Dia Seorang Kawan Yang Dirindukan; Bagian 3

18 2 0
                                    

Prosesi sarapan kami pagi ini diakhiri dengan acara merokok dan minum teh di beranda belakang kantin Da Jim. Semenjak insiden penangkapan dengan pisau tempo hari yang diceritakan oleh Da Jim tadi, dia melarang pasangan untuk duduk di beranda tersebut. Yang boleh duduk di sana adalah manusia dengan jenis kelamin yang sama. Lelaki saja atau perempuan saja. Tetapi kebijaksanaan diberikan kepada kami. Da Jim sudah lama kenal aku dan Tara.

Meskipun aku adalah lelaki dan Tara adalah Wanita, Da Jim dan semua orang yang mengenal kami percaya bahwa kami tidak akan melakukan hal aneh-aneh meskipun disaat berdua dan di tempat paling sunyi sekalipun.

Pada acara merokok dan minum teh ini, tidak lupa kami memesan beberapa kue kering di kantin. Saat itu sudah pukul sembilan tiga puluh. Kami serasa menjadi bangsawan Inggris yang menikmati acara minum teh di Derbyshire. Baik aku maupun Tara hanya banyak diam. Kami mengingat-ingat kembali kenangan indah yang pernah terjadi dimasa yang telah lalu.

Kenangan itu tidak terlalu lama berlalu, tetapi banyak yang detail-detail yang buram. Lumayan susah untuk mengingat detilnya. Pertama, karena kami tidak terlalu merayakan apa yang kami lakukan saat menjalaninya. Kami hanya melewatinya hanya dengan banyak tertawa.

Apa yang terjadi maka terjadilah. Hadapi, nikmati, tertawa. Kedua, karena sudah semakin sibuknya jadwal kami masing-masing. Sehingga jarang bisa menemukan waktu untuk berkumpul. Aku sibuk dengan studiku dan membantu mengelola rumah makan Pak Etek di pulau lain.

Tara sibuk dengan studi, gerakan sosial, organisasi, kemahasiswaan, pekerjaan dan banyak hal lain yang dikerjakannya.

"Kapan kau kembali?" Tara bertanya kepadaku memecah keheningan diantara kami.

"Belum tahu, aku ingin memastikan kau baik-baik saja," aku menjawab.

"Baik sekali kau. Hahaa, cepat saja kembali. Aku tidak apa-apa. Anyway, terimakasih kau sudah datang jauh-jauh."

"Nevermind, sudah sepantasnya aku datang. Aku tahu ini pasti berat untukmu. Paling tidak aku bisa ada disampingnya untuk saat ini."

"Bagaimana studimu? Kapan tamat?"

"Tugas akhirku hampir selesai. Seharusnya, bulan depan aku wisuda. Sebelumnya aku berharap kau datang, tetapi..,"

Belum selesai aku bicara, Tara sudah memotong kalimatku "Tidak apa-apa. Aku akan datang. Kau kirimkan saja undangan khusus untukku,"

"Kalau kau bagaimana?"

"Jauh jalan yang akan kutempuh."

"Maksudnya?"

"Masih belum terpikirkan olehku untuk tamat. Menjadi mahasiswa masih menyenangkan bagiku. Masih ada sedikit waktu bermain-main dulu sebelum serius."

"Terserah kaulah, kau tentu tahu mana yang terbaik menurutmu. Aku sebagai kawan tentu selalu berada disampingmu."

"Terimakasih."

"Entah kenapa kau terlalu banyak berterimakasih akhir-akhir ini."

"Tandanya aku sedang baik sekarang."

"Memangnya kapan kau menjadi jahat."

"Terserahmu lah mau berkata apa."

"Hahaaa," aku tertawa

"Hahaa," Tara tertawa. Kami tertawa. Saat ini hanya kami yang tertawa.

Aku merindukan kawanku ini. Dulu setiap hari bertemu. Sekarang hanya bisa bertemu dalam beberapa kali dalam setahun. Dulu aku tidak terlalu menghargai kebersamaan kami. Seakan waktu bersama menjadi sangat langka.

Setiap kesempatan langka ini harus dibuat spesial. Itu harus dilakukan sembari tidak mengurangi jati diri kami sebenarnya. Kami adalah kami. Aku adalah aku. Seperti halnya Tara adalah Tara.

Kita TertawaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang