Selamat Tinggal Teluk Bayur Permai; Bagian 6

31 4 0
                                    

Cukup satu minggu menjadi pendatang gelap. Aku telah siap sepenuhnya untuk menjadi pelajar yang lebih terhormat di tempat seharusnya aku berada.

Hari keberangkatanku telah tiba. Keluarga besarku telah berkumpul di bandara untuk melepas keberangkatanku. Termasuk Tara yang membolos kuliah demi mengantarkanku menuju tanah perantauan. Aku tidak mempermasalahkan dia bolos atau tidak. Bukankan kami sering cabut ketika masih pada sekolah menengah.

Tidak ada tangis dengan kepergianku. Anggota keluarga justru dengan bangga mengantarkanku menuju terminal bandara. Bangga karena aku akan belajar di salah satu universitas terbaik di negeri ini.

Perpisahan ini tidak terlalu menjadi hal besar yang berpengaruh bagi kehidupan orang banyak. Tidak ada acara tari-tarian dengan adegan slow motion. Aku pamit, mencium tangan orang tuaku, saudara, kakak ipar, sepupu, dan menjabat tangan Tara dan menendang betisnya. Semua orang berdiri melihatku memasuki pintu terminal bandara lalu aku melambaikan tangan, mereka juga melakukan hal yang sama. Lalu mendaftar di petugas, petugas memberitahu kemana aku akan pergi lalu menunggu di ruang tunggu. Hingga muncul pemberitahuan dari pengeras suara mengenai keberangkatanku. Aku mengikuti petunjuk yang ada lalu singkat cerita aku telah duduk sendiri di dalam pesawat. Melihat kiri kanan depan belakang. Melihat keluar jendela. Melihat penumpang lain. Ada orang Indonesia, ada orang Cina, ada orang berkulit putih. Mungkin orang Australia, mungkin orang Eropa, mungkin orang Amerika. Aku merasa tidak perlu tahu dari mana asal mereka.

Perjalananku kali ini terasa sunyi. Aku tidak banyak bicara. Tidak berbicara sama sekali. Aku juga tidak banyak bertingkah. Mungkin untuk pertama kali dalam beberapa tahun belakangan perjalanan dengan menggunakan pesawat terbang yang kulakukan sendirian kali tanpa satupun soundttrack. Mungkin aku tidak menemukan lagu yang cocok dengan suasana saat ini, dan aku tidak ingin mengingat-ingat lagu apa yang cocok, yang kulakukan hanya bermenung. Aku tidak terpukau melihat pesawat yang berada di atas gumpalan awan. Aku terkagum melihat pulau-pulau dan lautan ribuan meter dibawah. Dengan muka datar aku melihat horizon dengan matahari yang terlihat tidak jauh berada di atasku.

Kurang dari dua jam kemudia aku sampai di kota Tujuan. Jakarta, sebenarnya bandara tempat pesawat yang aku tumpangi ini mendarat masuk dalam administratif Kota Tanggerang, tetapi sebagai anak kampung aku tetap menyebutnya Jakarta. Setengah jam kemudian aku menyelesaikan segala macam administrasi. Hey, aku masih anak remaja delapan belas tahun yang untuk pertama kalinya naik pesawat. Aku tidak tahu istilah-istilah boarding pass, check-in, take-off, waiting room, passanger, bagagge dan sebagainya. Maka aku tidak menyebutkannya. Di kampung aku bisa berbicara menggunakan bahasa-bahasa alien itu supaya dikira orang kota. Di kota besar, aku tentu aku akan dianggap sebagai anak kampung jika memakai istilah-istilah itu tidak pada tempatnya.

Lalu keluar bandara, Pak Etek telah menunggu. Kami berjabat tangan, menanyakan kabar masing-masing. Aku menaikan barang-barangku yang tidak terlampau banyak ke mobil pick up. Berkendara melintasi kota yang menjadi salah satu kota termacet didunia.

Kami sampai di rumahnya yang terletak dibelakang rumah makan Pak Etek yang bernama juga Pak Etek. Setelah. Disini juga bukan masuk dalam wilayah Jakarta, tetapi Depok. Aku katakan sekali lagi aku adalah anak kampung, dan aku tidak peduli. Pokoknya, aku tetap merantau ke Jakarta! Aku berkenalan dan berbasa-basi lumayan lama dengan semua orang disini. Ada istri Pak Etek bernama Sukmawati, maka aku memutuskan memanggilnya Mak Etek Wati. Lalu anak-anak mereka yang Rini juga baru masuk kuliah, sama denganku, dan Agung yang masih SMA. Berdasarkan nama mereka, kau tentu tahu bahwa Agung berjenis kelamin laki-laki dan Rini berjenis kelamin perempuan. Selain itu ada Karman, Surti, Syawal, Ardi, Vika yang menjadi pekerja di rumah makan Pak Etek.

Meskipun sudah tergolong sukses tetapi Pak Etek tetap memilih untuk sederhana. Rumahnya terdapat dibelakang rumah makan. AnTara rumah dan rumah makan berada dalam satu bangunan. Hal ini membuat Pak Etek sering menerima tamu-tamunya di rumah makan tersebut. Dengan ini beliau dapat menjadi tuan rumah yang sangat mulia dengan bisa langsung menyuguhkan es teh -aku berada dimana teh es di daerah asalku disebut es teh, kopi beserta minuman lainnya, lengkap dengan buah-buahan dan kapan perlu menawari makan tamu tersebut. Semua itu dapat dengan mudah didsitribusikan dari rumah makan. Pak Etek adalah orang yang fleksibel. Aku tak tahu apakah fleksibel kata yang sesuai menggambarkan sifat Pak Etek di atas.

Setelah cukup lama bercakap-cakap Pak Etek menyilahkanku untuk beristirahat. Beliau menyuruh meminta Rini untuk mengantarkanku ke kamar yang akan kutempati. Kamar ini berada di lantai dua rumah Rin yang berada dibelakang Rumah makan.

"Kuliah dimana Rin?" Tanyaku kepada Rini untuk memecah keheningan.

"Ngambil hukum nih. Kampus kita sama lo," kata Rini

"Wah iya, bagus dong."

"Iya, ntar kita bisa ngampus bareng."

"Tepat, kau tolong jugalah aku buat cari teman-teman baru disini ya."

"Tenang aja, nah ini kamar lo. Semuanya udah kesedia. Nah selamat istirahat ya. Ntar kalo lo lapar ambil aja dibawa. Jangan sungkan-sungkan deh," kata Rini menyilahkanku masuk ke kamar lalu dia kembali ke bawah.

Aku sebenarnya mengalami geger bahasa mendengar percakapanku degan Rini sebentar ini. Gue lo? Itu kalimat yang hanya kudengar di televisi. Beberapa orang di kotaku mencoba menyerap sapaan ini dalam percakapan sehari-hari. Mereka menganggap itu keren. Aku menganggap hal itu menjijikan, Tara menganggap hal itu bodoh. Sebagai remaja yang datang dari hutan tropis di Pulau Sumatra, aku bertekat untuk menjadi aku apa danya. Bisa marah Tara kalau dia tahu, aku menyebut gua lo. Bisa dijambaknya rambutku ntar. Rambutku ntar? Rambutku ntar? Baru beberapa jam aku disini kata nanti yang biasa aku ucapkan sudah berubah menjadi ntar. Aku harus tobat dan beristighfar secepatnya.


Kita TertawaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang