Hari Ini Untuk Selamanya; Bagian 5

16 2 0
                                    



Perjalanan Jakarta-Yogyakarta memakan waktu kurang lebih sembilan jam. Jarak yang ditembuh sekitar lima ratus kilometer lebih. Lima ratus dibagi sembilan maka didaptkan hasilnya lima puluh lima koma lima lima. Artinya kecepatan rata-rata kereta ini diluar pemberhetiannya adalah lima pulah lima kilometer perjam. Perjalanan di kereta itu menyenangkan. Bebas macet. Kereta adalah moda transportasi bebas hambatan. Seperti raksasa yang mengancam semua yang ada disekitarnya ketika melintas. Jangan coba-coba untuk merintangi jalannya, bisa-bisa hancur berkeping-keping ditabrak sang raksasa. 

Kereta api yang melintas benar-benar mengerikan, tanahpun bergetar saat ular besi ini melintas. Tetapi tidak bagi kita yang berada dalam perut si ular besi. Tempat duduk yang lapang. Ditambah ada colokan. Kebanyakan kereta saat ini sudah dilengkapi mesin pendingin udara. Itu menambah nyaman penumpang didalamnya. tidak peduli jika kereta menabrak mobil atau melindas sesuatu. Tidak akan terlalu terasa sampai petugas kereta memberitahukan telah terjadi kecelakaan. 

Negeri ini sudah mulai sadar akan pentingnya keberadaan kereta api. Tetapi masih kesulitan untuk menyadarkan masyarakat untuk mengutamakan keselamatan. Berita-berita kereta api menabrak berbagai objek mulai dari kendaraan, orang, binatang ternak sering muncul di berita. Setiap kecelakaan pasti mengenaskan. Aku tidak mau membahas ini. Aku takut dengan darah. Semoga perjalanan kami kali ini senantiasa mendapat keselamatan.

Di dalam kereta, baik aku maupun Tara lebih banyak diam tidak banyak bicara. Penumpang didalam kereta tidak terlalu ramai. Sebenarnya ada sepasang kakek dan nenek yang duduk bersama kami. sebenarnya masih ada ruang kosong di sisi nomor bangku kami. Tata kursi di kereta api ini adalah satu baris empat kursi tanpa pemisah, posisi kursi antar baris saling berhadap-hadapan. Dua kursi menghadap kedepan dan dua kursi lagi menghadap kebelakang. Sebenarnya sepasang kakek dan nenek ini bisa saja duduk didepan kami. tetapi karena alasan kenyamanan, mereka memilih untuk pindah mencari kursi yang kosong, bisa juga karena mereka takut melihat tampilan kami yang sangat acak-acakan. 

Mungkin mereka fikir kami adalah orang jahat. Itu terserah mereka. Maka baris ini hanya tinggal kami berdua duduk berlapang-lapang. Atas nama kenyamanan kau duduk didepan Tara. Kami mendapat jatah masing-masing dua kursi untuk satu orang. Dia asik menulis di buku catatan bersampul kulitnya sambil bersiul. Dengan menajamkan indra pendengaranku, setelah beberapa lama aku berhasil menyadari bahwa rangkaian nada yang tidak teratur yang disiulkannya adalah sebuah lagu yang judulnya aku lupa. Namun aku masih ingat liriknya kira-kira seperti ini.

Naik kereta api tut..tut..tut

Siapa mau ikut

Ke Bandung Surabaya

Improvisasi nada-nada yang dirangkai Tara membuat semua orang kesulitan mengetahui lagu apa kiranya yang dimainkanya. Bapak yang duduk dibelakang kami pasti salah mengira lagu yang disiulkan Tara, seperti halnya remaja diseberang bangku kami mungkin mengira Tara bersiul tanpa memainkan satu lagupun. Aku memilih untuk sibuk untuk dengan perangkat komunikasiku untuk memberitahukan ketidakhadiranku di kantor untuk beberapa hari kedepan. Beberapa rekan kerja mengucapkan selamat karena aku akan dirumahkan jika tidak muncul di kantor dalam minggu ini. Aku tidak peduli. Pekerjaan mudah untuk dicari.

Sesungguhnya, aku hanya butuh alasan untuk lari dari rutinitas membosankan kantor. Selama ini aku tidak memiliki alasan untuk melakukannya. Aku bukan pengambil resiko. Alasan saja sebenarnya tidak cukup untuk bisa membuatku kabur. Seseorang yang muncul didepan pintu rumahku, lalu menyeretku hanya dengan sandal jepit dan celana pendek, untuk melakukan sebuah perjalanan jauh yang misterius adalah sebuah hal yang tidak bisa kutolak. Aku tidak biasa menyalahkan kehidupanku yang berantakan. Tapi saat ini, kehadiran Tara adalah sebuah kesempatan besar membuat alasan yang pantas untuk menyalahkan kenapa hidupku bisa berantakan.

Kereta melaju dengan gagah tetap pada lintasannya. Daerah yang sebelumnya sudah sunyi diselimuti malam untuk sejenak meriah karena suara mesin dan serine kereta. Kami melewati malam ini dengan kenyaman di dalam kereta yang dingin karena pendingin udara. Beberapa penumpang sudah mulai tertidur, beberapa masih berusah untuk tertidur, sisanya masih terjaga. Mereka sibuk dengan kesibukannya masing-masing. Tara masih belum tertidur, dia menyaksikan pemandangan malam sunyi dari jendela. 

Kelap-kelip lampu bangunan kekuning-kuningan menarik untuk diperhatikan. Ketika lintasan kereta membelah jalan raya, semua pengguna jalan raya bersabar sejenak sampai kereta melintas. Sejenak aku bisa melihat tatapan pengendara motor yang melihat ke arah kereta yang melintas ini. Mungkin mereka gentar melihat ukuran dan kecepatan ular besi raksasa ini, ditambah suara mesinnya menderu menggertak semua makhluk yang berada didepan, kiri dan kanan. Aku merasa dunia yang berada di luar kereta ini adalah dunia lain yang berbeda dengan duniaku di dalam kereta. Semua yang terjadi diluar sana terpisah dengan semua yang terjadi didalam sini.

Perjalanan dengan Tara kali ini, menjadi sebuah perjalanan yang sunyi. Kami tidak terlalu banyak bercerita semenjak memasuki kereta. Berbagai perasaan yang tidak menyenangkan berkelabat dalam bayanganku. Tentang Tara. Tentang aku. Tentang kehidupan. Tentang perjalanan ini khususnya. Aku tahu ini hanya perasaan saja. bertahun-tahun mengurung diri, tentu akan sangat tidak menyenangkan bagi berada jauh dari rumah.

Pendingin udara dipasang tidak terlalu dingin. Malam ini adalah malam yang cerah di suatu bulan Agustus yang kering. Sudah lama tidak turun hujan. Tidak ada butir-butir air yang menempal di jendela kereta, hanya ada sedikit noda debu kecoklatan. Tetapi aku merasakan sebuah kedinginan yang lain. Rasa dingin ini berasal dari kesunyian malam. Badanku panas. Jantung berdetak lebih kencang dan terasa semakin kencang.

Aku berusaha untuk tidur, namun tidak bisa. Sudah cukup lama aku tidur dalam posisi duduk. Pindah ke kiri lalu pindah ke kanan. Menghadap keatas lalu menghadap kebawah. Tara tampak tidak terganggu dengan keributan yang kutimbulkan. Tatapannya masih kosong melihat keluar melalui jendela. Aku tidak peduli dengan sikapnya. Aku hanya ingin tidur. Hari ini benar-benar membuat aku lelah.

Lelah untuk mencoba untuk tidur aku pindah duduk di sisi Tara. Aku menyandar kepalaku ke pundaknya. Aneh sekali pemandangan ini. Seharusnya adalah lelaki yang menyediakan bahu untuk bersandar seorang wanita. Apa yang terjadi saat ini adalah wanita yang menyediakan bahu untuk disandari oleh lelaki. Tapi aku rasa itu tidak masalah. Bukankah sekarang zamannya emansipasi wanita. 

Wanita juga bisa melakukan apa yang biasa dikerjakan lelaki. Baca lagi teori feminis –kalau aku tidak salah, untuk mendapatkan penjelasan lebih dalam. Tara tidak protes. Dia tetap melihat keluar. Aku berhasil menemukan sebuah kenyaman bersandar pada bahunya, dan perlahan-lahan aku mulai merasa mengantuk. Untuk waktu yang tidak kusadari berapa lama aku telah tertidur. 

Kita TertawaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang