18. Ketoprak

3.4K 161 7
                                    

Marisa terjaga. Diliriknya jam dinding. Pukul 11:23 PM.


Ia sudah terbiasa bangun menjelang tengah malam, dan pasti akan sulit tidur lagi sampai pagi. Ini sudah berlangsung selama kehamilannya.

Mimpi makan ketoprak mendadak jadi satu keinginan kuat malam ini. Duh, apakah warung ketoprak di ujung jalan sana masih buka di jam sekarang? Marisa sangsi. Tapi demi apa pun ia akan datangi warung itu.

Bergegas, ia menyambar jaket dan dompet. Kemudian tergesa keluar rumah setelah mengunci pintunya. Sungguh. Usia kandungannya yang menginjak minggu ke tiga puluh dua, membuat gerakannya makin lamban. Semoga masih berjodoh dengan ketoprak favoritnya malam ini!

Jalanan tampak sepi. Maklum, bukan jalan utama meski jalan raya besar. Hanya ada beberapa pengendara lewat satu-satu. Beberapa tukang ojek duduk-duduk di warung kopi dekat pos kamling di pinggir jalan. Sementara rumah-rumah yang berjejer tampak gelap di bagian dalam.

Ketika menyeberang jalan, Marisa terpekik mendadak. Suara decit ban dan sorot lampu mobil seakan turut meriahkan.

Asli. Marisa kaget bukan kepalang. Ia berdiri mematung mengobati dadanya yang naik turun. Samar-samar ia mendengar suara heboh dari arah warung kopi.

"Aduh, maafkan saya, Mbak! Say—MARRY!?"

Marisa membeku. Telinganya salah mendengar, kan? Pasti. Maka, ia perlahan menoleh pada si pemilik suara yang hampir menabraknya.

"Astaga, Marry!" ia mengusap wajahnya dengan polah yang sama sekali sulit Marisa tebak. "Kamu nggak apa-apa?"

"Nggak apa-apa gimana, Mas? Shock itu, bisa depresi ibu hamil kalau shock berlebih." seorang tukang ojek yang menghampiri tempat kejadian hampir tabrak itu berseru.

"Sudah, yang penting nggak ada masalah, yuk balik." Temannya yang lain menimpali sambil lalu.

Marisa menyembunyikan wajah merahnya lantaran menahan malu, "Nggak apa-apa, Kak." ucapnya lirih.

Pria itu—Sandi—merangkul Marisa dan membimbingnya masuk ke jok penumpang.

Tak lama kemudian mereka larut dalam perjalanan tanpa tujuan.

"Kamu mau ke mana malam-malam begini?" Sandi memulai. Barangkali ia sudah mengumpulkan keberanian untuk membuka percakapan.

"Beli ketoprak."

Marisa dapat merasakan lirikan Sandi ke arah perut besarnya. Hatinya mencelos. Tidak tega membuat Sandi kecewa secara langsung.

"Biar saya antar kalau begitu. Kamu sendirian?"

Marisa mengangguk.#

Pernikahan Mendadak [Terbit]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang