Bagian 17

90 11 0
                                    

"Ibu, bagaimana kabar Hayati?"

Kumala kini duduk di pojok sofa kamar hotel tempatnya menginap. Udara Seoul cukup hangat, tapi Kumala meringkung memeluk lututnya dengan erat.

Sudah hampir sepuluh menit Kumala menelepon Ibunya, hingga topik sana-sini berganti topik tentang Hayati, sahabat karibnya.

"Hayati? Kemarin sore dia ke rumah. Apa dia belum menghubungimu hari ini?" Suara ibu menusuk hati Kumala.

Kumala tiba-tiba menyesali, mengapa dia harus berpura-pura pada ibunya. Selama ini, Kumala selalu bilang ke ibunya bahwa dia dan Hayati selalu mengabari setiap hari. Parahnya, Hayati pun berpura-pura demikian. Terbukti ibunya tidak pernah menaruh curiga.

Dulu, saat Kumala belum ke Jepang, ibu Kumala selalu menegur jika dua sahabat itu ada masalah. Bahkan sepandai apapun mereka menyembunyikan, ibu bisa membacanya. Tapi kali ini, jarak membuat ibu tidak mampu membaca kebekuan diantara mereka. Kebekuan apa?

"Tunggu saja kabar baik dari Hayati. Besok atau lusa dia pasti mengabarkannya padamu. Insyaallah." Suara Ibu dari seberang begitu ceria, tapi tidak membungakan hati anaknya.

Kumala semakin penasaran. Jujur, hampir saja Kumala ingin bertanya hubungan Hayati dengan Diarga. Tapi Kumala mengurungkan niatnya itu.

Akhirnya, sambungan telepon dengan ibu tidak memberikan informasi apapun untuk Kumala. Apa lagi, tentu saja informasi tentang Hayati.

Paper bag yang berisi hadiah dari Rosmita menarik perhatian Kumala. Segera ia raih dan mengamati barang pemberian Kumala.

Di belahan Seoul yang lain, sosok Diarga masih belum bisa melepas penat. Usai bersih diri, rencananya menyelesaikan revisi penelitiannya harus pending. Rosmita dalam masalah. Dia segera melajukan mobil dari apartemen menuju hotel tempat Rosmita menginap.

"Dompetku hilang," kata Rosmita dengan sangat sedih. Kini dia tengah duduk di sofa yang bertengger di loby hotel.

"Tenanglah! Coba ingat kembali kapan terakhir kali dompet kamu keluarkan dari tas!"

Rosmita memijit keningnya. Jilbab hijau mudanya tidak mampu memoles wajah ceria Rosmita lagi.

"Aku tidak masalah dengan uang-uangku, tapi kartu-kartu penting ada disana. Dan mengurus kembali perlu waktu yang lama."

Diarga hanya diam mendengar keluhan sepupunya itu.

"Sedang besok aku harus terbang," tambahnya.

"Tenanglah, Ros! Pasti ada solusi," hibur Diarga.

Rosmita menghela napas, kemudian berdiri dari duduknya. "Aku ambil handphone di kamar ya, Kak. Semoga ada yang menghubungiku!"

"Telepon siapa yang kamu tunggu?"

"Ah, Kakak! Tentu saja telepon dari orang yang menemukan dompetku," jawab Rosmita dengan kesal.

Mulut Diarga membentuk huruf O. "Aku tidak menggodamu, Adik sepupuku, Sang Pramugari penerbangan terbaik Indones...."

"Stop, Kakak Profesor yang brilian! Pikirkan seperti kakak melakukan penelitian ilmiah, dimanakah dompetku sekarang!" Rosmita membalas.

"Wahai, Pramugari terbaik bangsaku! Tenanglah, Allah swt. akan mengganti dengan yang lebih baik."

"Kakak ini sedang mengisi seminar atau khutbah?"

"Menyampaikan kebenaran, Ukhtifillah."

Rosmita melengos, meninggalkan kakak sepupunya yang tertawa sambil mengeratkan tangan ke perut. Tapi baru beberapa langkah, dia kembali menuju sofa.

"Jaga wibawa Kakak sebagai profesor yang brilian!" Serunya bersemangat.

Ow, pertarungan belum selesai rupanya.

"Jaga cara berjalanmu, Pramugari terbaik, jika kamu tidak ingin terjungkal dan wartawan Seoul akan meliputmu!"

Mata Rosmita menlotot bulat.

"Hot News: Beautiful stewardess from Indonesia slipped and...."

"Menyebalkan!" Rosmita mengepalkan tangannya dengan kuat, wajah cantiknya memerah. Dengan cepat ia melangkah jauh dari Diarga.

Andai saja dia dan Diarga masih kanak-kanak, Rosmita pasti sudah menjambak rambut Diarga, bahkan mengunyah rambut laki-laki itu. Hahaha!

Diarga menikmati ornamen hotel dengan detail. memperhatikan satu per satu pengunjung sambil berpikir, bagaimana agar Rosmita bisa menemukan dompetnya.

"Rosmita tidak berubah, dari kecil suka teledor," gumam Diarga.

Sepuluh menit berlalu, Rosmita tidak juga memunculkan diri. Diarga mencoba menghubungi ponselnya, tapi tidak aktif.

"Jangan-jangan ponselnya hilang juga!" Diarga mendesah lirih. Tapi sayangnya Rosmita yang tidak disadari kedatangannya oleh Diarga mendengar.

"Baterainya habis bis bis tak tersisa sedikitpun," katanya sambil menunjukkan handphone dan charger.

"Kak, tolong telepon Kumala! Terakhir aku bersamanya belanja tadi," pinta Rosmita.

"Jadi kamu menuduh sahabatmu mencuri dompetmu? Ish ish, sungguh terlalu pramugar...."

"Sudah-sudah jangan bercanda! Terakhir aku sembunyi-sembunyi beli gaun pengantin untuk Kumala tadi."

Diarga tercekat. Gaun pengantin untuk Kumala?

"Ayo, Kak, telepon Kumala sekarang!"

Tiba-tiba kepala Diarga pening.

[bersambung]


Kunang-Kunang SederhanaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang