Ada Setangkup Haru Dalam Rindu; Bagian 7

18 1 0
                                    

Sambil berbaring di atas hammock, Tara melalui membuka cerita. "Perjalanan ini untuk selamanya, aku berjanji untuk itu. Aku sangat berterimakasih kau mau menemaniku saat ini. Aku sangat menghargainya. Sebenarnya aku bisa melakukannya sendiri. Tetapi aku rasa, penting untuk membawamu saat ini. Kita sudah lama tidak bertemu, aku merindukanmu. Pasti kau juga merindukanku. Sekian tahun kita berpisah, banyak yang terjadi dalam hidupku. Kau harus tau itu. Aku tidak bisa menceritakannya sekaligus kepadamu. 

Kau dan aku sama. Kita tidak bisa serius jika bertemu. Aku tahu kau adalah orang yang berbeda jika tidak bersamaku. Tetapi aku tidak tahu kau seperti ini jika kita bersama, aku tidak menyalahkanmu. Aku tidak menilaimu sebagai orang yang munafik. Kita telah menjalani ribuan hari dengan sifatmu yang seperti ini. Jika kau berbeda saat kita tidak bersama, itu hakmu untuk bersikap. Kau ingat surat yang pernah aku berikan padamu beberapa tahun lalu? Keluargaku memang aneh, semua orang menganggap kami berbahagia, tetapi sebenarnya kami tidak begitu. 

Ada sesuatu masalah yang terjadi dalam keluargaku, yang membuat kami seakan hidup sendiri-sendiri. Di luar kami seperti keluarga liberal yang berbahagia. Di dalam kami hanya individu-individu dingin, yang terpaksa bersama karena satu alasan, ibu. Sebelum meninggal bapak bukanlah panutan bagi kami semua. Penghianatan mendiang atas ibu, atas kami, dan keluarga ini telah menghancurkan hormat kami kepada mendiang. Setidaknya Gilang, Rikke, Aditya, dan Aliye yag merasakannya. Itu karena mereka sudah bisa berfikir saat penghianatan dan kecelakaan itu terjadi. 

Aku belum bisa, sehingga munngkin hanya aku yang menghormati bapak dalam keluarga ini. Ibu sudah pasrah tidak terlalu peduli lagi. Kami menjadi keluarga hanya karena ada ibu. Tidak tahu aku jika ibu nanti sudah tidak ada," Tara menghentikan ceritanya. Aku hanya terdiam mendengar cerita itu. Alunan musik mengalun dari depan, sesi kedua band mungkin sudah dimulai. Kami tidak terlalu tertarik lagi melihat pertunjukan. Beranda ini terlalu nyaman untuk ditinggalkan tubuh-tubuh yang letih.

"Hahaa... mungkin hanya karena aku sudah mabuk aku bisa berbicara serius ini. Kau tahu kenapa aku harus menuliskan surat kepadamu? Aku tidak tertawa saat bercerita, dan agar cerita ini tidak kita olok-olokan. Maka dari itu aku menyuruhmu agar membacanya saat kau sudah ada di Jakarta. Jika kita bertemu tidak lama setelah kau membaca surat itu, aku pasti tidak akan tahan untuk tidak mengolok-olok cerita ini. Ini adalah hal yang sakral, akan kubunuh siapapun yang berani menertawakan cerita dan keluargaku ini. Hanya karena aku mabuk saja aku bisa bicara serius kali ini,"

Aku tidak pernah dipersiapkan untuk berada disamping seorang teman yang sedang bersedih. Aku tidak bisa melakukan apa-apa. Aku memutuskan untuk tetap diam. Saat ini diam adalah emas. Aku tidak mau gegabah mengatakan sesuatu omong kosong untuk menguatkanya. Sampai saat ini wujud keprihatinan yang bisa aku berikan adalah tetap setia berada di sampingnya dan tetap diam. Diam seribu bahasa. Diam tidak bergerak.

"Ini semua tentang kelurgamu?" akhirnya aku tidak tahan untuk tetap diam.

"Benar, ini semua tentang keluargaku. Aku cukup letih dan mabuk untuk menceritakannya kepadamu. cerita ini sangat berat. Akan sangat sulit untuk dibawa serius. Aku berjanji akan menceritakan semuanya besok kepadamu. Aneh juga, satu-satunya momen, ketika kita bisa berbincang secara serius adalah disaat kita tengah teler. Kebanyakan orang akan berkicau tidak menentu saat mereka mabuk, lalu tertawa, tidak tahu apa yang lucu. Jika kau ingin aku berbicara serius, kau harus traktir aku minum sepuas-puasnya dahulu," Sambil tetap berbaring Tara mengeringkan keringat di wajahnya dengan baju. Dia bangkit, sambil tetap duduk diatas hammock yang menggantung, dia membaar satu batang lagi rokok dengan korek api antiknya. Dalam keadaan yang syahdu seperti ini Tara tetap tidak mau meminjamkan atau paling tidak, memperlihat korek api itu kepadaku.

Beberapa saat kemudian Moisme muncul, dan menyerahkan dua lembar tiket kereta untuk kami. "Hebat sekali kau, bepergian sejauh ini tanpa merencanakannya secara matang. Untung saja kau memutuskan bertemu denganku tadi sore. Kalau tidak sudah membusuk kalian berdua di stasiun kereta malam ini. Untung saja masih ada tersedia tiket untuk kalian berdua. Jika tidak? Mau tidak mau, atau suka tidak suka, kalian harus menggunakan bus untuk mencapai Banyuwangi. Kalau boleh aku mengira-ngira. Pasti kalian akan menuju Bali, bukan begitu?

Kita TertawaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang