Part 11

4.3K 198 11
                                    

Ada saatnya, kita menjadi seorang pejuang, bukan yang diperjuangkan. Berjuang, tidak akan semudah membalikkan telapak tangan. Tidak akan sesepele berbuat dosa. Karena berjuang untuk sesuatu, tidak sebercanda itu.

Kakinya terayun di tangan sofa, kepalanya bersandar di sisi lainnya. Tangannya sibuk mengotak-atik isi ponsel.

"Gue bingung ya, kenapa cewek cantik, tinggi, putih, jago dandan tapi gak norak kayak gue bisa dikacangin sama cowok gak seberapa kayak dia."

Hellen menggelengkan kepalanya takjub saat melihat semua pesan yang ia kirim ke Jo tidak dibalas sedikitpun. Andai saja rasa penasaran itu tidak mendominasi hati dan pikirannya, mungkin Hellen sudah menyiksa Jo habis-habisan karena merasa diabaikan.

"Jo! Lo itu normal atau gay sih?!" dumelnya.

Hellen mengacak-acak rambutnya. Pertanyaan itu juga yang membuat tingkan penasarannya membuncah. Maksudnya, di jaman sekarang, kenapa bisa ada lelaki yang tidak tertarik dengan gitar spanyol mulus sepertinya?

¤¤¤¤¤ ¤¤¤¤¤

"Jo!"

Hellen berlari kecil, menyamakan langkahnya dengan lelaki berkacamata yang sedang membaca bukunya, buku yang membaca judulnya saja Hellen sudah mual.

Jo meneruskan langkahnya. Tidak peduli seberapa keras usaha Hellen meneriaki namanya. Dijawab atau tidak, toh, Hellen akan tetap mengoceh panjang lebar. Berhenti atau tidak, toh, Hellen tetap bisa menyejajarkan langkah.

Dengan napas memburu, Hellen mengejar ketertinggalan. Memukul bahu Jo gemas, tanda kesal. Benar 'kan, prediksi Jo?

"Apa," tanya Jo datar. Lebih berupa pernyataan dibanding pertanyaan. Tidak ada tanda tanya setelah huruf 'a'.

Hellen menyeringai. Situasi kesukaannya saat bersama Jo adalah seperti ini. Ketika Hellen telah bersusah payah berteriak, bercucuran keringat setelah mengejar jejakan kaki Jo. Ia suka, ketika Jo memberinya kesempatan setiap ia telah berusaha. Setidaknya, usaha Hellen tidak sia-sia.

Hellen mulai berbicara. "Lo kenapa gak balas sms gue tadi malam? Padahal, udah gue kasih nama pengirim loh, dijamin bukan dari mama minta pulsa.

"Oh, lo gak ada sinyal ya? Emang provider-nya apa? Pake yang mahalan dong! Atau, lo malah gak punya pulsa? Yaelah, hape mahal mahal, beli pulsa gak sanggup. Nanti gue isiin deh ya!"

Jo menutup buku bacaannya. Memiringkan badan untuk menatap Hellen lebih jelas. Tatapan yang dingin. Tidak berekspresi. Hellen tahu, ada banyak rahasia yang tersimpan di dalamnya. Hellen tahu, Jo tengah bersembunyi dibalik semak-semak kesedihan. Hellen tahu, sebab ia juga merasakannya.

Setelah bertatapan sekian detik, Jo mengalihkan pandangannya.
"Buat apa?" katanya tanpa melihat Hellen.

"Buat apa lo bilang? Sms ada buat tukaran kabar! Gue sms lo supaya kita bisa tukaran kabar. Ini udah mau 2018 loh, tapi lo masih di jaman batu ya keknya? Hahaha."

Jo menghembuskan napas kasar. "Gue tau, tapi buat apa tukaran kabar sama gue?"

"Astaga Jonathan." Hellen merendahkan suaranya. "Gue mau temenan sama lo."

Jo mengangguk mengerti. Memajukan wajahnya tepat di muka Hellen.

"Tapi, gue gak mau."

Hellen menegak saliva-nya. Mengerjapkan mata beberapa kali.

"JO!" teriaknya setelah secepat kilat Jo beranjak dari tempatnya.

¤¤¤¤¤ ¤¤¤¤¤

"Apa?! Lo serius?!" Suara nyaring Chelsea menggema ke seantero kafe. Beberapa pengunjung lain menatapnya tajam, menunjukkan betapa suara itu mengganggu ketenangan.

Chelsea tidak memedulikan reaksi mereka. Melanjutkan kegiatan makan siangnya dengan menu nasi goreng ayam. Mengunyah perlahan sembari menunggu kelanjutan cerita Hellen.

Dengan senyum mengambang, Hellen terus menceritakan niatnya untuk mendekati Jo. "Gue bingung, dari sekian banyak cowok, cuma dia yang gak mau buang waktunya buat natap gue. Cuma dia, yang irit ngomong pas gue deketin."

"Kemaren, gue ngintilin dia, tapi dia malah marah, terus pergi gitu aja. Pas gue sms, eh gak dibalas-balas. Ah pokoknya, gue bisa mati penasaran!"

Chelsea tertawa. Mengaduk jus semangkanya dengan pipet sambil mendengarkan lagi curhatan Hellen mengenai rencananya.

"Dia itu beda, Chel! Gak mungkin lah, cowok kayak Jo mainin hati cewek! Ceweknya kayak gue pula."

Chelsea memutar bola mata mendengar jawaban Hellen ketika dirinya meminta Hellen untuk tetap waspada, agar tidak terlalu berambisi, yang tentu akan berdampak buruk baginya.

"Ya itu terserah lo sih. Mau gue larang pun lo juga bakal ngelakuin 'kan?"

Hellen membenarkan dalam hati. Perempuan sekeras kepala seperti dirinya, mana mau dilarang melakukan sesuatu yang ia inginkan. Karena menurutnya, ketika tidak bisa menjadi alasan seseorang tertawa, berhentilah melarangnya mencari tawa lainnya.

Chelsea melanjutkan, "Ini kali pertama lo pengen deket sama cowok. Jadi, apa pun keputusan lo, gue dukung."

Hellen menyunggingkan senyum. Mengedipkan sebelah mata pada Chelsea. "Kalo gitu, kita mulai sekarang?"

Sungguh, Chelsea ingin membongkar isi kepala Hellen sekarang juga.

¤¤¤¤¤ ¤¤¤¤¤

Jemarinya tidak bisa diam, sibuk menari-nari di atas laptop berwarna merah tua. Layar kecil ini berdebu---sudah lama tidak terpakai lantaran Hellen merasa tidak membutuhkannya.

Di sampingnya, Chelsea sibuk membolak-balik majalah remaja dengan cover Brandon Salim dan Valerie Thomas. Brandon mengenakan kacamata dan memegang sebuah buku, serta Valerie yang memakai pakaian serba jeans dan menatap Brandon tajam.

Mata Chelsea berbinar saat membaca topik utamanya; That Devil is My Angel.

"HELL! LOOK AT WHAT I FIND!" pekiknya girang.

Hellen menutup mulut Chelsea. "Gila lo! Dia gue lagi di rumah! Lo mau bangunin singa ngamuk?" Hellen berdecak. Chelsea menampakkan cengirannya. Ia tahu, singa yang dimaksud Hellen tak lain adalah ibunya sendiri.

"Oke, maaf deh. Nih, ada tips. Keren sih menurut gue."

Seketika, mata Hellen berbinar saat membaca kata demi kata. Ia mengangguk bersemangat. Sepertinya, ia akan menjadi Hellen yang baru.

Hellen si petualang cinta.

That Devil Is My Angel #ODOC_TheWWGTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang