4. Satu Lesung Pipi

6.4K 222 3
                                    

Marisa berjalan tergesa. Pelajaran terakhir hari ini sudah usai. Dan sebuah tugas tengah menantinya di toko kue Tante Hani.

Ketika baru akan belok ke taman, bermaksud mengambil jalan pintas untuk keluar dari gedung kampus, langkah Marisa dihentikan oleh hadirnya sosok lelaki di koridor di depannya. Tentu saja ia kenal dengan si senior itu. Namanya Sandi. Sahabat Marvel.

"Mau pulang bareng? Sudah selesai, kan?" tawar Sandi dengan senyum menggoda. Seperti biasa. Dia akan memamerkan satu lesung pipinya pada Marisa ketika bertemu atau mengobrol.

"Iya. Tapi nggak usah, Kak. Bukannya setengah jam lagi Kak Sandi ada pelajaran?" Pun Marisa. Seperti biasa ia juga akan menolak dengan halus.

Ia tahu lelaki di depannya ini sejak dulu menyukainya. Bahkan semalam Kayla membahas tentang ini.

Menurut Kayla, sebaiknya aku mencoba untuk terbuka. Tidak ada salahnya kan mencoba? Lagi pula dekat dengan Sandi bukan berarti yang lain-lain, kan?

Sandi menggaruk tengkuknya sambil nyengir. "Iya sih. Tapi kan masih lama. Tempat kamu kan nggak jauh dari sini." kilahnya kikuk.

Marisa sama kikuknya. Ia hendak kembali menolak, tapi bersamaan dengan itu matanya menangkap postur Kayla di ujung koridor dari balik bahu Sandi. Kayla mengangguk-ngangguk heboh sambil mengacungkan dua jempol tangannya. Duh, anak yang satu ini...

"Ris?"

"Eh... iya. Ngomong apa, Kak?"

Sandi tertawa pelan. "Jadi mau, kan?"

Marisa kembali melirik Kayla. Kemudian mengiyakan ajakan Sandi.

***

Toko kue Tante Hani memang tidak jauh dari kampus tempat Marisa kuliah. Hanya sepuluh menit jalan kaki.

Dan ini kali pertamanya Marisa jalan bareng Sandi. Sudah setengah perjalanan mereka lewati dengan diam. Tidak ada satu pun yang berani memulai topik pembicaraan. Hanya jalan beriringan sambil sesekali melempar senyum saat kebetulan bersitatap.

"Mau duduk dulu, Kak? Saya buatkan minum, ya." tawar Marisa setelah mereka sampai di depan toko.

Sandi tampak melirik arlojinya sekilas sebelum menyahut. "Eh, tidak usah. Kalau begitu saya balik ya. Terima kasih untuk hari ini." tuturnya dengan senyum yang sama.

Marisa mengernyitkan dahi, lalu mengangguk.

"O, ya. Besok kita weekend-an bareng, yuk? Kamu lagi butuh referensi buat tugas UTS, kan? Saya punya beberapa buku yang kamu butuhkan. Sekalian nanti mampir ke toko buku. Ada satu judul yang baru dicetak ulang dengan edisi baru. Isinya lebih lengkap. Bagaimana?"

Wow! Ini kalimat terpanjang yang pernah Sandi ucapkan pada Marisa sejak pertama kali kenal setahun lalu. Kali ini ada getar aneh yang menjalar di sekitar dadanya. Apa itu? Kenapa kini terasa lebih jelas dan cepat dari biasa yang sering dialaminya ketika berdekatan dengan lelaki satu ini?

"Nanti malam saya SMS ya. Soalnya sekarang belum tahu jadwal Tante Hani buat besok."

"Oke, saya tunggu."

Sandi berlalu cepat. Barangkali dia takut terlambat masuk pelajaran berikutnya. Atau mau menyembunyikan rasa gembira karena telah berhasil mendapat kesempatan untuk jalan berdua dengan Marisa. Marisa sendiri masuk ke toko sambil mesam-mesem. Masa bodoh dengan Rio dan Mbak Farah yang menybutnya dengan ledekan.

"Pantes lama di depan. Lagi cuit cuit ternyata." seloroh Rio dari balik pantry.

Marisa meletakkan tasnya di dapur dan menghampiri wastafel. "Bilang saja ngiri." sahutnya sambil meleletkan lidah tanpa suara pada pantulan Rio di cermin di atas wastafel.

"Idih siapa yang ngiri? Lupa ya, aku sudah ada yang punya?"

Sambil mencuci tangan, Marisa kembali menyahut. "Nggak tanya tuh."

"Sudah-sudah. Kalian ini kalau ketemu ribut terus." Mbak Farah menengahi. "Tante Hani pergi tiga hari. Jadi Senin baru akan pulang."

Kontan Marisa berbalik menghadap Mbak Farah. "Pergi? Ke mana?"

"Ibu mertuanya yang di Denpasar masuk rumah sakit. Kalau tiga hari belum sembuh juga, kemungkinan Tante Hani akan lama."

Marisa ber-oh pelan. "Terus bagaimana dengan Toko?"

"Tenang. Kan ada Tante Hani ke dua."
sambung Rio sambil melirik Marisa.

"Untuk pesanan yang sudah masuk kita lanjutkan. Selebihnya, kita tunggu kabar dari Tante Hani."

Marisa menggangguk. Nah, kan. Sekarang ia tahu besok tidak bisa keluar bareng Sandi. "Kapan Tante Hani berangkat? Kok aku enggak dikasih tahu?"
      
"Semalam. Kabar dari Denpasar mendadak. Tante Hani langsung cabut dan cuma sempat SMS aku." jawab Mbak Farah. "Keliatannya sih genting banget. Nggak tahu sakit apa."

"Pantes Tante Hani dari pagi nggak bisa dihubungi." Marisa teringat pagi tadi saat ia hendak mengasih kabar kalau hari ini tidak bisa mampir ke pasar.

Rio mengangguk setuju. "Iya. Semalam juga aku kontak Tante tapi nggak aktif. Niatnya mau libur dulu. Eh sampai pagi nggak ada respon. Jadi berangkat saja."

Sebenarnya masih ada dua lagi karyawan Tante Hani. Tapi Denis sedang sakit dan Ayu sedang izin mengikuti pendidikan kilat. Sedangkan pesanan yang harus diselesaikan menumpuk. Sore ini 100 kotak snack sudah harus diantar. Malamnya ada tiga pemesan di tempat yang berbeda. Masing-masing 150 kotak, 60 kotak, dan 10 kotak. Jadi sekarang mereka bertiga kebut mengepak snack.#

Pernikahan Mendadak [Terbit]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang