Makan malam bersama tak jarang menjadi waktu berkumpul keluarga. Mengisinya dengan cerita dari berbagai macam topik. Menjadi tempat melepas rindu bagi setiap orang; anak merindukan orang tua, istri merindukan suami, nenek merindukan cucu. Sesederhana itu.
Keheningan menghiasi meja makan keluarga Winata. Mencicipi makanan dalam diam, tiada suara sedikitpun. Seluruhnya sibuk bergelut dengan pikiran masing-masing.
Meja berbentuk segi empat ini hanya diisi oleh empat kepala. Jo duduk di sebelah ibunya, berhadapan dengan Jessica yang duduk di sebelah ayahnya.
Jo sudah tahu sejak awal, apa maksud dan tujuan acara makan malam ini diadakan, yang tak lain tak bukan adalah untuk menekannya. Membuat bebannya semakin berat.
Memikirkan itu membuat nafsu makan Jo menghilang. Ia meletakkan sendok dan garpunya. Membiarkan sisa makanan yang hanya tinggal tiga sendok lagi. Semua mata tertuju padanya. Memandangnya heran.
Jessica ikut menyelesaikan makannya. Rasanya, melihat ketegangan seperti ini semakin membuatnya muak dengan keluarga ini. Jessica juga mengerti sekali mengapa orang tuanya mengajak makan malam bersama, bahwa semua hanya untuk kakaknya seorang.
Beberapa menit kemudian, orang tuanya menyelesaikan makan malam dengan tenang. Menutupnya dengan meminum segelas air putih dalam satu tegukan. Tidak ada tatapan menikam dari keduanya. Membuat Jo benar-benar ingin keluar dari semua sandiwara ini. Berpura-pura baik di depan anak, padahal selalu bertengkar di belakangnya.
"Mama dengar, nilai ujian tengah semestermu turun."
Tanpa perlu menyebut nama, kedua anaknya sudah tahu siapa yang nilainya turun. Jo adalah orang yang akan disidang hari ini. Sementara Jessica, terpaksa mendengarkan dengan ketidaknyamanan.
Jo berdehem.
"Kenapa? Apa ada yang sulit?" sambung papanya.
"Cuma turun tiga angka," jawabnya singkat. Tidak sesuai dengan pertanyaan papanya. Lagipula, siapa yang peduli dengan nilai tengah semester? Toh, tidak akan berpengaruh dengan syarat kelulusannya semester depan.
"Iya, papa tahu. Tapi, itu artinya persiapanmu belum matang. Untuk masuk universitas, kamu butuh ilmu. Kalo terus-terusan gini, kamu mau jadi apa? Pengangguran?"
Bahkan pengangguran pun bisa memakai otaknya dengan baik.
"Iya, benar. Jo, kamu keseringan main-main ya? Ini sudah kelas 11, dikurangin dong mainnya. Kamu harus ingat, apa yang mau kamu capai setelah SMA. Kamu akan jadi bos, Jo!"
Main apa?
"Jo gak main-main."
"Tapi kamu sering pulang malam. Bukankah itu tandanya kamu main-main sama teman-temanmu itu? Menghamburkan uang orang tua, tidak berguna."
Jo mengepal kedua tangannya. Buku-buku jarinya memutih, betapa kuatnya kepalan itu.
"Jo keluar untuk belajar."
"Jangan menjawab saja kamu!" bentak papanya.
Jo menghela napas kasar. Menyerah. Apa pun yang ia jawab tidak akan membuahkan hasil. Padahal, Jo bukan tipe pembangkang. Semua perintah orang tuanya ia lakukan. Cita-cita papanya agar ia menjadi penerus pun ia turuti. Tapi sungguh, Jo amat sangat ingin menikmati masa mudanya barang sedikit.
Mama menengahi. "Jadi, mama sama papa sepakat untuk nambahin les kamu. Setiap malam Sabtu, gurunya akan datang ke rumah, untuk melihat kemampuanmu menjawab soal."
Mama tersenyum tulus.
Jessica diam-diam menunduk. Menahan tangis yang sedari tadi ingin keluar.
"Pokoknya, apa pun yang terjadi, kamu harus tetap mengikuti jalan yang sudah papa buat."
"Iya. Kamu harus jadi anak yang berguna. Dengan les tambahan, mama rasa itu akan baik untuk kuliahmu nanti."
Baik apanya?
Jessica menggebrak meja. Tangannya mengepal erat sama seperti yang Jo lakukan. Matanya tajam menusuk kedua orang tuanya. Ketiga orang itu tersentak.
"Kenapa sih, Kak Jo terus yang diperhatiin? Kenapa Jessi gak pernah? Apa anak kalian cuma dia?" Jessica menunjuk Jo dengan tulunjuknya.
"Jaga ucapanmu, Jessica!" Mama mencekal tangannya.
"Kenapa? Karna mama takut, anak kesayangan mama ini sakit hati? Karna dia anak kesayangan mama, sementara aku cuma pelampiasan nafsu kalian?"
Plakk.
Sebuah tamparan mendarat mulus di pipinya. Jessica mengusapnya pelan. Papa berdiri, menengahi.
"Berhenti! Kinan, apa-apaan kamu menampar Jessi?!"
Jo merasakan dadanya bergemuruh. Inilah yang paling ia takuti, membuat adiknya tersakiti.
Jessica tidak menghiraukan kedatangan Winata di tengah-tengah. "Mama mikirin perasaan Kak Jo, tapi mama sadar gak sih, udah berapa sayatan yang mama gores di hati aku? Mama sadar gak, udah berapa luka yang mama bikin dan gak pernah bisa mama sembuhin?!"
Kinan mengalihkan pandangannya. Menyesal telah menampar anak gadisnya. Ia juga merasa tertampar pada kata-kata Jessi.
"Jawab Ma! Jawab!"
Jo membuka suara. "Cukup, Jessi!"
¤¤¤¤¤ ¤¤¤¤¤
"Kalo kamu mau marah, marah sama kakak. Jangan bentak mama."
Jo menelusup ke kamar Jessica yang pintunya tidak terkunci. Jessica mengalihkan pandangannya ke jendela. Hujan lebat mengguyur kediamannya.
Langit sedang menangis sederas-derasnya. Meluapkan seluruh kekecewaannya. Sama seperti Jessi, yang sedanh menumpahkan air matanya. Air mata yang sedari tadi ia tahan.
"Buat apa? Buat membuktikan kalau kakak orang yang baik? Atau buat membuktikan apa yang mama lakukan itu benar?"
Jo menutup matanya sejenak. Sesak menggerogoti ketika mendengar perlawanan Jessi. Sepertinya, kebencian yang adiknya rasa sudah terlalu dalam.
"Bukan."
"Jadi apa? Buat membuktikan, kalo aku emang gak penting di keluarga ini?" Suaranya parau. Tangisnya semakin deras.
Jo mendekap bahu Jessi. Menenangkannya dengan pelukan hangat. Jo tidak tahu harus berkata apa.
"Kenapa dunia ini gak adil, Kak?"
Jo mendekapnya semakin erat.
Biarlah, biar hujan yang menjawab semuanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
That Devil Is My Angel #ODOC_TheWWG
Teen Fiction[T A M A T] Bagi dewan guru, siswa-siswi, satpam, bahkan cleanning service, Hellen bagaikan iblis. Selalu membuat onar, melawan guru, dan melakukan apa pun sesuka hati. Tapi bagi Jo, Hellen berbeda. Hellen adalah malaikat untuknya. ¤¤¤¤¤ ¤¤¤¤¤ Ceri...