Ini Bukan Lelucon; Bagian 4

21 2 0
                                    


Lalu, sebuah keajaiban terjadi. Tara kembali muncul dengan matanya yang merah. Dia tidak menangis. Tangan kanannya memegang sebatang rokok yang di selipkan diantara telunjuk dan jari tengah. Tangan kirinya menggenggam sebotol air mineral yang berisi setengah.

"Astaga kau masih beridiri disana, ini minumlah dulu. Air putih bisa meredakan emosi, bir malah membuat kita semakin marah. Aku tidak mau minum bir lagi," katanya menyerahkan botol air mineral kepadaku. Aku meraih botol itu dan meminumnya, lalu diam lagi tidak berkata apa-apa.

"Aku hanya cemburu melihat kau dengannya, hanya itu. Ini mungkin kekanak-kanakan. Tetapi entah kenapa aku tidak bisa menerima saat kau memandangnya, aku benci saat kau dekat dengannya, aku tidak tahu. Aku hanya tidak tahu," Tara berkata kepadaku. Diam menatapku sejenak dan berkata dengan lembut, "Mungkin aku," dia kembali terdiam memikirkan sesuatu untuk dikatakan.

"Mungkin aku mencintaimu," aku tidak sadar berkata seperti itu, kalimat itu keluar begitu saja.

"Ah, ya. Tepat sekali mungkin aku mencintaimu," Tara mengatakan hal yang sama dengan apa yang aku katakan. Untuk sejenak dia terdiam, lalu matanya melotot ke arahku, dia menutup mulutnya dengan tangan.

"Ya, bukannya mungkin. Tetapi aku pasti mencintaimu. Kata mungkin hanya sebuah perandaian. Bisa iya, dan bisa juga tidak. Tetapi apa yang aku rasakan saat ini adalah aku dengan pasti dan sadar mencintaimu," entah kenapa aku mengatakan hal itu. Aku sudah tidak mabuk lagi, pertengkaran lalu kehilangan Tara untuk beberapa waktu telah menghilangkan pengaruh alkohol. Aku tindak mau mengatakan kata-kata bodoh lagi. Apakah aku akan kehilangan Tara lagi, kali ini untuk selamanya.

"Ini sangat aneh, tetapi aku juga merasakannya. Sejenak aku sempat kehilanganmu, dan itu sangat menyakitkan. Aku tidak ingin kehilanganmu lagi. Terserah apakah kau akan aku tidak pantas hidup di dunia ini, ataupun aku ini adalah anak haram. Aku tidak peduli lagi. Yang aku pedulikan adalah aku tidak ingin kehilanganmu lagi." Kata-kata itu meluncur dari mulut Tara. Ternyata dia merasakan apa yang aku rasakan. Kami sama-sama merasa kehilangan untuk sejenak. Dia kembali lagi karena tidak ingin kehilanganku, aku masih disini merenung menikmati kehampaan karena kehilangan dirinya. Aku memang pengecut dan Tara pemberani.

Aku mengambil rokok dari tangan Tara dan menghisapnya, lalu membuangnya. "Aku minta maaf atas apa yang aku katakan tadi, aku tidak bermaksud untuk menyakitimu."

"Tidak masalah, apa yang kau katakan itu memang benar, dan aku menerima kenyataan itu.

"Biarlah seperti Tara, hidup ini memang sangat aneh kadang. Biarkanlah apa yang sudah terjadi itu, kita tidak akan pernah melupakannya. Tetapi jangan menjadi halangan untuk tetap menjadi siapa kita. Kau adalah kau, Lalita Vistara, dan aku adalah aku. Kita berteman selama belasan tahun. Dan sekarang kau tahu aku mencintaimu, dan aku mencintaimu. Biarlah itu terjadi seperti apa adanya."

"Benar, namun sekarang apa? Kita ternyata saling mencintai satu sama lain. Lalu apa? Apa yang akan kita lakukan dengan cinta ini?"

"Ayo menikah? Kita sudah sangat siap untuk itu."

"Hanya seperti itu, kau mabuk. Bermesraan dengan wanita lain yang merupakan temanku, lalu kau mengajak aku menikah? Hidupku memang sial. Apa tidak ada pangeran tampan yang berkuda putih turun dari kudanya, berlutut ke arahku dan mengenakan cincin permata di jari manisku?"

Aku memikrkan sesuatu suatu hal, aku mengambil sebatang rokok membakarnya, lalu berlutut di depan Tara, "Will you marry me, Lalita Vistara?" kataku sambil menyerahkan sebatang rokok kepadanya. Tara tercengang melihat tingkah lakuk dan kemudia dia tersenyum, "Oh hell yeah. I do," dia mengambil rokok yang aku serahkan dan menghisapnya.

Beberapa orang yang kebetulan berada di sekitar kami dan mendengar lamaran konyolku pada Tara, bersorak, ada yang bertepuk tangan, dan bersiul. Aku dan Tara juga tertawa, Tara meraih tanganku. Sebatang rokok masih berada di mulut Tara, sehingga menghalangiku menciumnya. Kami berdiri saling berhadapan, dengan tangan yang menggenggam. Matanya memancarkan sebuah kebahagiaan, mulutnya tidak berhenti tersenyum walaupun sebatang rokok masih terselip. Giginya yang rapi putih bersih sekilas terlihat. pipinya memerah.

Jika ini sebuah film dan aku menjadi pemain utama dan sutradaranya, aku akan merekam posisi kami berdiri dari posisi rendah, dan memutari kami dalam gerakan yang lambat. Aku akan menyediakan kipas angin besar untuk menimbulkan efek angin yang meniup-niup rambut ikal tara yang hitam sehingga melambai-lambai dan menutupi wajah cantiknya yang gelap itu. Potongan rambutku pendek acak-acakan sehingga tidak mungkin melambai. Entah dari mana kelopak mawar merah melayang-layang memutari kami terbawa angin dari kipas angin. sungguh tidak mungkin. 

Hey, aku sedang jatuh cinta dan baru saja melamar seorang wanita cantik, terserah aku akan membayangkan apa! Scene ini aku jamin akan diganjar berbagai award, meskipun lokasi pengambilan gambarnya adalah beranda hotel kecil, dengan pemain latar semuanya bule. Saat ini pertama kalinya dadaku sesak melihat Tara dengan jarak yang begitu dekat. Kata-kata tidak akan bisa menggambarkan kecantikan Tara. Tidak juga lukisan dan foto. Biarlah ingatanku yang merekam kecantikan Tara malam ini. dan film ini menjadi imajinasiku saja. aku tidak mau membaginya dengan orang lain. 

Kita TertawaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang