Cerita Dalam Kereta; Bagian 1

32 2 0
                                    


Romantisme yang terjadi itu hanya sebuah romantisme semu, Kerinduan akan kehadiran sosok wanita yang ada untuk disayangi dan dicintai. Lelaki berusia dua puluh delapan tahun biasanya berada dalam suatu pernikahan, sebagian malah sudah memiliki anak.

Aku mencapai usia tersebut dengan pilihan untuk hidup dalam kesendirian secara sadar. Hingga saat ini, aku menjadi salah satu pria yang belum pernah menggandeng tangan, memeluk tubuh, atau mencium bibir wanita. Sebagian orang akan menganggap itu sial, sedangkan sebagian lain menganggap itu sebuah rahmat, tergantung sudut pandang orang-orang tersebut.

Kehadiran Tara sebagai seorang wanita dalam hidupku adalah sebuah pengecualian dalam kehidupanku. Secara fisik Tara memang seorang wanita. Secara emosional, aku tidak tahu lagi, apakah jenis kelamin Tara. Ikatan emosional antara laki-laki dan wanita yang terjalin antara aku dan Tara sudah bisa dikatakan keterlaluan.

Seribu sembilan ratus sembilan puluh tujuh ke dua ribu enam belas itu sembilan belas tahun. Puluhan ribu hari. Dan kami tetap seperti itu, berkawan baik. Karena perkawanan ini, membuat kami enggan untuk mencari pasangan masing-masing, namun kami tidak menjalin hubungan spesial -jika spesial maksudnya disini adalah kekasih. Bahkan sepasang kekasihpun tidak akan bisa bertahan selama sembilan belas tahun. Perkawanan kami bisa terjalin selama sembilan belas tahun.

Ditahun-tahun yang lalu, kami pernah ada perasaan saling suka kepada orang lain, namun rasa suka itu mentok oleh sebuah dinding yang bernama kekonyolan. Kekonyolan dalam mengungkapkan perasaan kami masing-masing, dan kekonyolan dalam mengolok-olok perasaan ini. karena kekonyolan inilah yang membuat kami selalu gagal dalam urusan asmara, sepanjang hidup kami.

***

Aku terbangun karena merasakan sebuah benda digosok-gosokan pada pipiku. Aku mendengar sebuah suara wanita menyahut, "bangun, bangun," Kesadaranku masih belum muncul sepenuhnya, lalu tetesan demi tetesan air jatuh tepat pada wajahku, mungkinkah hujan telah turun. tetesan air ini jatuh semakin deras, aku berusaha untuk membuka mata, tetapi itu sangat berat untuk dilakukan. Seakan kedua mataku diolesi perekat sehingga membuatnya sulit untuk terbuka.

Aku masih memilih untuk memejamkan mata, tidak berminat untuk bangun. Air semakin deras menetes, mukaku telah basah semua. Suara-suara yang membangunkan ini berubah menjadi berat, dan aku menyerah. Dengan sekuat tenaga aku membuka mata, lalu bangun. Aku bangkit menatap nanar pada keadaan sekeliling, nampak Tara dan Moisme yang berdiri menatapku.

Romantisme yang aku rasakan tadi hanya mimpi semu. Sentungan hangat tanga Tara berubah menjadi sebuah telapak sepatu yang digesek-gesekannya kepada wajahku. Tetesan air yang kurasakan tadi ternyata sisa-sisa bir dari dalam kaleng yang dituangkannya. Tara merupakan manusia berdarah dingin. Ini adalah cara membangunkan orang paling sadis yang pernah ada. Celakanya akulah yang menjadi korban dari praktek vandalisme tidak beradab ini. Memang tidak kasar, tetapi berdarah dingin.

Dalam mimpi, Tara muncul sebagai kawan yang penuh kehangatan, dalam dunia nyata Tara adalah manusia yang berdarah dingin tidak berperasaan, sekaligus tidak manusiawi.

"Sialan," kataku dengan setengah sadar.

"Akhirnya bangun juga, kau tukang tidur," Ayo kau bersiap-siap, kita akan berangkat sebentar lagi. Moisme berbaik hati mengantarkan kita ke stasiun. Dengan mobil. Bisa kau bayangkan, kapan lagi bisa naik mobil? Cepatlah kau bergerak!" Kata Tara menarikku dari sofa, lalu mendorongku bergerak menuju kamar mandi.

Ini baru pukul empat pagi. Artinya aku telah tertidur selama kurang lebih enam jam, dan ini barusan sangat berkualitas. Dalam dua hari ini secara menakjubkan aku mendapatkan tidur yang nyenyak, meskipun tidak pada kasurku yang empuk di rumah. Tara telah mendorongku sampai pintu depan kamar mandi yang terletak tidak jauh dari beranda tempat kami tertidur tadi. Aku melepaskan diri dari cengkraman Tara dan berlari menuju carrier ku yang tergeletak didekat sofa. Tara hanya diam saja, dia tidak mengejarku.

Kita TertawaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang