20. Lobi

3.3K 177 5
                                    

Setelah keluar dari studio, siang ini Marisa akan ke rumah sakit. Memasuki bulan ke sembilan kehamilannya, Dokter Anna menyarankan Marisa agar tidak terlalu lelah bekerja. Marisa juga kerap waswas menantikan momen indah bertatap muka dengan malaikat kecilnya ini.

"Tidak sabar?" Sandi terkekeh di balik kemudi. Sibuk memanuver mobilnya di jalanan yang mulai padat pada jam makan siang.

Marisa tersenyum. Sejak pertemuan tidak disengaja malam itu, Sandi jadi sering menjenguk dan menemani harinya. Sandi juga dapat menerima semua alasan yang Marisa berikan perihal kaburnya dari semua orang. Dan yang terpenting... Sandi tidak membencinya setelah mengetahui fakta bahwa Marisa telah kotor.

Sebulan ini, Sandi jadi lebih perhatian. Sebagai calon dokter anak, Sandi bisa sangat bawel perihal timbangan gizi setiap makanan yang Marisa konsumsi.

O ya, soal mengapa Sandi bisa ada di daerah dekat tempat tinggal Marisa pada malam itu, karena Sandi mulai magang di rumah sakit dekat situ. Kabarnya akhir tahun ini Sandi akan wisuda.

"Kamu turun disini saja, saya akan menyusul setelah parkir mobil. Tunggu di lobi, ya!"

Marisa menurut dan segera turun. Ia tersenyum mengiringi Sandi ketika mobil itu kembali bergerak.

Saat memasuki lobi, Marisa melihat sebuah dompet Bellagio berwarna navy di bawah salah satu kursi di ruang tunggu. Situasi sekitar cukup ramai. Dan Marisa mendekat lalu mengambil dompet bertali pendek itu. Milik siapa? Barangkali milik salah satu pengunjung rumah sakit ini yang jatuh ke lantai tanpa disadari oleh pemiliknya.

Marisa membuka dompet itu dan melihat sebuah kartu tanda pengenal lengkap dengan foto si pemilik. Seorang ibu-ibu.

Tepat pada saat itu, seorang ibu datang tergesa dari arah koridor. Sesampainya di lobi, ia melaporkan kehilangan atas dompetnya yang berwarna navy.

Reaksi spontan, Marisa teriak menghampiri. "Ini, Bu!"

Ibu berpakaian modis itu segera bergerak ke arah Marisa. "Oh ya Tuhan! Terima kasih." ucapnya berbinar pada Marisa.

"Sama-sama, Bu. Tadi saya temukan di bawah sana," Marisa menunjuk.

"Ah, iya. Saya memang belum lama duduk di situ. Kamu mau ke mana?" ocehnya sembari melirik perut besar Marisa kemudian tersenyum. "Usia berapa? Mau cek, ya?"

"Sudah masuk minggu ke tiga puluh delapan, Bu." sahutnya tersenyum. Marisa melihat Sandi menyusulnya mendekat.

"Wah, sebentar lagi! Semoga dipermudah segala sesuatunya ya," kata ibu itu lagi.

"Sudah siap?" Sandi bertanya setelah dekat.

"Nak Sandi?" pekik si Ibu.

"Loh, Tante Vera?" Sandi tampak terkejut sambil celingukan. "Dengan siapa disini? Siapa yang sakit?"

"Sendirian, sedang mengunjungi teman di ruang inap rumah sakit. Kamu... dan perempuan ini?" Ibu yang disebut Tante Vera oleh Sandi itu menoleh bergantian pada Marisa.

Marisa gugup ditempatnya. Sibuk menerka apakah jawaban yang akan diberikan Sandi atas pertanyaan macam itu. Ia paham ke mana pikiran Tante Vera.

Sandi berdeham. "Oh, perkenalkan, Marisa, adik sepupu saya." ucapnya dengan intonasi cukup tegas dari yang Marisa kira.

Tante Vera ber-oh panjang sebelum kemudian Sandi memutuskan obrolan mereka dan mengajak Marisa untuk segera menemui dokternya.

***

"Jadi, ibu tadi..."

"Tante Vera?"

Marisa mengangguk dengan mulut penuh grilled cheese sandwich. Setelah bertemu dokter mereka memutuskan untuk makan siang terlebih dulu di kafetaria rumah sakit.

Sandi mengelap mulutnya dari sisa saus sebelum menjawab. "Dia ibu dari salah seorang sahabat saya."

"Kalian kenal cukup dekat, ya?" Marisa bertanya lagi. Kali ini lebih hati-hati. Takut kalau-kalau Sandi merasa terganggu.

"Yeah, lumayan. Kami sering ketemu ketika saya masih sering bermain dengan putranya." sahut Sandi sambil lalu. Ia mulai menghabiskan jus melonnya "O ya, saya boleh melihat hasil maternity shoot kamu?" lanjutnya antusias.

Seketika wajah Marisa bersemu. Teringat akan konsep maternity shootnya yang kelewat vulgar. Sebenarnya ide untuk melakukan pemotretan kehamilan itu berawal dari sebuah acara reality show di televisi. Marisa melihatnya dan segera mencari studio terbaik dengan privasi terjamin.

Tapi belakangan ia menyesal lantaran telah melibatkan Sandi dalam hal ini. Sebenarnya ketika sesi pemotretan berlangsung Sandi tidak ikut karena sedang bertugas di rumah sakit. Makanya sekarang dia menagih hasil pemotretannya.

"Mm, boleh. Tapi cuma satu konsep saja, ya? Yang lain..."

"Oke-oke," Sandi buru-buru menyela. "saya ngerti, kok." lanjutnya dengan memamerkan satu lesung pipi yang disukai Marisa.

***

Marisa duduk sendiri di meja dapurnya, menikmati makan malam dengan sepotong grilled cheese sandwich dan segelas susu putih. Entah mengapa Marisa jadi begitu suka dengan roti lapis keju panggang itu. Pasalnya sejak dulu Marisa tidak terlalu suka dengan keju.

Siang tadi Dokter Anna bilang bahwa minggu depan mau tidak mau Marisa harus standbye di rumah sakit. Kalau perlu akan dilakukan induksi bila belum juga kontraksi.

Mengingat ini Marisa jadi gelisah sendiri. Sanggupkah ia menjalani prosesnya? Seberapa sakit? Mampukah ia? Berapa lama momen sakit itu akan berlangsung?

Marisa menggeleng. Kata Dokter Anna, ia bisa. Marisa pasti bisa. Ya, ia pasti bisa.

Lalu ia teringat akan keluarganya, Kayla, dan Tante Hani. Mereka semua, masih aman dari seluruh sandiwara ini. Hanya Sandi yang tahu. Jangan yang lain. Itu juga karena ketidak sengajaan.

Tapi belakangan Sandi mulai merajuk perihal Kayla dan Marvel. Marisa menolak. Ia tahu Kayla sahabat setia dan bisa dipercaya. Tapi kelemahan Kayla yang kadang suka kelepasan bicara membuat Marisa jadi sangsi.#

Pernikahan Mendadak [Terbit]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang