hangat memuja Rabb-nya.

Sampai adzan subuh berkumandang, Kumala mengetuk pintu kamar Ibunda, berdua menegakkan sholat subuh berjamaah.

"Ibu janji ke rumah Hayati pagi-pagi, La."

Kumala mengangguk mendengar kalimat Ibunya.

"Kita berangkat bersama ya? Hayati pasti kangen sama kamu."

Kumala kali ini tersenyum menjawabnya.

"Sudah kamu siapkan hadiah untuk Hayati?"

Dengan lemah Kumala menggeleng. Dalam hati dia merutuki dirinya yang tidak menyempatkan diri menyiapkan kado untuk sahabatnya.

"Kalau oleh-oleh untuk ibu ada?"

Huufftt. Kumala pun tak ingat ini.

"Oh, sebentar!" Kumala ingat sesuatu, dia segera beranjak dari duduknya menuju ruang tengah. Diseretnya koper ukuran kecil  masuk ke kamar ibunya dan dia mulai membuka dan mengeluarkan isinya.

"Ini buat ibu," Kata Kumala menyodorkan kotak kecil biru langit kepadanya Ibunya.

Dengan binar bahagia, Ibu meraih pemberian anaknya. Tanpa dikode langsung membuka, seperti sangat penasaran dengan isinya.

"Pasti mahal. Berapa gajimu disana sampai membelikan ibu jam tangan mahal ini?" Gumam Ibu smabil terus memandangi jam tangan yang kini sudah menggelang di lengan kirinya.

Kumala menghela napas berat, kemudian menjawab, "Bukan dari Kumala, Bu."

Ibunya mengerling, "Dari siapa?"

"Diarga."

Ibu memasang wajah berpikir, bahkan ekspresinya masih kalah berat berpikirnya dibanding dengan otaknya.

"Kemarin sore dia kesini, hanya mengantar beberapa camilan oleh-oleh. Tidak tersebut bahwa ibu dapat oleh-oleh jam tangan semahal ini."

Kumala diam tidak menanggapi apapun.

"Jika Kumala yang ingin memberi Ibu hadiah mahal, ibu tidak marah. Boleh saja, sekali-kali kasih ibu hadiah mahal," Ujar Ibu diakhiri senyum, tanda bahagia.

Kunang-Kunang SederhanaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang