8 | Masih Terkurung

1.3K 98 3
                                    

  "If you only knew the magnificence of the 3, 6 and 9, then you would have a key to the universe" ~ Nikola Tesla 

Cuaca hari itu mendung. Sebenarnya bukan waktu yang tepat untuk jalan-jalan keluar, tetapi Agi menekadkan diri untuk keluar. Biarpun bukan Agustus tetapi cuaca cukup dingin. Bahkan sekarang saja embun pagi menutupi beberapa daerah di kota Malang. Halaman kampus juga diselimuti embun, bahkan butiran-butiran airnya bisa terasa saat berjalan keluar. Wajah Agi tertampar ratusan butiran embun. Dia menghabiskan waktu dengan joging keliling kampus. Lingkungan kampus masih sepi waktu itu, hanya terlihat beberapa orang yang sedang joging sambil bersantai di bangku. Butiran-butiran embun menetes dari ujung dedaunan yang basah, Agi sengaja memukul batang pohon agar butiran-butiran itu jatuh ke tanah. Meskipun hal itu iseng, tetapi ia suka melakukannya.

Saat ia mulai melewati jalanan lurus di antara pepohonan, dia pun berpapasan dengan seseorang yang tentu saja ia kenal. Galuh tampak juga melakukan joging. Dia memakai baju training lengan panjang berwarna biru dongker dengan kerudung berwarna abu-abu. Agi langsung melambai kepadanya.

"Hai?!" sapa Agi.

Galuh cuma tersenyum sambil mengangguk. Ia tetap berlari meninggalkan pemuda itu. Merasa tidak diacuhkan segera Agi mengejarnya. Mereka pun berlari beriringan.

"Koq menghindar?" tanya Agi.

"Nggak apa-apa. Ingin konsen lari saja," jawab Galuh.

"Baiklah, aku akan temani," ucap Agi.

Keduanya berlari beberapa meter, hingga Galuh berhenti lalu berjalan. Agi menghentikan larinya. Keduanya mengambil napas sejenak. Rasa sejuknya udara pagi membuat paru-paru mereka terasa lebih segar. Dengan sedikit jengkel Galuh berkacak pinggang.

"Ada apa sih? Rese' amat?" tanyanya.

"Lho, akukan cuma ingin lari bersama," jawab Agi.

"Nggak usah. Aku kepingin lari sendiri," ujar Galuh.

"Kau memikirkan tentang ucapakanku beberapa waktu lalu?" tanya Agi seraya mengingatkan tentang perjumpaan mereka tempo hari.

"Tidak juga. Aku terlalu sibuk untuk urusan seperti itu," jawab Galuh. Dia lama-lama jengkel juga dengan pemuda yang satu ini.

"Baiklah, sepertinya kau tak ingin diganggu. Padahal aku ingin bicara tentang banyak hal. Alien, kekuatanku, juga tentang resonansi," jelas Agi.

"Ada apa tentang alien?"

"Begini, aku sudah pernah bilang kepadamu kalau aku mungkin bisa berkomunikasi dengan alien tersebut. Aku pernah pingsan setelah berkomunikasi dengan alien itu lalu kemudian aku sadar sudah di rumah sakit dan Dokter Windi yang memeriksaku," jelas Agi.

"Oh, dari situ kau tahu tentang Windi," ucap Galuh manggut-manggut.

"Iya. Nah, sebelum pingsan itu rasanya makhluk itu mengirimkan sesuatu kepada otakku. Semacam bayangan, dimana waktu itu aku seperti melihat apa yang dia lihat. Rasa-rasanya otakku dan otaknya berhubungan satu dengan yang lain. Kemudian ada suara seperti ketukan di kepalaku. Aku tak bisa menjelaskannya tetapi suara itu bergema dengan ritme teratur," ujar Agi.

"Maksudmu, kamu dengan kekuatanmu bisa berkomunikasi dengan alien itu dan menyatukan pikiran?"

"Tepat sekali. Aku sangat yakin kalau alien itu masih berada di bumi. Hanya saja aku tak tahu di mana tempatnya atau mungkin sedang ditahan pihak militer," ujar Agi.

"Lalu apa hubungannya dengan resonansi yang kau sebutkan tadi?"

Agi berdehem kemudian tangannya mulai bergerak-gerak menjelaskan sesuatu yang menurut teorinya merupakan cara alien tersebut berkomunikasi. "Aku tahu sampai sekarang tak ada yang bisa berkomunikasi dengan alien tersebut, sebab kalau sudah ada pasti beritanya sudah menyebar kemana-mana. Alien yang kita ketahui ini tidak berbicara dengan cara yang biasa. Kita berbicara dengan komunikasi suara, lalu bahasa. Makhluk ini tidak seperti itu. Dia berbicara dengan resonansi yang mana apabila ada makhluk dengan frekuensi yang sama maka dengan cara itulah mereka berkomunikasi."

ECHO [end]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang