Di Tanah Anarki Romansa Terjadi, Bagian 4

21 2 0
                                    



Aku terbangun saat seseorang membangunkan kami. Mataku sangat berat untuk terbuka, seakan kelopak mata ini diberi lem, keinginan untuk tidur begitu besar. Orang tersebut gigih membangunkanku, dan dia berhasil. Aku mengumpulkan seluruh tenaga untuk membuka mata, sungguh berat sekali, dan aku berhasil. 

Matahari sudah muncul memancarkan sinar yang menyilaukan untuk dua buah mataku yang baru terbuka. Untuk sementara aku tidak bisa melihat keadaan sekelilingku, semuanya terlihat silau. Hanya dalam hitungan detik hingga penglihatanku normal. orang yang baik itu tengah membungkuk, dengan wajahnya yang dicondongkan ke arah wajahku.

Sialan, hal pertama yang kulihat pagi ini adalah melihat wajah seorang pria dewasa awal dengan wajah yang kemerahan, mungkin bekas terpaan sinar matahari. Sangat tidak mengenakan. 

Aku menginginkan wajah seorang bidadari yang putih mulus yang pertama kulihat saat bangun tidur, paling tidak itu membuat semangat menjalani hari. Wajah lelaki ini, membuat aku takut memulai hari ini. 

Dengan kesadaran masih samar-samar dan langsung melihat wajah keras orang ini akan membuatku sangat terkejut. Aku terperanjat melihatnya, dan kesadaranku langsung saja terkumpul. Hari ini sudah terang, dan hari ini cerah. Matahari bersinar terang, seperti hari-hari lainnya di Bulan Agustus, selalu cerah. Wajahnya keras tetapi bicaranya lemah lembut. Dia ternyata adalah salah satu ABK, aku menyadarinya dari rompi orange dan seragam biru yang dikenakannya.

"Nyenyak sekali tidurnya mas. Bukan bermaksud mengganggu, tetapi kita sudah sampai mas. Kapal sudah berlabuh," katanya ramah.

"Wah, terimakasih mas, dimana kita sekarang?" kataku belum sadar dengan lingkungan sekitar.

"Kita sudah di Bali mas. Ini pelabuhan Gilimanuk. Mas tidak turun? Kapal sudah hampir setengah jam berlabuh disini lo, makanya saya bangunkan mas. Saya tidak berani membangunkan mbak ini, dia temannya mas kan? Nanti dituduh macam-macam saya," kata ABK ini.

"Terimakasih mas, ketiduran kami tadi, maksudnya mau lihat matahari terbit. Ya mbak ini teman saya. Sekali lagi terimakasih ya mas," kataku, aku membangunkan Tara. Dia masih tertidur nyenyak.

"Saya kerja dulu ya mas, kalau masuk saja kepintu itu mas, nanti ada petunjuk jalannya," dia berkata ramah sambil menunjukan pintu yang bertuliskan exit pada suatu sudut. Aku teringat bahwa kami mengambil posisi di buritan kapal. Memang kebiasaan kami untuk selalu mencari tempat yang sepi, saat kami naik ke kapal ini, memang buritanlah yang tampaknya sepi. Penumpang lain lebih memilih untuk menempati geladak utama yang terdapat di depan buritan. "Disini kita juga masih bisa melihat matahari terbit," kata tara waktu itu. 

Posisi ini memang tidak terlihat dari Geladak yang berada di bagian depan kapal, sehingga penumpang lain tidak ada yang menyadari kehadiran kami disini. Tetapi karena tidak tidur semalaman, aku dan Tara langsung tertidur sehabis menghabiskan satu batang rokok. Kami tidur hanya dengan beralaskan matras masing-masing. Dua buah tubuh teronggok seperti gelandangan di sebuah buritan kapal. Betapa menyedihkan hal itu. Pastilah ABK tadi sangat prihatin dengan posisi tidur kami.

"Sialan! Kenapa aku bisa tertidur? Hilanglah kesempatan melihat pemandangan matahari terbit di Selat Bali. Kata orang itu sangat indah," kata Tara setelah dia selesai mencusi muka dengan air mineral.

"Idemu yang brilian, tidak tidur semalaman, dan kita berakhir teronggok seperti sampah di atas kapal, lalu terbangun saat hari sudah pagi. Ucapkan selamat tinggal pada sunset yang kau dambaan itu," kataku sambil menyelai sebatang rokok. Ini adalah batang terakhir, dari entah berapa bungkus rokok yang kami habiskan dalam tiga hari terakhir.

"Yeah, masih ada perjalanan saat pulang. Aku berjanji akan melakukan apapun untuk melihatnya."

"Maaf, saja. you're on your own. Aku sudah merencanakan melihat pemandangan Selat Bali dari Udara."

"Apa maksudmu?"

"Aku lelah dengan perjalanan darat seperti ini. sedikit bermanja-manja saat pulang rasanya tidak apa-apa."

"Coba saja. Akan kukorbankan kau pada ikan hiu, jika kau coba-coba kabur dariku," Tara mengancamku.

"Aku tidak berniat meninggalkanmu, maksudku, mungkin kita bisa naik pesawat saat pulang nanti,"

"Kita lihat saja nanti, yang pasti kita harus mencapai Denpasar siang ini. Temanku akan menjemput kita di Terminal Ubung. Hari ini khusus untuk bermain-main. Besok aku baru berencana untuk menemui Aditya. Kata temanku dia sudah mendapatkan informasi mengenai keberadaan Aditya, dan dia bersedia mengantarkan kita kesana."

"Apakah aku menjadi saksi drama itu, atau kau akan meninggalkanku luntang lantung lagi seperti yang kau lakukan di Yogya tempo hari?"

"Kita lihat saja nanti. Ayo kita berangkat, kita harus mencari bus, dab tetap berbicara disini tidak akan membawa kita ke Denpasar,"

Kita TertawaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang