"Jadi, Marisa belum bersuami?"
Victor mengangguk santai tanpa sedikit pun melepas perhatian pada menu sarapan favoritnya: segelas susu putih dan dua potong grilled cheese sandwich.
Semalam kondisi papi benar-benar berada di titik terburuknya. Tentu hal itu membuat seluruh anggota keluarga kalang kabut mencari obat jitu. Sayangnya, obat jitu yang dimaksud adalah Victor harus menikah!
Victor sendiri berusaha mengalihkan perhatiannya pagi ini dengan menu sarapan, bahkan mentah-mentah mengabaikan maminya yang ikut menemani sarapan di kafetaria rumah sakit.
Dalam hati Victor sebenarnya amat sangat frustrasi. Betapa ia tidak bisa membahagiakan orangtuanya. Betapa ia begitu bodoh telah membiarkan diri larut dalam kedukaan hati.
Mendadak, mami bangkit meninggalkan meja tanpa berkata apa pun. Bahkan bubur ayam di mangkuknya belum habis.
Namun Victor tidak memedulikan semua itu. Ia lebih memilih merasakan kembali betapa nelangsanya hidup ini setelah kepergian Sherin. Oh, Goddamn! Tolong jangan sebut nama itu lagi! Victor mengumpat dalam hati. Ia kesal kenapa harus mengingat itu."Kak, Victor!"
Victor menoleh dan mendapati adik perempuannya melenggang masuk. Kafetaria saat ini masih ramai pengunjung.
"Mana Mami?" Senna bertanya sambil melirik mangkuk bubur yang tinggal separuh.
Sebagai jawaban Victor hanya mengendikan bahu. Ia telah selesai dengan sarapannya.
"Kak, aku tahu semua orang bersedih akan kondisi Papi." Senna memulai. Wajah ayunya tampak sayu dan pucat karena kurang tidur. Ya. Seluruh anggota keluarga Delimark pasti kelihatan seperti zombie. Terlebih Victor, yang ditugasi amanah paling berat sejak papi tumbang.
"Tapi, Kak. Bila hanya satu-satunya jalan supaya Papi bisa kembali sehat adalah dengan Kakak menikah-"
"... stop it, Senna!" Victor memotong cepat. "Aku tahu. Tapi apa pernah kau pikir, semudah itu untuk menikah? Apa pernah kau pikir, sesederhana itukah cara untuk menyembuhkan Papi?" Emosi Victor mendadak tersulut. Ia tidak tahu harus mengadu pada siapa lantaran tidak ada yang mau mengerti kondisi jiwanya saat ini.
Victor meraup wajahnya kasar melihat adiknya menunduk. Ia marah pada dirinya sendiri karena merasa tidak bisa berbuat apa-apa.
"Mungkin aku bisa mendapatkan perempuan dengan mudah." lanjutnya, kini dengan suara cukup stabil. "Tapi pertanyaan besar yang harus dijawab adalah: apakah Papi akan sembuh dengan pernikahan itu? Kalaupun iya, apakah kesehatan Papi akan berlangsung lama-dalam artian tidak kambuh-kambuh lagi seperti yang terjadi belakangan ini? Aku pusing memikirkan semua itu, Senna!"
Senna menatap getir kakaknya yang tengah menunduk lesu dengan kedua tangan yang bertumpu pada meja, menangkup wajahnya. Seakan dengan itu mampu menenggelamkan seluruh beban yang ada.
"Maaf, Kak. Tidak seharusnya aku berbicara lancang seperti tadi." sesal Senna. "Aku akan kembali menemani Papi. Sebentar lagi Kak Bella menyusul bersama Dion. Lebih baik Kak Victor pulang dan menenangkan diri di rumah."
Sepeninggal adiknya, Victor pergi setelah membayar semua tagihan sarapan. Ia bergegas menuju Ayla grey metallic-nya yang terparkir dan secepat kilat meluncur ke rumah pribadinya di samping DeliRest Cirebon. Hanya setengah jam dari rumah sakit tempat papinya di rawat.
KAMU SEDANG MEMBACA
Pernikahan Mendadak [Terbit]
Romansa[Hanya beberapa part yang di publish ulang. Happy reading dan met nostalgia❣] Apa yang kalian pikirkan tentang sebuah kecelakaan di satu malam? Di dalam kamar hotel? Di atas ranjang? Marisa dan Victor sama-sama tidak pernah berspekulasi tentang itu...