Di Tanah Anarki Romansa Terjadi, Bagian 5

17 1 0
                                    


Tidak terlalu sulit untuk menemukan transportasi menuju Denpasar, tidak jauh dari pelabuhan Gilimanuk terdapat sebuah terminal tempat mengambil bus yang akan berangkat ke Denpasar. Kami mendapat bus yang lumayan sepi. Aku duduk di bangku paling belakang, sedangkan Tara mengambil bangku di depanku. Menurut informasi yang didapatkan Tara setelah bertanya pada kondektur bus, perjalanan menuju Denpasar akan memakan waktu kurang lebih empat jam.

Itu berarti akan ada cukup waktu untuk beristirahat. Sungguh, tidak tidur semalaman dalam suatu perjalanan adalah kesalahan taktis yang sudah kami lakukan, baik Tara maupun aku, sangat mengantuk dan keletihan.

Kami tidak terlalu banyak bicara didalam bus, Tara sudah kembali tidur dengan pulas, aku bermaksud untuk tidur juga. Tetapi kalau dipikir-pikir akan sangat merugikan jika perjalanan ini aku habiskan dengan tidur.

Ini kali pertama aku berkunjung ke Bali. Aku tahu pusat dari pariwisata di Bali ada di selatan pulau, saat ini aku berada di Utara. Jika ingin melihat Bali sesungguhnya, kau harus melihat Bali bagian Utara.

Bali bagian selatan bukan berarti tidak sesungguhnya, tetapi Bali Utara masih menjadi Bali yang asli. Karena disini bukanlah wilayah wisata yang telah di make up dengan segala sarana dan prasarana pariwisata. Disini adalah masyarakat Bali pedesaan dengan alam Bali yang masih asri.

Bali juga adalah wilayah yang sama dengan wilayah lainnya di Indonesia yang beriklim tropis. Dalam perjalanan aku memperhatikan ada pantai dan laut di sebelah kanan. Sawah, hutan dan gunung membentang di sebelah kanan. Paduan antara biru laut, putih pasir, hijau sawah, dan hutan serta biru gunung dan langit sangat indah sekali, ditengah-tengah membentang aspal yang hitam.

Bis melaju dengan kecepatan sedang, kondektur bus berjalan dari depan ke belakang bus, menanyakan tujuan masing-masing penumpang ada yang akan berhenti di Blimbingsari, Negara, Jembrana, Pulukan. Aku tidak pernah mendengar satupun dari nama daerah itu sebelumnya. Aku bertekat untuk mencari tahu, caranya ada dengan tidur dan memperhatikan jalan.

Jiwa tara sudah tidak bersamaku lagi, melayang entah kemana. Raganya tersandar lemah di depanku. mulutnya menganga, dia mendengkur. Keras sekali, sampai mengalahkan derus mesin bus ini. kondektur tersenyum kepadaku, beberapa penumpang lain yang duduk didepan melihat kebelakang, mencari sumber suara mengerikan itu. Saat mereka melihat suara itu muncul dari mulut seorang perempuan dewasa dengan dandanan norak, mereka tersenyum.

Orang-orang Bali adalah salah satu masyarakat yang sangat liberal, kebiasaan mereka melihat banyaknya pengunjung yang bertingkah aneh membuat mereka terbiasa dengan hal itu. Hal itu membuat Bali menjadi tempat favorit untuk dikunjungi wisatawan asing. Tetapi melihat seorang wanita cantik yang mendengkur menghilangkan liberalisme dalam jiwa orang-orang Bali yang kebetulan berada dalam bus ini. Ceritanya mungkin lain, jika orang yang mendengkur itu adalah aku.

Mereka menganggap Tara sebagai lelucon yang menarik untuk ditertawakan pagi ini. mereka berbicara dengan bahasa yang tidak aku pahami, dan tertawa. Semua orang tertawa. wajah mereka sangat riang sekali, aku hanya tersenyum membalas derai tawa mereka. Aku sebagai orang yang bersama Tara menjadi malu, mereka tau aku adalah orang yang bersama Tara, otomatis aku adalah orang yang mereka tertawakan.

Tara tidak malu, dia bahkan sama sekali tidak tahu kalau sedang ditertawakan, saat ini dia mungkin sedang sibuk menari di taman bunga bersama pangeran tampan dalam mimpinya.

Dua jam perjalanan suatu kejadian bodoh terjadi, dalam kecepatan bus yang tinggi menempuh jalan lurus di depan, entah kenapa ikatan matras yang terpasang pada tas ransel Tara terlepas, menggelinding menuju pintu belakang bus yang terbuka dan terlempar keluar. Ibu-ibu yang duduk di sampingku berteriak keras-keras, Ada yang jatuh! Ada yang jatuh. Hentikan busnya!" Teriak ibu itu," Kondektur yang berada di bagian tengah sedang berbicara dengan salah seorang penumpang menoleh kebelakang, dia terkejut melihat teriakan histeris dari ibu itu.

Dia menepuk-nepukan tangannya sebagai kode agar supir memberhentikan bus itu. Supir tidak bisa memberhentikan busnya secara mendadak dalam kecepatan ini. Tara terbangun karena seisi bus berteriak histeris. "Barang adik ini jatuh," Ibu itu kembali berteriak sambil menunjuk-nunjuk ke arah luar. Melalui kaca belakang mobil kami melihat matras hitam yang digulung milik Tara masih menggelinding di tepi jalan. Aku menyadari hal itu, tetapi tidak bisa bergerak karena aku duduk paling pojok dekat dinding bus dan carrier kuletakan disampingku.

Carrier ini menghalangiku untuk bergerak. Aku mati langkah, untung Tara cepat menyadari bahwa apa yang ditunjuk-tunjuk ibu itu adalah barang miliknya. Bus telah berhenti, tanpa mengambil ancang-ancang, Tara meloncat keluar dari bus dan memburu matras itu. Larinya tunggang langgang, kecepatan larinya itu mungkin mencapai dua puluh kilometer perjam. Dia bisa memecahkan rekor dunia! Semua orang diatas bus bersorak memberi semangat.

Aku mati langkah, daripada hanya berdiam diri saja, lebih aku ikut menyoraki usaha Tara. "Ayo, Tara! Kamu bisa melakukannya!" rasanya sangat menyenangkan melihat Tara berlari sekencang-kencangnya menuju bus setelah memungut matras yang terlempar hampir sejauh lima puluh meter. Wajahnya keletihan, dan kebingungan. Tidak harus belari seperti itu. Supir bus ini tentu akan menunggu.

Tetapi aksi Tara itu sungguh mendramatisir keadaan, menghibur seisi bus, dan memancing simpati atas tindakannya yang beraninya. Aku menganggap tindakan itu konyol.

Tara mencapai bus, jangka waktu antara dia melompat dari bus, lalu berlari sejauh lima puluh meter lebih memungut matras, dan kembali ke bus, kurang lebih dua puluh detik. Itu rekor pribadi. Berlari dalam keadaan sadar itu hal biasa, berlari dengan keterkejutan setelah baru saja bangun tidur itu luar biasa. Adalah peluh hijaumu yang akan menetes, saat itulah berkeringat menjadi tidak sehat.

Saat memasuki bus, semua orang bersorak, yang duduk agak kebelakang menyalami Tara. "Luar biasa mbak Srikandi ini," kata kondektur bus. Tara tersenyum tidak memahami kondisi saat ini. Pemudi yang duduk didepan bangku Tara mengacungkan kedua jempolnya dengan bangga. Tara membalasnya dengan juga mengacungkan kedua jempolnya. Aku menyerahkan sebotol air mineral kepadanya.

Dia menerima, dan meminumnya sampai air tersebut habis. Aksi yang baru dilakukan Tara benar-benar memberikan hiburan bagi segenap penumpang bus yang sebelumnya letih akibat perjalanan. Tara menjadi pusat perhatian. Dalam bus ini dialah jagoannya.

Semua orang berbincang-bincang dengan bahasa yang aku tidak pahami, aku aku tahu pasti mereka sedang membicarakan kejadian yang baru saja terjadi, beberapa diantara mereka menoleh kearah Tara, dan tersenyum. Tara masih belum menyadari apa yang terjadi saat dia keluar bus tadi, dan dia membalas senyuman orang-orang tersebut dengan ramah.

"Luar biasa kau Tara, dua jempol tangan dan jua jempol kaki untukmu," kataku berkata dari belakangnya.

"What the hell is going on here?"

"Semua orang menyorakimu saat kau berlari tadi. Mereka seakan sedang melihat pertandingan lomba lari jarak pendek. Dua puluh detik itu waktumu menempuh seratus meter lebih. Itu rekor pribadimu,"

"Aku berlari dengan kecepatan cahaya, dan kau hanya duduk disana bertepuk tangan?"

"Bukankah sudah ada kau yang meloncat keluar? Lalu untuk apa lagi aku ikut meloncat keluar? Atau kau berharap kita berlari bergandengan tangan, sampai kau terinjak kulit pisang, terpleset, terjatuh berguling-guling bersamaku masuk irigasi?" aku percaya kepadamu untuk menjemput matras itu, dan aku benar. Kau mampu melakukannya sendiri. Jadi aku cukup berdiam diri disini saja dan menonton aksimu tadi. Benar-benar luar biasa,"

"Terserah kaulah. Nafasku habis setelah berlari. Oh, sepertinya nikotin dalam paru-paruku keluar semua. Merokok benar-benar membuat staminaku menurun. Nafasku menjadi pendek. Rokok sialan. Ini akan membunuhku suatu saat nanti. I promise I'll never smoke again!"

"Terserah kau jugalah!" kataku sambil menyelai satu batang rokok dan menghembuskan asapnya ke arah wajah Tara. Dia mengibas-ngibaskan asap rokokku, lalu dengan cepat tara merebut rokok yang ada di tanganku dan membuangnya ke luar bus. Dia tertawa-tawa kecil.

Kita TertawaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang