9 | Bersama

1.3K 106 8
                                    

"Galuh tidak sadar kalau sekarang tangannya digenggam erat oleh Agi"

~ - o - ~

Beberapa hari kemudian Galuh berada di kamarnya sambil menyelesaikan makalah yang dia buat untuk kuliah yang dia isi besok. Ada perasaan menyesal kenapa ia harus ke Malang. Semangat hidupnya yang selama ini dia peroleh perlahan-lahan mulai pudar lagi. Dia sudah lama melupakan tentang peristiwa yang terjadi sepuluh tahun lalu. Baginya persahabatan yang terjalin antara dia, Windi, Samudra dan Ratri merupakan persahabatan yang tidak biasa. Karena mereka sama-sama pemilik kekuatan ajaib. Lagipula Galuh masih belum bisa melupakan bagaimana ia dulu pernah menyukai Samudra. Ah, melihat Samudra sekarang ia merasa lebih baik. Windi benar-benar mendapatkan pria yang tepat. Lalu dia?

Wajahnya makin kusut. Ia mengikat rambutnya yang sudah mulai panjang. Terakhir kali ia mencukur rambutnya setahun yang lalu, mungkin dia harus mencoba untuk mencari salon muslimah yang ada di sekitar kampus. Mestinya ada, kalaupun tidak ada ia akan mencoba cari cara lain. Memiliki rambut panjang kemudian ditutup kerudung itu harus benar-benar dijaga kalau tidak maka akan lepek dan gerah. Kalau sudah berkeringat maka akan ketombe terlebih lagi baunya akan apek. Galuh sendiri merasa selama ini dia baik-baik saja merawat rambutnya. Seminggu dua kali keramas. Kalau tidak keluar ia tidak akan memakai kerudung agar rambutnya mendapatkan udara.

"Mbak Gal, makan nggak?" tanya Ririn dari luar kamar. "Udah siap lho masakan kami."

"Iya, sebentar!" jawab Galuh.

Galuh menutup layar laptopnya. Setelah itu ia beranjak dari tempat dia duduk. Dia keluar kamar lalu mendapati meja makan sudah ada dua orang di sana. Ada Ririn dan Yuyun. Sepertinya keduanya memasak hari ini. Tempat kos ini memang menyenangkan bagi Galuh karena para penghuninya mendapatkan giliran memasak. Kali ini kebetulan giliran Ririn, sedangkan Yuyun mencoba ikut membantu. Ia sangat tertarik mempelajari kuliner Indonesia. Maklum ia jarang sekali melihat kuliner Indonesia apalagi merasakannya. Tinggal di Jepang sejak kecil membuat dia tidak banyak mengenal tanah kelahiran orangtuanya.

"Wuih, masak apa nih?" tanya Galuh sambil melirik meja makan.

"Oh, ini ada sup ayam, cah kangkung, sambel terasi, trus juga ada tempe goreng, tahu goreng ama kerupuk. Yu-chan mencoba membantuku tadi. Ternyata ia sangat tertarik untuk mempelajari kuliner Indonesia. Sampai-sampai hampir semua proses memasak ia yang melakukannya," ujar Ririn.

"Oh ya? Wah, kalau begitu harus diajarin yang lain juga dong. Nggak cuma makanan ini aja," kata Galuh menyemangati adiknya Agi tersebut.

"Aku sangat senang sekali bisa belajar dari mbak Ririn. Ternyata dia pintar memasak yah," ucap Yuyun.

"Kamu itu merendah, tadikan yang memasak kamu semua," ujar Ririn.

Yuyun nyengir. "Tapi kan semuanya Mbak Ririn yang memandu. Aku jadi belajar banyak. Hontouni arigato!" Yuyun membungkuk kepada Ririn.

Ponsel Galuh bergetar. Ada orang yang menelponnya. Jarang sekali dia mendapat telpon kalau tidak terlalu penting. Hanya saja kali ini yang membuat dia tertarik siapa lagi kalau bukan Agi yang menelpon. Nama Abisoka terpampang jelas di sana. Ternyata pemuda itu sudah mulai berani menelponnya. Galuh takut untuk menerima, ia menatap layar ponselnya untuk waktu yang lama.

"Dari siapa mbak?" tanya Ririn.

Galuh tersentak. Ia seperti orang yang baru saja sadar dari melamun, "Oh. Tidak, bukan siapa-siapa. Sebentar yah!?" Segera Galuh melangkah pergi dari meja makan. Ririn dan Yuyun saling berpandangan.

Gadis itu sengaja menyembunyikan kalau Agi yang menelpon. Menurutnya kalau sampai ia bercerita tentang Agi akan menimbulkan salah pengertian. Terlebih lagi Yuyun tahu kalau kakaknya menaruh hati kepadanya. Bisa jadi sesuatu buruk yang tidak diharapkan. Tetapi kenapa? Tidak masalah bukan kalau toh mereka tahu? Hanya saja hal ini membuat Galuh tidak nyaman. Setelah memutuskan untuk menelpon di dalam kamarnya, akhirnya Galuh menerima telepon itu.

ECHO [end]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang