Selamat Tinggal Teluk Bayur Permai; Bagian 5

20 4 0
                                    

Dimana-mana terdapat shaoilin. Bagi mereka yang tampak angkuh dan menyebalkan, sebenarnya aku ingin membuat titik balak enam di kepala mereka dengan puntung rokok. Pasti akan lucu sekali. Namun, pasti juga akan mendatangkan masalah tentunya.

Aku masuk kelas dalam salah satu mata kuliah bersama Tara. Aku berusaha agar keberadaanku tidak terlalu kentara. Duduk di bangku paling belakang tepat dibawah kipas angin. Kelas ini tidak dilengkapi dengan pendingin udara berupa air conditioner. kipas angin adalah benda elektronik paling mewah yang terdapat dalam ruangan ini.

Terdapat tiga kipas angin yang dipasang. Dua dibelakang dan satu didepan kelas. Kelas ini berukuran sebesar kotak penalti dalam dalam lapangan sepak bola, kelas ini menampung lima puluh mahasiswa didalamnya. Kota Padang sudah terlalu panas dengan iklim tropis, ditambah letak geografisnya yang berada di pesisir. Berjalan kaki selama lima belas menit pada siang hari, niscaya membuat kepalamu pusing.

Kelas dimulai, seorang dosen masuk. Dia mulai mengambil daftar hadir mahasiswa. Karena terlalu banyak mahasiswa di kelas ini. Orang-orang tidak menyadari bahwa namaku tidak pernah ada dalam daftar hadir yang dimiliki oleh dosen tersebut. Dan dosen itupun tidak pernah tahu bahwa ada pendatang gelap dalam kelasnya.

Aku tidak pernah tahu bahwa status bukan sebagai mahasiswa di suatu kampus tetapi mengikuti perkuliahan di kampus tersebut adalah sebuah tindakan yang melanggar hukum. Mungkin para pejabat yang tidak pernah merumuskan peraturan mengenai kasus ini. Tetapi yang pasti dalam satu minggu penuh aku secara tidak resmi menjadi mahasiswa di kampus ini. Semua ilmu yang disajikan selama satu minggu dalam aktivitas perkuliahan aku serap.

Jika berbicara mengenai konsep korupsi, maka aku sudah bisa dikategorikan sebagai koruptor. Aku menikmati hak yang bukan sebenarnya hakku. Tetapi masalahnya aku tidak memiliki tanggung jawab di kampus ini karena aku bukan bagian dari sini. Aku hanya menikmati ilmu pengetahuan yang disajikan selama satu minggu sebagai pendatang yang tidak diundang. Dan ilmu-ilmu yang kuterima bukanlah hakku. Hakku berada di kampus yang ribuan kilometer jauhnya dari kampus ini.

Aku muncul seperti hantu, dan Tara seperti pawang hantu. Kehadiran kami harus tetap berada dalam bayang-bayang. Beberapa kenalan kami yang berasal dari kota yang sama mengira aku berkuliah di kampus ini. Dengan riang gembira mengajak kami berkumpul dengan anak-anak sekampung lainnya. Kami menolaknya dengan halus. Mereka memahami. Sekian tahun aku dan Tara seolah menutup diri dari pergaulan. Kami hanya hidup dalam dunia kami sendiri.

Kami berkeliling mencari sebuah tempat makan yang dirasa akan nyaman dalam lingkungan kampus. Tara seperti biasa muncul dengan setelan nyentrik. Sepatu boots tas sandang, rok sebetis, dan flannel biru kotak-kotak. Swiss Army tetap setia melingkar ditangan kirinya.

Semua orang memperhatikan. Untuk seorang mahasiswi tahun satu dandanan seperti ini bisa dikatakan dengan aksi nekat, karena akan memancing perhatian senior yang mengarah pada tindakan perpeloncoan. Tara tidak peduli. Tara memang selalu begitu. Tumbuh dari bermacam-macam pandangan negatif orang lain terhadapnya. Hal ini meningkatkan kualitas dirinya sebagai orang yang cuek dan cenderung tidak peduli akan orang sekitar yang tidak terlalu dikenalnya.


Kita TertawaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang