Dua lemari kayu besar dibuka lebar-lebar. Bertumpuk-tumpuk pakaian terbaiknya ia serakkan ke atas tempat tidur.
Hellen berkacak pinggang. Bingung. Baju mana yang harus ia pakai hari ini? Ia mengingat jelas pesan Jo, tidak boleh memakai baju ketat. Hellen mendengus.
Tangannya menarik kemaja putih polos. Tampak cocok di badannya, namun tidak menepak badan. Sepertinya, cocok untuk kondisi sekarang ini.
Drrrtt drrrtt.
Ponselnya bergetar beberapa kali. Hellen mencampakkan kemeja yang tadi ia pegang ke atas bantal. Merampas ponsel yang tergeletak di nakas.
Mengerutkan kening saat membaca nama penelepon. Chelsea? Ada keperluan apa?
"Hellen...."
Hellen menjepitkan ponselnya ke telinga. Mengambil kemeja tadi dan bergegas ke kamar mandi ketika melihat jam sudah menunjukkan pukul sepuluh pagi. Jo akan menjemputnya sebentar lagi.
"Apa Chel?"
"Lo bisa temenin gue ke mall gak? Nanti ada acara ke---"
"Aduh! Jatoh lagi bajunya," umpat Hellen. Mengibas-ngibaskan baju agar cepat mengering.
"Kenapa tadi?" tanya Hellen.
"Eh enggak, gak jadi. Lo mau ke mana?"
Hellen tertawa kecil. "Gue mau ke rumah Jo! Kaget gak lo?"
"Oh yaudah deh, gue tutup ya."
Hellen membulatkan matanya ketika panggilan benar-benar ditutup sepihak. Padahal, ia ingin menceritakannya pada Chelsea, tapi tampaknya Chelsea sedang tidak bersemangat.
"Tuh anak kenapa sih? Lagi pms kali ya?"
¤¤¤¤¤ ¤¤¤¤¤
Bahkan untuk menangis pun, kita butuh tenaga.
Pandangannya beralih dari Jo. Memilih menggantinya dengan pemandangan yang menyejukkan. Langit mendung. Perlahan, hujan deras mengguyur perkotaan. Setetes demi setetes air membasahi tanah. Bahkan, di beberapa sudut tampak air menggenang, kemungkinan banjir akan melanda Jakarta lagi.
Hellen menghela napas kasar. Memprotes besar kepada langit. "Emang masalah lo sebesar apa sampe nangis gak siap-siap?" Pertanyaan bodoh yang siapa pun tidak mampu menjawab. Jo menggelengkan kepalanya heran.
"Apa enaknya nangis? Cuma terlihat lemah dan gak bikin keadaan jadi sesempurna dulu. Bahkan, bikin makhluk lain rugi." Hellen berdecak.
Merasa heran, Hellen terus-menerus melontarkan ketidaksukaannya terhadap hujan. Hujan yang menyebalkan, hujan yang cengeng, hujan yang lemah, dan hujan yang merugikan.
Hellen benci menjadi cengeng seperti hujan.
"Emang apa salahnya nangis?" tanya Jo penasaran tanpa mengalihkan pandangannya, tetap fokus pada jalan yang tampak tidak jelas terhalang air hujan.
"Eh?" Hellen menoleh.
"Nangis bukan berarti lemah. Nangis berarti, lo udah terlalu kuat menjalaninya."
"Tapi itu 'kan sia-sia?"
Jo menginjak rem saat rambu lalu lintas menunjukkan lampu merah. Menatap Hellen dengan tatapan lembut---berbeda dari biasanya.
"Gak ada yang sia-sia di dunia ini, Len. Bernapas, berenang, menari, semua ada manfaatnya. Sama kayak nangis, lo bakal ngerasa lebih lega kalo udah melakukannya."
KAMU SEDANG MEMBACA
That Devil Is My Angel #ODOC_TheWWG
Ficção Adolescente[T A M A T] Bagi dewan guru, siswa-siswi, satpam, bahkan cleanning service, Hellen bagaikan iblis. Selalu membuat onar, melawan guru, dan melakukan apa pun sesuka hati. Tapi bagi Jo, Hellen berbeda. Hellen adalah malaikat untuknya. ¤¤¤¤¤ ¤¤¤¤¤ Ceri...