Hal yang paling baik dalam sebuah hubungan adalah sambutan yang baik, dan bagian terburuknya adalah ditolak; bahkan sebelum masuk ke dalamnya.
Mulutnya sibuk mengunyah kentang goreng, tapi matanya terus mengawasi pergerakan dari laki-laki yang saat ini berada tiga langkah di depannya dengan kedua tangan dimasukkan ke saku celana. Ke mana pun orang itu pergi, ia akan terus mengikutinya.
Kepalanya hampir menabrak punggung Jo kalau saja ia tidak buru-buru menahan badannya. Ia menatap Jo kesal. "Kalo ngerem bilang-bilang dong!"
Tangannya bersedekap dada. Mulutnya maju lima senti. Jo mengangkat bahu acuh. Melanjutkan langkahnya menuju perpustakaan dengan dua buah buku di genggamannya.
"Jo! Aish, lo bisa gak, nganggep gue ada? Dari tadi diikutin dari belakang kayak gak ada kejadian sama sekali. Huh."
Jo menghentikan lagi langkahnya secara tiba-tiba. Membuat dirinya lagi-lagi harus ngerem mendadak.
Berbalik arah, Jo berkata, "Emang gue peduli?" Sebelah alis Jo terangkat, membuatnya mengerjap beberapa kali. Jo membalikkan badannya lagi, membiarkannya mengomel.
"Sabar, Hellen. Sabar, ini ujian," katanya pada diri sendiri sambil mengelus dada.
Tiba-tiba, sebuah ide muncul di hadapannya. Hellen bergegas cepat, menerobos kumpulan siswa yang berusaha pergi ke kantin.
Saat ini, mungkin lo anggap gue bukan siapa-siapa. Tapi lihat aja nanti, Jo, gue akan jadi siapa-siapa lo. Gue, Hellen Geovani, akan jadi pengisi hati lo, secepat yang gue bisa, batinnya.
¤¤¤¤¤ ¤¤¤¤¤
Matanya menyapu ke seluruh ruangan. Hanya tersisa lima orang di kelas 11 IPS 1. Sisanya sudah berlarian pulang setelah bergelut dengan pelajaran yang memutar otak.
Hellen menghela napas.
Memasuki kelas dengan lengkungan lebar terpatri jelas di bibirnya. Membuat beberapa siswa terperangah---saking jarangnya iblis sekolah itu tersenyum. Mendekati seorang lelaki berkulit sawo matang dengan langkah gemulai."Hai... Nando?" sapanya setelah melihat nametag di kemeja putihnya. Mengedipkan sebelah mata pada Nando. Orang yang disapa mengerjap beberapa kali, tidak menyangka.
"Hai." Nando balas tersenyum. Pandangannya menjalar---memerhatikan tampilan Hellen dari ujung rambut sampai ujung sepatu.
Sebisa mungkin Hellen menjaga mimik mukanya. Sejujurnya, ia malas berbicara dengan lelaki jelalatan. Tapi apa boleh buat, demi mendapatkan sesuatu, kita harus berjuang 'kan?
Hellen terdiam sebentar.
"Ada apa Len?" tanya Nando tidak sabaran. Gatal sekali tangannya ingin meraih tangan mulus Hellen.
Hellen memutar bola mata melihatnya.
"Oh enggak. Gue cuma pengen minta temenin shopping. Itu pun juga kalo---"
Nando segera memotong ucapan Hellen dengan anggukan pasti. Senyuman Hellen semakin lebar.
"Lo kok tau nama gue?" tanya Nando saat mereka berjalan menuju parkiran.
Hellen mengibaskan tangan. "Hei, lo kan emang terkenal!"
Nando mengangguk. "Tapi gue gak setenar lo, Len."
"Hahaha, gue tau. Btw, lo sekelas sama Jonathan 'kan? Gue boleh minta nomornya gak?"
Kening Nando mengerut. "Buat apa?"
Hellen tampak berpikir sejenak. "Bu Emi, nyuruh gue minjem catatan ekonominya, huh." Hellen mendengus.
"Ooh, nih." Hellen menyambar ponsel Nando cepat dan segera menyalinnya di ponselnya.
Saat Nando sudah bersedia mengenakan helmnya, tiba-tiba saja Hellen menepuk kepalanya sendiri. "Astaga! Gue lupa, gue ada janji sama Chelsea. Sorry banget ya, Nan."
"Yaudah gue anter deh."
"Gak perlu! Soalnya... hmmm... soalnya Chelsea udah nunggu gue di mobilnya. Dah ya bye!"
"Shit!"
¤¤¤¤¤ ¤¤¤¤¤
Cinta berarti sebuah perjuangan. Untuk berjuang, terkadang, kita harus merelakan sesuatu yang biasanya selalu kita jaga. Merelakan harga diri, misalnya.
Kakinya diluruskan ke atas meja. Badannya bersandar pada sofa. Mengistirahatkan diri dari keseharian yang melelahkan.
Keningnya mengerut dalam-dalam ketika melihat adegan di tv. Sepasang remaja yang saling mencintai tampak bertatapan satu sama lain, seolah mengisyaratkan cinta dari sana. Berpegangan tangan seerat yang mereka bisa, seolah tidak terpisahkan.
'Kamu mau 'kan?' tanya si lelaki. Gadis itu mengangguk. Drama diakhiri dengan adegan berpelukan.
Hellen memencet tombol merah---mematikan televisi. Melempar remote asal. "Gak nyata banget. Mana ada di kenyataan yang begitu! Asal nembak langsung diterima. Gak ada tantangannya!" protesnya.
Tangannya meraba sofa---mencari ponsel. Ia melupakan misi pentingnya hari ini.
Hellen mengetik password berupa pola. Membuka aplikasi chatting. Mencari kontak seseorang.
To : es batu
08216644xxxHei! Lagi ngapain lo?
-cewek terkeren sejagad raya
Tidak puas sampai di situ, Hellen mengirimkan beberapa pesan singkat lagi.
To : es batu
08216644xxxSms ada buat dibalas, bukan dibaca doang. Plis, ini bukan koran loh!
-Hellen cantik
Hellen mendengus. Satu jam setelahnya, tidak ada tanda-tanda kehidupan dari orang itu. Mungkin, Jo---yang sedari tadi dikirimi pesan---sedang berada di hutan pelosok yang tidak ada sinyal sedikitpun. Atau kemungkinan lainnya, Jo tidak punya pulsa. Biarlah Hellen berpikir seperti itu. Positive thinking is always a right way to choose, right?
Tak lama kemudian, ia mendengar suara ketukan pintu beberapa kali. Tergesa-gesa, tampak tidak sabar. Terdengar pula racauan dari sana.
Hellen bangkit dari posisi tidurnya. Membuka pintu.
Sangat tidak terkejut saat melihat pemandangan di depannya. Seorang wanita paruh baya mengenakan baju menjiplak lekuk tubuh, berwarna merah terang senada dengan lipstick, serta tangannya menjinjing sepatu hak tinggi berwarna emas.
"Bitch," gumamnya pelan, namun masih terdengar jelas.
"Apa kamu bilang?"
Wanita itu mencampakkan tasnya ke sembarang arah. Memelototi Hellen tajam, seolah ingin membunuhnya sekarang juga.
Hellen menyungging senyum licik. Balas menatap tajam."Bitch, cukup jelas kan? Kenapa harus diulang dua kali?"
Plakk.
Tidak. Tamparan ini tidak sakit. Setidaknya, tidak sesakit hati yang terluka.
"Hei! Kamu gak sadar ngomong sama siapa?! Aku ibumu, Geovani!"
Hellen berdecih. Ingin muntah mendengar tiga kata terakhir. Ibu? Sejak kapan ia memiliki ibu?
"Lo bukan ibu gue! Apa ada, ibu yang biarin anaknya terlantar?! Sementara dia, sibuk foya-foya. Apa ada ibu yang sengaja lewatin masa pubertas anaknya?! Sementara dia, mabuk-mabukan. Apa ada... ibu yang menyakiti anaknya terus-menerus?!
"GAK ADA! Gak ada orang tua yang mau anaknya terpuruk! Jadi, orang tua gue udah mati! Lo bukan ibu gue! Semua udah mati!"
Hellen membanting ponselnya ke lantai. Meninggalkan ibunya dengan perasaan berkecamuk.
Sepertinya, Hellen telah mengungkapkan sebagian isi hatinya.
Tuhan, bolehkan Hellen menangis sekarang?
KAMU SEDANG MEMBACA
That Devil Is My Angel #ODOC_TheWWG
Teen Fiction[T A M A T] Bagi dewan guru, siswa-siswi, satpam, bahkan cleanning service, Hellen bagaikan iblis. Selalu membuat onar, melawan guru, dan melakukan apa pun sesuka hati. Tapi bagi Jo, Hellen berbeda. Hellen adalah malaikat untuknya. ¤¤¤¤¤ ¤¤¤¤¤ Ceri...