Victor mematikan mesin Dayhatsu Ayla-nya tanpa benar-benar memastikan posisi parkir. Mau parkir bagaimana pun, di mana pun, di areal tanah ini tidak ada yang melarang kecuali Mang Tata, si tukang kebun tua kepercayaan Maminya.
Ada yang lebih menyita perhatiannya ketimbang urusan parkir sembarangan. Telinganya mendengar sayup lengking suara Bella yang beradu dengan bentakan Papi. Disusul dengan suara lirih—yang paling menyita perhatian Victor—dan diakhiri dengan tangisan Mami.
Dengan sekali sentakan Victor membuka pintu mobil dan meloncat keluar, mendekati sumber keributan di istana milik orangtuanya itu. Dan apa yang ditangkap oleh netranya, adalah pemandangan paling horror yang pernah ia lihat.
Di dalam, Bella dengan keras mendorong Papi agar mau masuk ke kamar atau ruangan apa pun dengan tujuan menghindari tamu tak diundang. Sementara Papi masih terus ngotot dengan petuah dan sumpah serapahnya pada si tamu yang tak tahu malu masih terus memohon. Kemudian Mami yang paling terlihat tak berdaya di samping Papi, memegang lengannya. Shock.
Sebelum jadi makin tak terkendali, Victor memutuskan bergabung ke tengah arena. Hal pertama yang dilihatnya adalah pancaran lega yang mengalir dari sorot pandang Maminya.
Ia terus melenggang, mendekat ke Papi dan Mami yang berdiri bersebelahan. "Mari, Pi!"
Papi berontak. Mata merahnya menatap tajam sang putera sulung. Dadanya yang terbalut mantel vest cokelat tampak kembang kempis. "Dengar, Victor. Apa benar bayi dalam perut wanita itu adalah milikmu?" bentaknya dalam satu tarikan napas. Menggebu. "Dengar?" lanjutnya menuntut.
Victor tahu. Bagaimana rasanya tercabik-cabik dalam putaran menyakitkan melihat emosi Papi semakin menjadi. Disapunya pandangan pada Mami dan Bella sebelum menjawab pertanyaan Papi. "Bukan!" tegasnya. "Bayi itu jelas bukan milik saya!"
Sekonyong-konyong Victor mendengar isak yang makin meninggi. Lalu ia bersyukur Papi mau dipapah Bella ke halaman belakang rumah.
Mami masih di posisi. Victor menatap sekilas pada wanita asing yang telah menjorokkan hidupnya semakin dalam ke jurang kegetiran.
Tanpa sepatah kata, ia melangkah meninggalkan ruang tamu.
***
Diraihnya sekaleng rootbeer dari dalam kulkas sebelum menutupnya kembali.
Lancang sekali dia mendatangi rumah ini tanpa seizinnya! Dan drama apa lagi yang tengah direncanakan untuk menghancurkan hidupnya? Kurang berantakan apa lagi hidup Victor setelah peninggalannya yang mendadak enam bulan lalu?
"Victor...,"
Suara lembut Mami yang terdengar agak bergetar mengusik keasyikan Victor ketika berusaha menikmati sekaleng rootbeer dingin di tangan. Dibalikkannya tubuh menghadap sang ibu.
Dan kejutan lain sungguh telah mendominasi perasaannya saat ini. Dalam hati, ia menghitung telah berapa lama tak berpulang? Telah berapa banyak waktu ia habiskan hidup di luar rumah? Kapan terakhir kali ia bersua dengan Mami dan keluarga? Dan yang terakhir... kapan terakhir kali ia merasakan kenyamanan mendominasi aura setiap ruangan di rumah ini?
Ia membiarkan tangan Mami mengusap wajah kerasnya.
"Mam," Victor mendesah lantaran kedua tangan Mami menangkup wajahnya kian keras. "Mami percaya pada Victor, kan?"
Mami mengangguk lemah. Tatapannya masih lekat pada objek utama. Kedua mata Victor yang hitam kelam. Penuh tekad, ambisi, dan derita. "Se-pe-nuh-nya." ucapnya lamat-lamat.
Hati Victor memanas. Diturunkannya kedua tangan Mami dan digenggamnya erat. "Victor akan selesaikan ini. Dan berjanji akan kembali setelah semua usai."
"Tidak, Victor!" Mami menggeram marah. Ada nada putus asa yang kentara dalam suaranya. "Tolong jangan pergi, lagi." Matanya berkaca. Siap memuntahkan cairan beningnya.
Victor menghela napas. "Tolong, Mam. Kesehatan Papi jauh lebih penting ketimbang apa pun." Keduanya bersitatap. Intens. Enggan melepas satu sama lain. "Please!" Dan Victor tahu ia akan memenangi adu tatap itu.
***
Setelah mengucapkan beberapa kata pendorong agar si tamu tak diundang itu keluar dari rumah, Victor membuntutinya sampai ke halaman depan. Cepat sekali dia memasuki Ayla-nya. Ingin bernostalgia, heh?
Victor membawa Ayla grey metallic-nya ke jalanan utama Kota Mangga. Membelah terik siang di sepanjang jalur Tjimanoek.
Ia tak habis pikir, bagaimana bisa ia melupakan wanita ini kalau setiap saat mengganggunya di ujung pelepasan memori? Ketika hati dan jiwanya mulai siap dengan keterasingan baru, justru dia hadir begitu saja di pusaran hidupnya yang mulai dinamis. Apa maunya?
"Vict, tolong dengarkan aku—"
"Kamu yang harus dengarkan aku!" sela Victor cepat. Ia melirik sekilas dari spion tengah. "Apa maksudmu datang ke rumah Papi? Apa kau mendadak amnesia sebagian, dan lupa di mana alamat pribadiku?" ia tersenyum miring. Miris sekali. Pikirnya.
Sherin—wanita berperut horror itu—menggeleng frustrasi. Tak malu menunjukkan tontonan gratis pada bekas pacar yang jelas-jelas menolak diajak berbalikan. "Tolong... aku,"
Victor menggebrak setir. Suara klakson mengagetkan jalanan di sekitar Bundaran Mangga. Ia benci mendengar apa pun alibi yang keluar dari mulut racun itu.
"Apa? Kenapa harus aku? Lupakah kau betapa hancurnya aku melihatmu dengan si keparat itu? Oh-ho, justru sekarang kaulah keparatnya,"
"Victor, diam!"
"H-hey! Jangan membentakku begitu!" delik Victor marah. Masih berusaha stabil memanuver mobilnya. "Kau kira siapa?" bisiknya gemas.
Hening.
Sepuluh menit berlalu. Lima belas menit. Di atas kecepatan 60 km/jam. Victor tahu harus dikemanakan wanita perusak ini. Seingatnya, wanita bekas pacarnya itu masih punya sebuah rumah di kawasan Jatibarang, Indramayu Utara. Dan hampir sampai.
Victor enggan masuk ke gerbangnya, lebih memilih menepi di mulut gang sebuah perumahan elite. "Keluar." desisnya muak. Jujur, ia tidak tahan lagi berlama-lama. Apa lagi dengan kondisi Sherin yang sekarang.
"Kamu tega, Vict!"
"Kamu yang tega! Buat apa menerima lamaranku kalau tahu akhirnya bakal begini?" Victor tertawa sumbang. "Aku puji permainan cantikmu ini, Rin."
Sherin terisak dengan satu tangan memutar kenop pintu.
"Sebentar." Ada yang harus ditegaskan menurut Victor. "Berapa bulan usianya?"
"Dua puluh delapan minggu. Kau berubah pikiran?" Mata Sherin berbinar.
"Siapa yang berubah pikiran? Dan tolong pastikan, setelah ini kau akan benar-benar menyingkir dari hidupku! Kau tahu apa risikonya bila membantah."#
KAMU SEDANG MEMBACA
Pernikahan Mendadak [Terbit]
Romantik[Hanya beberapa part yang di publish ulang. Happy reading dan met nostalgia❣] Apa yang kalian pikirkan tentang sebuah kecelakaan di satu malam? Di dalam kamar hotel? Di atas ranjang? Marisa dan Victor sama-sama tidak pernah berspekulasi tentang itu...