Chapter 12 | Perjalanan Mindarwati (Bag.3)

9 0 0
                                    

"hmm sepertinya aku harus menanyakan nya pada warga sekitar. Sekarang bagaimana aku caranya kesana?" dialog dengan dirinya sendiri membuat Mindarwati merasa ditemani. Langsung saja Mindarwati bangun dan berjalan keluar statsiun. Beda sekali dengan ibu kota, statsiun di Purajaya terlihat sangat sederhana, mungkin karena daerah perbatasan.

Dliuar stasiun pun ia hanya melihat sedikit sekali kendaraan yang lewat. "baiklah kita coba lewat sini" dengan niat yang teguh Mindarwati menyusuri jalan yang entah - berantah menuju ke mana. Setelah satu jam Mindarwati berjalan yang ia temui hanyalah padang pasir di kanan dan kiri, pemukiman warga hanya sedikit dan padang pasir lebih mendominasi wilayah di Purajaya.

Karena kelelahan, ia pun duduk di pinggir jalan karena tidak ia temui bangku. Sangat berbeda sekali dengan ibu kota yang di mana - mana terdapat bangku bahkan sampai air gratis pun ada.

Saat sedang menikmati istirahat yang ia lakukan karena kelelahan berjalan. Terlihat dari kejauhan kereta kuda sederhana menuju ke arah Mindarwati. Langsung saja ia melambaikan tangannya berharap tumpangan ada untuk dirinya. Benar saja sang pengendara langsung menepikan kendaraannya sesaat setelah melihat lambaian tangan Mindarwati. "maaf pa apakah boleh saya ikut di kereta bapak?" tanya Mindarwati sopan. "ohh boleh mace, silahkan" jawab si pengendara. Langsung saja Mindarwati duduk di samping pengendara.

"kenalkan pa nama saya Subanglarang" ucap Mindarwati membuka percakapan.

"oiya nama sa Robert" jawab pengendara sambil memajukan kereta kudanya.

"bapa asli orang sini?"

"iya sa lahir di sini mace"

"barang apa yang bapa bawa di belakang?"

"hanya sedikit bahan makanan mace, sekarang Purajaya sedang dilanda paceklik. Tanaman - tanaman petani tak' membuahkan hasil yang baik. Mungkin karena terhambatnya irigasi ke wilayah kita."

"hmm apakah walikota sudah mengirim surat kepada pemerintah pusat?"

"sudah berkali - kali tetapi balasanya tangan kosong"

"sudah berapa lama pa seperti ini?"

"jalan tiga bulan mace sekarang. Dulu meskipun disini padang pasir, tetapi tanahnya sangat subur maka dari itu kita selalu berhasil panen setiap tahun. Tetapi tiba - tiba saja iragasi tanaman kita terhambat entah kenapa. Karena di sini padang pasir maka warga sekitar tak' berani untuk mencari tahu sumbernya. Takut terkena badai pasir alasannya mace"

"ohh seperti itu. Memangnya kenapa harus ke padang pasir? Apa disana adalah sumber air di kota ini pa?"

"iyaa, dulu leluhur kita saat masih kecil diberi mukzizat saat sedang terjebak di padang pasir. Tepatnya di wilayah Safa Marwah, pegunungan Wijaya."

"lalu?"

"iyaa, dia lalu diberi mukzizat oleh sang Maha Pencipta yaitu pijakan kaki yang ia pijak tiba - tiba muncul mata air dan sangat deras keluarnya."

"hmm jadi air itu menjadi sumber mata air di Purajaya ini ya pa? Salah satunya irigasi lahan pertanian?"

"yup betul mace!"

"oiya pa, jalan terdekat untuk menuju gurun pasir sebagai jalur ke pegunungan Wijaya lewat mana pa?"

"apa kau ingin kesana mace?"

"iya pa"

"baiklah sa antarkan"

Sesaat kemudian mereka sampai di sebuah wilayah yang entah dimana, hanya terdapat pasir coklat dan angin yang berhembus kencang saja menerpa mereka.

"ini adalah gerbang menuju pegunungan Wijaya mace. Masyarakat biasanya tidak berani untuk berburu lebih dari batas ini."

"oke pa terima kasih atas tumpangannya."

"hati - hati mace banyak binatang buas dan kadang - kadang terjadi badai pasir."

"oke pa terima kasih atas sarannya saya pergi dulu"

"hati - hati mace" ucap Robert sambil memutar arah keretanya dan pergi.

"baiklah perjalanan ku dimulai sekarang!" gumam Mindarwati sambil sedikit menarik bibir sampingnya.

Nusan Tara ( Book 1)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang