1997; Bagian 1

41 5 0
                                    

Sembilan tahun lalu aku bertemu dengannya. Jika saat ini adalah tahun 2006, maka sembilan tahun yang lalu adalah tahun 1997. Banyak peristiwa yang terjadi di tahun 1997. Album Green Day yang berjudul Nimrod keluar pada tahun ini. Sayang album ini tidak mengikuti kesuksean album Dookie yang terbit tiga tahun sebelumnya. Film Titanic diproduksi di tahun itu. Pembuatan film ini memakan biaya sebesar dua ratus juta dolar dan menghasilkan pemasukan lebih dari dua miliar dolar pada Box Office.

Dunia berputar, terlalu banyak peristiwa yang terjadi di tahun tersebut. Aku sebagai bocah sembilan tahun melewatkannya begitu saja. Film kartun, dan mainan robot-robot adalah minat utama hampir seluruh anak berusia lima tahun. Bertahun-tahun selanjutnya aku bersyukur bahwa aku melewati usia sembilan tahun dengan normal.

Bayangkan bagaimana keadaan bocah-bocah sembilan tahun yang tinggal di Tepi Barat pada tahun yang sama. Apakah masih terlalu besarkah minat mereka dengan film kartun dan robot atau boneka ketika senapan AK-47 bersahut-sahutan dengan ledakan RPG. Semoga tuhan mengampuni dosa orang dewasa yang menyia-nyiakan masa indah anak berusia sembilan tahun.

Keluarga Tara baru saja pindah ke kota kami. Ayahnya adalah seorang arsitek dengan prestasi gemilang namun bosan dengan pembangunan kota yang ia rasa tidak memenuhi standar mutu keindahannya. Ibunya adalah seorang dokter yang terkesan malas mengejar karir.

Memang dia membuka praktek sendiri, tetapi praktek ini dikelola secara suka-suka. Semua orang bisa berobat kesana. Dari kalangan menengah hingga kalangan kaya raya, tetapi kebanyakan yang datang kesana adalah kalangan menengah kebawah yang sakit dan lebih banyak orang sakit yang tidak mampu. Ibu Lalita Vistara bernama dr. Rosyanti Rasyid, ayahnya bernama Hermanto Moenik.

Mereka adalah keluarga besar, selain Tara terdapat Gilang Pramanaya Assyraf, Farid Rikke Zafira, Aditya Hamizan Effendi, dan Aliye Radinka Moenaf.

Keempat kakak Tara memiliki tiga kosa kata pada nama mereka. Hanya Tara sendiri yang hanya memiliki dua kosa kata. Sungguh, butuh hampir tiga tahun lebih untukku agar bisa mengingat semua nama dari kakak-kakak Tara ini. Setiap nama pastilah memiliki artinya masing-masing. Dengan nama yang indah dari keempat saudara Tara juga pastinya diikuti dengan arti yang indah pula. Namun, hanya arti dari nama Lalita Vistara yang kuketahui.

Nama itu diambil dari nama kitab Buddha dalam bahasa Sansakerta. Kitab tersebut berisi kisah hidup dan ajaran Sang Buddha sejak turunnya Sang Buddha dari surga Tusita sampai ia memberikan khotbah pertamanya di Taman Rusa dekat Benares. Nama Lalita Vistara juga terukir pada Candi Borobudur.

Semua nama-nama pemberian Bapak Herman dan Ibu dr. Rosi itu terasa indah dan gagah, hingga pastilah terdapat perasaan bangga bagi mereka menyandang nama-nama yang indah tersebut. dr. Ros adalah wanita yang sangat baik hatinya. Beliau membuka klinik untuk orang-orang yang tidak mampu di kota kami. Bahkan, dalam waktu-waktu tertentu beliau menyediakan pengobatan gratis. Benar-benar dokter dengan hati yang mulia. Aku sering bertamu ke rumah mereka, dan dr. Ros selalu menyambutku seperti anaknya sendiri.

Tidak pernah marah saat aku dan Tara melakukan kesalahan konyol. Beliau jarang bicara, saat berbicara akan menghilangkan niat kita untuk membantahnya. Suaranya sangat lembut, dan tidak pernah keras. Nada bicaranya sangat halus dan sopan. Saat Tara tengah marah, hanya dengan sedikit bicara aku melihat hilangnya rasa marah dalam diri Tara.

Padahal selama aku mengenal Tara, meredam kemarahannya adalah hal yang sangat susah untuk dilakukan. Tidak ada hal yang mustahil, mendengar dr. Ros bicara adalah salah satu hal yang bisa meredam kemarahannya. Semua orang yang mengenal beliau pasti menaruh hormat kepada beliau.

Tetapi bapak Tara, Hermanto Moenik adalah orang yang misterius, beliau memang orang yang pendiam. Selalu sibuk bekerja, dan jarang muncul dalam pergaulan sehari-hari. Sedikit yang bisa aku atau orang lain ceritakan tentang beliau. Ini sangat aneh dengan pergaulan kotaku yang sempit, tidak ada yang benar-benar mengenal Pak Hermanto ini.

Dari ketujuh anggota keluarga itu –selain Tara beserta kedua orang tuanya, hanya Aditya, dan Aliye yang sering berada di rumah. Gilang dan Rikke sudah berkeluarga dan hidup di rantau. Aditya dan Aliye masih berkuliah pada masa awal mereka pindah ke kotaku. Aditya mengambil master, dan Aliye masih pada tingkat sarjana.

Meskipun mereka belajar di universitas yang berada di pulau Jawa, tetapi setiap liburan semester pasti pulang ke kampung baru mereka. Sedang Gilang dan Rikke hanya sesekali pulang pada saat Hari Raya Idul Fitri. Orang tua Tara sering mengunjungi mereka. Karena itu Tara tidak jarang tinggal sendiri di rumah mereka yang besar.

Kehadiran aku dan keluargaku yang dekat dengan keluarga mereka membuat Tara tidak terlalu dikhawatirkan untuk sendiri. Malahan setiap mereka melakukan perjalanan keluar kota, Tara sering dititipkan di rumahku. Dan jika ini terjadi, maka bersoraklah dengan penuh sukacita kami karena itu artinya intensitas interaksi kami akan meningkat menjadi dua puluh empat jam sehari, tujuh hari seminggu hingga orang tuanya kembali.

Keluarganya, baik dari pihak ayah maupun ibu Tara bukanlah orang asing dalam sejarah kota kami. Mereka awalnya adalah penduduk pribumi. Paling tidak sebelum tahun 1950-an, sebelum mereka pindah ke Pulau Jawa. Setelah menghilang lebih kurang tujuh puluh tahun, akhirnya keluarga ini kembali ke tempat dimana mereka berasal. Secara kultural, mereka tentu tidak terlalu terkejut karena mereka sudah terbiasa dikelilingi oleh budaya kami di kota asal mereka. Baik itu dalam hal bahasa, pola interaksi sosial, maupun nilai dan norma.

Semua anggota keluarga ini lahir dan tumbuh di Jawa, tetapi pengajaran leluhur mereka tetap mengajarkan nilai-nilai luhur dari suku bangsa dari mana mereka berasal.

Pertama kali aku berjumpa dengan Tara, ia ternyata cukup fasih berbicara dengan bahasa kami. Meskipun dengan logat yang kental dengan kesan "Indonesia Raya" nya.

Semenjak 1997, perkawanan antara aku dan Tara resmi dimulai. Kami berada dalam lingkungan rumah yang sama, lalu bersekolah di sekolah yang sama. Dimulai dari masa kami menggunakan seragam putih merah, lalu putih biru tua, hingga putih abu-abu.

Dimulai dari tahun itu juga sepertinya aku tidak terlalu pusing untuk mencari teman main lagi. Dan dengan keberadaanku, seakan Tara tidak ingin membuat lingkaran pertemanan terlalu banyak dengan orang-orang baru di kota ini.

Baik aku maupun Tara sesungguhnya tidak menutup diri dalam kehidupan sosial. Tetapi kami terlalu asik untuk bermain berdua. Berbagai nama lainnya pernah datang dan pergi silih berganti. Kami menyambut semua orang untuk masuk kedalam lingkaran kecil ini. Selain kami memang ada Agung, Gemma, Putri, Andika, Susi, Citra dan berbagai nama lainnya. Tetapi antara aku dan Tara tetapi bertahan selama sembilan tahun belakang.

Secara imajiner Kak Debi dan Rudi berada dalam lingkaran ini. Tetapi itu murni hanya untuk ditertawakan bahwa kami tidak pernah benar-benar mengenal orang lain lagi.

Secara nyata Rudi takut untuk bertemu kami. Sedangkan Kak Debi, bahkan mungkin menganggap bahwa aku ini tidak pernah ada. Maksudku bahwa cintaku kepadanya ini yang ada, bukan keberadaanku secara fisik sebagai manusia. Ketertarikan menjadi hal yang radikal jika tidak disalurkan dengan cara yang baik dan benar.

Sembilan tahun yang begitu indah telah kami lewati bersama. Seberapa kerasnya kau menjaga hubungan, suatu saat pasti akan berpisah juga. Perpisahanku dengan Tara bukan karena pertengkaran.

Selama sembilan tahun berkawan, tidak pernah kami terlibat pertengkaran yang berakibat blokade hubungan yang lebih dari tiga jam. Bayangkan kami hanya mampu bermusuhan selama kurang lebih tiga jam! Sebesar ataupun sekecil apapun masalahnya.

Kita TertawaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang