Mendadak dan tak bisa bicara banyak. Mirip dengan seseorang yang ikut quiz dadakan pada sebuah mata perkuliahan terlebih lagi apabila mahasiswa tersebut tidak siap. Hanya saja ujian yang diterima Windi kali ini lumayan berat. Berada di dekat orang yang sudah lama dia rindukan tentunya merupakan momen yang bisa membuatnya bahagia, namun bersamaan dengan itu saking bahagianya ia tak tahu harus berkata apa. Hatinya bercampur aduk, otaknya tak bisa berpikir jernih. Baru kali ini setelah sepuluh tahun lamanya mereka bisa bertatapan langsung.
"Gue nggak bisa ngomong apa-apa," ucap Windi tiba-tiba. Keduanya berada di sebuah bangku yang berada di Alun-Alun Kota Malang. Hari itu malam sudah turun, setelah salat maghrib di Masjid Jami' yang tepat berada di depan Alun-Alun, mereka pun berbicara berdua di bangku itu.
Samudra mencoba menarik napas. Dia memenuhi paru-parunya dengan oksigen gratis yang disediakan alam. Dia menoleh ke arah Windi yang sejak dari tadi pandangannya kosong ke depan. Pemuda itu mengelus-elus kepala Windi, gadis itu menunduk seperti anak kucing. Ia selalu lemah kalau diperlakukan seperti itu oleh Samudra.
"Aku benci kamu melakukan itu," gerutu Windi.
"Kenapa?" tanya Samudra. "Aku suka melakukannya."
"Ih, dibilang benci koq," ucap Windi. Tetapi ia membiarkan Samudra melakukannya.
Samudra menghentikannya. Ia lalu menyandarkan kedua sikunya ke kedua pahanya. Windi menoleh ke arah Samudra yang kini menatap kosong ke depan. Wajah Samudra sedikit berubah, ada jenggot dan jambang tipis. Meskipun telah dicukur tetapi masih terlihat. Hal itu makin membuat perasaan Windi teraduk-aduk, ia tak percaya kalau cowok yang dulu disukainya kini makin hot. Badan kekar, atletis dengan dada bidang serta perut rata, lengan berotot dan wajahnya itu menggemaskan. Ia bersyukur sekaligus khawatir kalau Samudra ada yang melirik atau malah main di belakangnya.
"Lo koq bisa tahu sih gue ada di restoran itu tadi?" tanya Windi yang penasaran.
"Menemukanmu itu gampang. Meskipun kau bersembunyi di kedalaman bumi, gue pasti bisa menemukannya," jawab Samudra.
Windi mengamati Samudra yang berbicara serius. Selama beberapa detik Windi mencoba mencerna perkataan Samudra. Ia pun menyerah, "Baiklah, gue percaya."
"Kau makin cantik," puji Samudra.
Windi tersentak kaget. Dia kali ini mendengar pujian Samudra secara langsung. "Oh, makasih."
"Terima kasih karena masih percaya kepadaku. Rasanya aku tak punya kesempatan untuk bisa selalu dekat denganmu. Untung saja aku mendapatkan kesempatan walau cuma sebentar," ujar Samudra.
"Sebentar? Lo mau pergi lagi?" tanya Windi sambil mengernyit.
Samudra mengangguk. "Bagi kami, hanya semenit atau satu jam bertemu dengan orang terkasih itu sudah cukup, meskipun bagi orang terkasih waktu itu tak cukup."
"Jangan, Lo jangan pergi!" pinta Windi sambil menggenggam lengan Samudra. Dia menyandarkan keningnya ke bahu Samudra. Tercium bau maskulin pemuda itu. "Gue sungguh melarang Elo pergi."
"Aku masih di sini sampai urusan alien ini selesai," ujar Samudra.
Windi mendongak, "Alien. Jadi pesawat-pesawat itu? Salah satunya Elo?"
"Iya, aku yang menumbangkannya. Makhluk itu datang dari langit, lalu menyerang kami. Satu rekan kami tewas, padahal ia termasuk pilot terbaik," terang Samudra.
"Makhluk itu sekarang dimana?"
"Ada di sini koq. Tapi kami merahasiakan tempatnya. Aku ditugaskan untuk menjadi tim yang menjaga kalau sewaktu-waktu terjadi sesuatu yang tidak diinginkan."
KAMU SEDANG MEMBACA
ECHO [end]
Science-FictionAgi mengalami kecelakaan pesawat ketika ia masih kecil yang mengakibatkan ia harus berpisah dengan ibunya. Dia selamat ditolong oleh Kesadaran Bumi sekaligus diberikan kekuatan yang luar biasa. Waktu berlalu ketika dia bertemu lagi dengan perempuan...