Bagian 37

81 10 0
                                    

Malam mulai larut saat Diarga hendak merebahkan dirinya tapi terdengar ketukan pintu kamarnya.

Baru saja ia membuka pintu, kakak sepupunya itu sudah menyerobot masuk dan membanting tubuhnya ke kasur. "Aku tidur disini malam ini." Uajarnya sambil mulai memejamkan mata sambil memeluk guling.

Diarga tidak terima, dia merebut guling satu-satunya itu sambil bersuara, "Jangan bilang kalian bertengkar!"

"Pacarmu tidur sama Cilla. Jadi, biarkan aku tidur disini!" Katanya dengan santai dan setengah tertidur.

Diarga tertegun, dia tahu sekarang, ternyata Kumala tidur di kamar Cilla. "Apakah Kumala sengaja agar dia tidak mendengar celotehan Rosemita tentang Dimas?" gumam Diarga.

Ah, sudahlah! Malam ini tidak ada yang lebih lelah dari Kumala dibandingkan seluruh orang di rumah ini. Perhelatan pesta pertunangan Rosemita membuat semuanya kelelahan, bahkan lahir dan batin lelahnya. Jadi, sangat memprihatinkan jika Dimas membatalkan ini demi masa lalunya dnegan Kumala. Benar kan?

Tapi bagaimana kisah cinta berakhir dengan cara begini tragis? Mendengar tangisan Kumala jelas ini membuktikan bahwa kisah cintanya dengan Dimas bukan sekedar cinta yang sederhana. Bahkan sepertinya rasa itu terlalu pekat untuk diurai kejernihannya.

Fairus saja tidak membuat Kumala menangis dengan sedalam itu, jadi, seperti apa kisah mereka?

Baiklah, biarkan malam menyelimuti hari ini dengan kegelapannya yang sempurna! Semoga esok hari terang benderang akan terjadi.

"Pesawat kalian jam berapa?" Tanya Mama Cilla saat sarapan bersama.

"Jam empat belas lima belas," Jawab Diarga.

Mama Cilla mengangguk, "Berarti kami duluan ya!"

"Aku antar ke bandara ya, Kak!" Tawar Diarga.

Papa Cilla dengan cepat justru menolak, "Tidak perlu, aku bareng rombongan mobil saja!"

"Siap!" Jawab beberapa orang serempak.

Rombongan mobil yang dimaksud adalah saudara sepupu mereka yang memilih jalur darat sebab rumah mereka hanya lintas kota dengan rumah Oma.

"Baiklah, pagi ini aku mau ke kantor dulu," Ucap Diarga sambil mengakhiri makan paginya.

"Ke kantor?" Tanya Oma.

Diarga menjelaskan ada keperluan sebentar di kantor. Yang mengejutkan dia mengajak Kumala. Kumala masih banyak diam, sehingga semua mengira Kumala menerima ajakan itu.

"Aku ikut ya, Kak!" Pinta Rosemita.

"Temani Oma, Ros! Sejak kemarin kamu sibuk sendiri," Saran Diarga. Akhirnya Rosemita sepakat.

Kini Kumala dan Diarga sudah berada di mobil yang melaju ke kantornya. Diarga mengemudi sendiri dengan alasan ia tidak ingin merepotkan. Jalanan hari Minggu terasa ramai, namun kemacetan tidak terjadi. Dan di tengah perjalanan itulah Kumala baru sadar jika tidak mungkin kantor buka di hari Minggu.

"Kantor tutup kan, Ga?" Kumala akhirnya bertanya.

Diarga mengangguk santai sambil terus fokus menyetir.

"Lalu untuk apa kita kesana?"

"Refreshing!"

Kumala tidak mengerti refreshing di kantor itu seperti apa, tapi dia memilih untuk menurut saja. Bahkan saat mobil sudah masuk halaman kantor dengan disambut 3 satpam yang berbeda dengan yang kemarin, Kumala masih menurut saja mengikuti langkah Diarga.

Seperti sebelum-sebelumnya satpam mengucapkan salam dan Diarga berbicang sejenak sebelum kemudian dia mengajak Kumala masuk.

"Selamat datang, Bu Hayati!"

Kumala tersenyum mendengar sapaan itu. Diarga kembali salah tingkah dibuatnya. Kini mereka masuk ke lift dan Diarga membuat perintah sistem untuk ke lantai sepuluh.

Sesampainya di lantai sepuluh, Kumala berdecak kagum. Desain interiornya sungguh mengagumkan, homely dan kesan mewahnya tak tertinggal.

"Silahkan masuk!" Ujar Diarga sambil membuka pintu sebuah ruangan.

Kumala masih menurut setiap perintah Diarga. Kini ia telah berada di sebuah ruangan dengan desain masih sama, bahkan warna catnya juga sama. Dia melirik papan keterangan di meja yang mencantumkan nama Diarga Asy-Syafani beserta jabatannya.

Kumala masih berdiri tegak mengedarkan pandang, sedang Diarga telah beranjak ke sudut ruangan dan dengan santai dia menarik sebuah tali. Gerakan tangannya pada tali itu menyingkap tabir yang menutupi jendela kaca yang sangat luas. Hamparan pemandangan langit biru nan cerah tiba-tiba muncul dibalik tirai.

"Masyaallah!" Gumam Kumala.

Lagi-lagi Diarga memerintahkannya untuk mengikutinya, menuju balkon yang seolah sangat dekat dengan langit.

Sejenak Kumala menikmati hembusan angin yang menerpa tubuhnya. Jilbabnya berkibar-kibar dengan ceria. Diarga memilih menepi di sudut balkon, duduk sambil membaca sebuah majalah bisnis.

"Balkon ini terlalu luas untuk ukuran kantor," Ujar Kumala sambil memandang awan yang berarak dengan perlahan.

Diarga tersenyum, "Sengaja dibuat begini," Jawabnya.

"Aku merasa bebas!" Kata Kumala sambil merentangkan tangannya. Senyumnya mulai merekah kembali.

Diarga ikut tersenyum, "Nikmati sesukamu! Jika perlu apa-apa panggil aku!" Katanya sambil berdiri dan meninggalkan Kumala di balkon.

Tapi langkahnya terhenti saat Kumala memanggilnya.

"Terimakasih!" Ucap Kumala sambil menunduk.

Diarga hanya tersenyum kemudian menuju meja kerjanya, "Aku harus menyelesaikan pekerjaannku jika tidak ingin kita batal pulang," Katanya.

Kumala membalikkan badannya dan segera menikmati kembali hamparan langit yang terasa dekat dengannya. Diarga sendiri sedang tenggelam dalam berkas-berkas kantornya yang menumpuk lumayan banyak.

Kumala sangat menikmati kesendiriannya di balkon itu. Meski dia tahu beberapa kali Diarga melihatnya meski sebentar.

"Silahkan fokus, Pak Diarga! Aku janji tidak akan melompat dari balkon ini!" Seru Kumala membuat Diarga tertawa senbentar kemudian mulai larut dalam pekerjaannya.

Setidaknya Diarga tahu Kumala sudah mulai membaik dari peristiwa tadi malam.

Hingga adzan dhuhur berkumandang, Kumala barulah mendekati Diarga. "Saatnya sholat," Ujarnya

Diarga mengangguk, kemudian membubuhkan tandatangan terakhir dan menutup map dengan segera.

"Ayo, turun!"

Kumala mengekor lagi, meninggalkan balkon yang fantastis, ruang kerja yang menawan, dan tentu saja lantai sepuluh yang menyenangkan.

Di halaman kantor ada bangunan masjid yang cukup besar. Dari cerita Diarga masjid ini memang dibuka untuk umum meski awal pembangunannya diperuntukkan untuk karyawan disini. Usai sholat mereka sempat membahas tentang masjid kantor yang masih ramai jamaah sholat meski sedang hari libur.

"Itu rumah para takmir masjidnya!" Jelas Diarga sambil menunjuk jajaran rumah di depan masjid.

"Ada berapa takmirnya?" Tanya Kumala.

"Tiga," Jawab Diarga.

"Karyawan juga?"

Diarga terlihat berpikir, "Secara hak sama dengan karyawan, tapi kewajibannya ya sebagai takmir masjid."

"Jika mereka bertemu denganku, apa namaku juga Hayati?" Seloroh Kumala.

Diarga hanya tertawa menimpali candaan itu. "Maafkan aku!"

Kumala tersenyum ringan, "Setidaknya Oma mengenali bahwa aku bukan Hayati."

Diarga tertegun menyadari itu, "Benar juga," Ujarnya setengah menggumam.

"Mungkin karena Rosemita sudah cerita kalau akan datang bersamaku," Kumala berpendapat.

Diarga menyambutnya dengan diam seribu gaya. Gaya apa? Entahlah. Hahaha  

Kunang-Kunang SederhanaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang