17. Kabar Hati

3.6K 159 3
                                    

Dinda berlari lincah ke sana kemari. Asyik bermain kucing-kucingan dengan omnya yang jarang pulang ke Rumah Besar. Balita empat belas bulan itu memang periang. Apa lagi sejak bisa berjalan ketika ulang tahun pertamanya dua bulan lalu, makin aktif dan lucu.

Victor menjawil pipi gembilnya sambil menghindar dari serangan Dinda. Terus seperti itu sampai si kecil kelelahan.

"Kalian itu ya, kalau ketemu selalu saja langsung klop." Bella datang dengan sebuah nampan di tangannya. Bergabung dengan kakak dan anaknya di gazebo belakang rumah. Meletakkan satu per satu menu yang ia bawa dari dapur.

"Tumben sekali Bibi Iyah cuti pulang kampung. Sejak kapan?" Victor bertanya sambil meraih segelas jus jeruk, sementara Dinda asyik dengan botol susunya di pangkuan Victor.

"Baru kemarin kok Bibi pulang." Bella mengendikkan bahu. "Katanya sih cuma seminggu."

Victor diam. Bibi Iyah adalah orang penting di hidupnya. Bukan hanya sebagai pegawai Mami di dapur rumah ini. Tapi juga sebagai Mami kedua ketika Maminya sibuk mengurus bisnis.

"Bagaimana kabar hatimu, Kak?"

Mendengar pertanyaan Bella, Victor tercenung. Ditatapinya lekat sang adik. Bella adalah yang paling mirip Mami di antara anak yang lain. Tapi juga sifatnya yang lebih keibuan ketimbang Mami, Victor rasa tumbuh berkat asuhan Bibi Iyah.

"Kak?"

Tatapan Victor tak bergeser sesenti pun. Ia menarik napas. "Kamu tahu sendiri bagaimana kabarnya." ucapnya dingin.

Jujur, Victor jadi kepikiran lagi soal Sherin. Kedatangan perempuan itu beberapa hari lalu makin menambah penderitaan Victor. Karenanya, Papi jadi masuk rumah sakit lagi lantaran sempat shock. Dikiranya Sherin mengandung anak Victor.

Bella mendesah. Tersenyum paksa pada Dinda yang mencoba mengajak ibunya bermain.

"Senna akan pulang minggu depan."

Victor menoleh kaget. "Dia mendengar soal kedatangan Sherin?"

Bella mengangguk gamang.

"Dari mana dia tahu?" Victor mengacak rambutnya frustrasi. Merasa telah gagal jadi kakak yang baik buat para adik-adik. Seharusnya Senna, adiknya yang tengah kuliah di Jogja tidak perlu mendengar kabar ini. Terlebih mengenai kondisi kesehatan Papi yang makin menurun sejak berakhirnya hubungan antara dirinya dan Sherin lebih dari enam bulan lalu.

"Tolong berhenti menyalahkan dirimu sendiri, Kak. Ini semua bukan salahmu. Mungkin memang sudah seharusnya Papi beristirahat sejenak." Bella membelai lengan Victor yang mengeras sebab emosi.

Victor menerima botol susu Dinda ketika anak manis itu menyerahkannya dalam keadaan kosong. Lalu dia bangkit dan berlari-lari kecil di lantai gazebo yang terasa luas di huni oleh mereka bertiga.

"Bella," Victor mendesah keras sambil terus mengamati pergerakan lucu Dinda. "aku tidak akan pernah bisa memaafkan diriku sendiri kalau sampai... Dion mengikuti jejakku."

"Ssshhh! Kak Victor nggak boleh bicara begitu. Kamu dan Dion adalah harapan Papi. Aku yakin kalian, dan kita berempat, akan bisa membahagiakan Papi dan Mami."

Detik berikutnya, Bella tenggelam dalam pelukan sang abang.#

Pernikahan Mendadak [Terbit]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang