Hari Ini Untuk Selamanya; Bagian 2

15 2 0
                                    


Sialan Tara! Bodoh! Tak berotak! Bocah dungu! Gegabah! Sialan! Pokoknya Tara sialan! Jadi untuk apa Tara menggedor pintu rumahku, menyerangku dengan brutal, lalu menyeretku keluar dengan hanya celana pendek dan sandal jepit? Apa dia tidak malu berjalan denganku yang merangkul plastic packing seperti orang gila naik kereta dan bus way dipagi hari? Jika ternyata toh tiket kereta yang dipesannya adalah kereta pukul sepuluh malam. Aku hanya tersandar letih tidak berdaya mengamati jam besar yang terpasang di salah satu sudut stasiun.

Jarum pendek masih berada pada angka sebelas. Jarum panjang menunjuk pada angka tujuh. Sedangkan jarum paling kecil bergerak begitu lambat dari garis-garis antara angka satu ke angka dua. Benar-benar sialan. Ini baru pukul sebelas tiga lima. Masih ada sebelas jam sebelum keberangkatan! Aku seharusnya masih bisa minum-minum sambil memasak spageti di siang yang cerah ini sebelum mempersiapkan keberangkatan kami. jika memang harus berangkat! Hasil dari ketergesaan Tara ini salah satunya adalah aku harus mandi di toilet umum stasiun. Semua perlengkapan mandi terpaksa harus kubeli di mini market yang ada dalam stasiun. Seratus ribu lagi melayang sia-sia. Padahal baru semalam aku baru saja membeli semua perkakas mandi yang berkualitas. Belum setengah hari, sudah hampir dua juta uangku menguap ke udara. Ini sebenarnya yang akan membuat aku bangkrut!

Tara duduk lima meter dariku. Mungkin dia takut dengan jangkauan tanganku yang bisa saja menjambak rambutnya. Dia tertawa kecil sambil menjilati ice cream yang aku belikan. Lebih tepatnya dia merampok uangku untuk dibelikan ice cream sialan itu! Sesekali dia memandang ke arahku, lalu mengedipkan mata dan melayangkan ciuman kepadaku. Aku jijik ingin muntah. Perutku mual melihat dia memonyongkan mulutnya seperti akan mencium. Aku tangkap ciuman imajiner itu dengan tanganku, lalu aku buang jauh-jauh. Dia tertawa. Aku tertawa. Masinis yang berdiri di pojok stasiun tertawa, tetapi tidak karena tingkah laku konyol kami. dia tertawa karena bersenda gurau dengan wanita muda petugas karcis. Tidak ada hubungannya dengan kami.

Aku bisa tertawa dengan Tara tetapi kekesalanku masih belum bisa hilang. Aku masih bertanya untuk apa dia menyeretku pagi-pagi buta, padahal dia membeli tiket kereta malam. Lalu kemana dia akan membawaku? Bertanya kepadanya adalah kemustahilan untuk menemukan jawaban. Bertanya kepada ibu yang berada di sampingku adalah pekerjaan konyol. Bertanya kepada rumput yang bergoyang? Itu hanya sebuah lagu!

Jam makan siang datang, kami harus makan. Barang bawaan berat ini harus selalu dibawa. Jakarta kejam bung! Apa-apa bisa dicuri orang. Mulai dari barang berharga, hingga barang tidak berharga. Aku curiga, mencuri hanyalah sebuah hobi bagi manusia jakarta. Silahkan saja baca teori mengenai kleptomania. Aku tidak punya waktu untuk membahasnya sekarang. Mungkin nanti bisa. Jika aku tahu, aku kuberitahu. Jika kau tahu, kau beritahu. Jika sama-sama tidak tahu, mari sama-sama cari tahu. Jadi tidak ada kesan sok tahu. Kami mencari tempat makan siang. Tara bersikeras untuk makan di rumah makan Padang. Aku terpaksa menuruti. Tidak jauh dari stasiun terdapat sebuah rumah makan Padang yang besar. Kami memutuskan untuk makan siang disana.

Di dalam rumah makan itu, ternyata kami bertemu Gilang. Kakak tertua Lalita Vistara. What a coincidence! Aku terkejut. Tara tidak terkejut. Gilang tidak terkejut. Para pelayan tidak terkejut. Para pelanggan tidak mau tahu apakah aku terkejut atau tidak. Mungkin hanya aku yang terkejut disini. Wajah Tara berubah serius. Dia memintaku untuk memesan makanan duluan dan dia minta dilebihkan satu untuknya.

"Kau tahu apa yang kumau," katanya lalu berlalu, memberi isyarat agar Gilang mengikutinya. Perasaanku Tara anak bungsu dan Gilang adalah anak sulung. Tapi hanya dengan memberi isyarat Tara mampu membawa Gilang untuk mengikutinya. Tidak ada adab dalam berkeluarga yang kulihat dari peristiwa ini. Dalam pelajaran budi pekerti di sekolahpun tidak akan kau temukan ajaran seperti ini. Dimana-mana si bungsu harus menghormati si sulung.

Kita TertawaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang