Prolog

2.5K 192 14
                                    


Agi terguncang. Dia terbangun dari tidurnya, sementara ibunya langsung menyelimutinya dengan selimut yang sudah disediakan oleh pihak maskapai. Selimut yang berwarna abu-abu itu begitu hangat dan lembut, membuat bocah itu terasa nyaman.

"Kamu terbangun?" tanya Erina ibunya.

"Kita sampai di mana, bunda?" Agi berbalik bertanya.

Erina mencoba melihat ke jendela, tak jelas karena langit sedang gelap dan hanya terlihat kumpulan awan. Pesawat sekarang ini sepertinya berada di tengah-tengah awan dan terjadi turbulensi sehingga mengakibatkan badan pesawat bergetar. Seorang pramugari melintas, langsung saja Erina bertanya.

"Kita sekarang berada di mana ya?" tanya Erina.

"Sekarang kita sudah berada di atas laut Jawa. Sebentar lagi kita akan sampai di Jakarta," jawab sang pramugari. "Ada yang bisa saya bantu?"

"Oh, tidak. Anakku tadi bertanya kita berada di mana saat ini," jawab Erina.

"Ah, adik kecil jangan khawatir karena kita akan sampai di Bandara sebentar lagi," jawab sang pramugari menenangkan.

Agi mengangguk sambil tersenyum. Erina kembali merapatkan selimut putranya agar nyaman. Sang pramugari mohon diri untuk melihat penumpang yang lainnya. Agi menatap langit-langit pesawat. Tampak lampu yang ada di atasnya menyala. Sebenarnya ia tak takut gelap, tetapi mungkin karena ibunya terkejut melihat dirinya terbangun dari mimpi buruk makanya dinyalakan.

"Bunda, aku mimpi buruk," ucap Agi.

Erina tampak tertarik dengan ucapan Agi. "Mimpi buruk?"

Agi mengangguk.

"Itu cuma mimpi buruk, kau tak perlu khawatir. Semuanya akan baik-baik saja," ucap Erina.

"Aku bermimpi melihat monster raksasa besar. Aku melihat seekor naga raksasa berwarna hitam dengan sayap yang sangat lebar. Matanya berwarna merah menyeringai kepadaku. Aku takut," cerita Agi.

"Sshh... tak apa sayang, itu cuma mimpi buruk. Sebelum tidur berdo'a dulu ya," kata Erina.

Agi mengangguk. Dia mencoba untuk memejamkan matanya lagi. Kalau mereka ada di Laut Jawa maka tinggal menunggu waktu saja sebelum mereka mendarat, tetapi sepertinya pesawat cukup lama untuk berada di udara daripada mendarat. Erina mulai gelisah. Apalagi dari jendela gelap, hanya kumpulan awan saja yang terlihat di sana.

Pesawat terombang-ambing oleh angin yang cukup kencang, meskipun kecepatannya masih stabil. Pesawat Airbus tujuan Tokyo – Jakarta itu sudah mengudara selama lebih dari sepuluh jam. Harapan semua penumpang malam itu hanyalah agar bisa sampai di tujuan dengan selamat, tak terkecuali sang pilot yang sekarang ini sedang gelisah.

"Control can you copy? Control?" pilot berkali-kali menghubungi ATC (Air Traffic Control). Tetapi tak ada balasan.

"Tak ada balasan?" tanya co-pilot. "Apa yang sebenarnya terjadi?"

"Kemungkinan petir tadi membuat sinyal radio rusak. Kita tak bisa menghubungi siapapun," ucap pilot.

"Sial, kita harus bagaimana sekarang?" tanya co-pilot.

Tiba-tiba terdengar suara alarm. Salah satu sensor di dashboard pesawat menyala dengan lampu berwarna merah. Pilot dan co-pilot saling berpandangan. Tiba-tiba sesuatu yang ditakutkan terjadi. Salah satu mesin pesawat mati, hal itu membuat pesawat oleng sejenak, sang pilot segera bertindak cepat untuk menstabilkan kemudi.

Sementara itu di ruang penumpang. Masker oksigen tiba-tiba muncul dari atas penumpang ditambah dengan suara alarm yang berbunyi. Tentu saja hal itu membuat Erina panik. Dia segera memasang masker oksigen berwarna orange itu ke dirinya, setelah itu ia memasang masker tersebut kepada Agi. Erina lalu mengencangkan sabuk pengaman putranya dan juga dirinya. Pesawat semakin bergetar lalu tiba-tiba miring ke kanan. Para penumpang panik, sebagian penumpang yang tidak memakai sabuk pengaman terlempar dari tempat duduk mereka.

Agi juga panik. Dia menjerit sambil dipeluk ibunya. Orang orang makin menjerit saat tiba-tiba pesawat berputar, kemudian menukik ke bawah. Para pramugari yang tidak berpegangan akhirnya melayang hingga menghantam bagian dalam pesawat. Beberapa penumpang juga demikian, terlempar hingga akhirnya menghantam dinding pesawat.

"Bernapas! Bernapas! Tenang Agi, tenang!" ucap Erina berkali-kali.

Pesawat itu berada di dalam badai yang sangat dahsyat. Sang pilot tak tahu kalau mereka sekarang terhisap ke dalam awan Kumulonimbus. Bahkan ketika peralatan sinyal radio rusak tersambar petir, mereka tak tahu kalau sudah masuk ke dalam awan tersebut. Petir menyambar-nyambar dan hujan menghantam pesawat itu. Ditambah lagi mesin pesawat tiba-tiba mati mengakibatkan pesawat tidak stabil dan terus menukik sambil berputar-putar ke bawah.

Tidak ada yang terucap di mulut para penumpang selain do'a-do'a agar mereka selamat. Agi menggenggam erat lengan ibunya. Ia bahkan sudah tak mempedulikan lagi selimut yang tadi menyelimuti tubuhnya hingga tiba-tiba tangan ibunya terlepas saat badan pesawat yang ditumpanginya tiba-tiba terbelah. Kursi tempat dia dan ibunya duduk terlepas. Erina menjerit saat tubuhnya tiba-tiba terlempar ke udara karena sabuk pengamannya terlepas. Agi juga terlempar ke udara. Pesawat yang mereka tumpangi terbelah menjadi dua tepat di deret kursi tempat Agi dan ibunya tadi duduk, disusul dengan meledaknya mesin jet pesawat lalu disusul dengan bagian lain yang juga meledak dengan keras. Para penumpang berhamburan seperti debu yang diterbangkan angin.

Agi melayang-layang di udara. Dia tertiup angin ke sana kemari tak tentu arah. Ia sudah terpisah jauh dari ibunya dan para penumpang yang lain. Telinganya tak bisa mendengarkan dengan baik selain suara angin yang terus menampar-nampar tubuhnya. Air hujan menghantam seperti ribuan kerikil dilempar kepadanya. Di saat-saat ia terombang-ambing oleh angin yang kencang itulah dia melihat sesuatu bayangan hitam besar dari dalam awan.

Matanya melotot saat sesuatu yang hitam besar itu memiliki sayap dan terbang melintas di hadapannya. Dia ingat apa yang dilihatnya. Sesuatu yang sangat besar seperti seekor naga berkulit gelap dengan sayap lebar sejauh mata memandang. Agi menelan ludah tak percaya, tetapi belum sempat ia melihat lagi dengan seksama tubuhnya terlempar lagi oleh hembusan angin yang sangat kuat.

Kembali tubuhnya berputar-putar di udara. Akhirnya Agi jatuh di sebuah tempat yang lembut dan empuk. Bukan. Dia ditangkap tangan besar dengan kuku cakar yang besar, tajam dan panjang. Tangan raksasa itu merupakan tangan naga yang tadi dia lihat. Naga itu sepertinya tak terpengaruh oleh angin dan petir yang ada di sekitarnya. Matanya bercahaya dengan iris berwarna kuning dengan pupil meruncing. Agi tak berkedip melihat sorot mata itu.

"Kau bisa melihatku!" terdengar suara naga itu berada di dalam kepalanya. Naga itu tidak berbicara dengan mulutnya melainkan dengan pikiran. Agi merasa ada orang yang sedang berbicara di dalam tempurung kepalanya.

"Siapa kau?" tanya Agi. Meskipun suaranya tak terdengar karena deru angin, tetapi suara hatinya bisa di dengar oleh sang naga.

"Aku Kesadaran Bumi, namaku Ultima. Kenapa semesta memilih anak kecil lemah sepertimu untuk mendapatkan kekuatanku? Aku tidak percaya," ucap Naga hitam tersebut.

Agi tak berbicara karena dia tak tahu apa yang harus dia ucapkan kepada naga itu. Sang Naga kemudian mendekatkan jari tangannya yang lain untuk menyentuh dahi Agi. Anak kecil itu hanya bisa pasrah diperlakukan seperti kelinci percobaan. Kalau mau, naga yang mengaku bernama Ultima itu bisa saja meremasnya dalam sekali gerakan, tetapi hal itu tidak dilakukannya.

"Mulai sekarang kau mendapatkan kekuatan terhebat yang pernah ada di alam semesta. Sampai saatnya tiba, kau akan bertemu lagi denganku suatu saat nanti," kata Ultima sambil menyentuhkan ujung kukunya ke dahi Agi.

Dari sana muncullah setitik cahaya yang kemudian menyebar dan terang menerobos awan yang ada di sekitarnya. Agi lalu memejamkan mata. Dia tak sadarkan diri, tetapi tubuhnya melayang dengan perlahan menuju ke daratan. Dia terlihat seperti menaiki sebuah permadani terbang yang mana turun dengan sangat lembut dan tidak terlalu cepat. Tubuhnya pun dengan lembut menyentuh permukaan bumi yang dipenuhi dengan rerumputan basah.

Saat itulah di langit terlihat percikan api dari pesawat yang dia tumpangi, sebagian jatuh ke laut, sebagian yang lainnya jatuh di tepi pantai. Beberapa orang yang melihat benda jatuh di dekat mereka segera menghampiri ke tempat Agi tadi mendarat. Begitu melihat ada anak kecil yang tak sadarkan diri di atas tumpukan rerumputan, segera mereka berlomba-lomba untuk menolongnya.

"Ada anak kecil! Ada anak kecil!" seru salah seorang yang melihat Agi. Buru-buru ia memeriksa nadi bocah tersebut. "Dia masih hidup! Dia masih hidup! Panggil ambulance! CEPAAT!"

* * *

ECHO [end]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang