Rumah yang nyaman bukan berarti tempat tinggal mewah, apartemen atau bangunan tinggi yang disertai fasilitas lengkap seperti kolam renang, movie room, gym room atau tempat-tempat istimewa lain yang hanya dimiliki oleh rakyat menengah ke atas.
Defenisi rumah nyaman yang sesungguhnya adalah tempat di mana kita bisa mengekspresikan diri untuk menjadi diri sendiri. Rumah yang nyaman adalah tempat yang membuat kita ingin tetap tinggal, ingin tetap berada di dalamnya dengan kondisi seperti apa pun itu.
Seharian ini Jo menghabiskan waktu di salah satu toko buku terbesar di Jakarta. Membaca sinopsis beberapa buku sejarah dan membelinya, serta membeli dua buah novel romansa remaja ---yang menurutnya membosankan---untuk adiknya.
Jo melepas helm yang sedari tadi melindungi kepalanya. Berkeliling toko buku sudah membuatnya penat dan butuh istirahat.
Tapi, keinginannya ia urungkan saat tangannya baru memegang gagang pintu. Mendengar lagi pertengkaran itu.
"Aku heran, kenapa kau selalu membanggakan Jo dan membandingkannya dengan Jes. Ibu yang aneh!" Suara Winata---ayah Jo menggelegar.
Kinanti---ibunya bersuara, "Membandingkan? Jangan asal bicara! Aku ibunya, aku tau yang terbaik untuk Jona dan Jessi!"
Cengkeraman Jo semakin erat, seolah seluruh emosinya berpusat pada titik itu, berkumpul, hingga tidak bisa lagi tertahan.
"Merasa paling tahu. Tahu apa kau tentang Jes yang sering menangis di malam hari? Tahu apa kau tentang Jes yang cemburu pada kakaknya sendiri?"
Telinga Jo panas mendengarnya, tapi seperti ada yang sedang menahannya untuk menetap barang sebentar saja. Jo tahu maksud perkataan ayahnya, paham sekali. Ayahnya benar, ibu hanya memikirkan tentang peringkat Jo di sekolah, melupakan Jessica yang selalu bermimpi menjadi penari ballet.
Kinanti tertawa hambar. "Kalau aku begitu, konon, apa kabar denganmu yang menunjuk Jo untuk menjadi penerus perusahaan?"
Ibunya juga benar. Ayah yang dulu biasanya menemani Jessica sekarang sudah sibuk dengan perusahaan, juga meminta Jo untuk fokus belajar dan memintanya untuk menjadi penerus.
Terdengar langkah kaki yang mendekat dari kejauhan diiringi suara tangisan. Jo menutup matanya, sama sekali tidak kuat untuk mendengar isakan adiknya.
"Berhenti!"
Winata dan Kinan memalingkan pandangan. "Jessica?"
"Kalau bertemu cuma untuk bertengkar, lebih baik gak perlu jumpa sama sekali. Kalau bersatu cuma untuk perpecahan, lebih baik berpisah," ujar Jessica lemah. Isakannya semakin kuat. Winata berhambur memeluknya. Sementara Kinan hanya bisa diam di tempat.
Jo melepaskan pegangannya pada gagang pintu. Memilih melarikan diri dengan sepeda motornya. Pergi, tanpa tujuan.
¤¤¤¤¤ ¤¤¤¤¤
Tidak semua orang yang biasanya berisik, tongkrongannya diskotik, sukanya memekik, tidak menyukai atau bahkan membenci tempat yang sepi.
Tempat yang senyap pengunjung, malam yang dingin diselimuti angin kencang, seringkali menjadi tempat seseorang untuk menenangkan diri, bercerita pada cahaya sang bulan.
Rooftop selalu menjadi andalan remaja yang sedang ditimpa masalah yang menurutnya beban berat, merasa menjadi manusia paling terpuruk sedunia.
Hellen menyalakan mancis, membakar ujung rokok kelimanya selama dua jam merebahkan badan, menjadikan tangan sebagai bantal, memandang langit.
"Kadang gue bingung, kenapa bokap ngasih nama Fahrenheit? Padahal, namanya Darren, ahli fisika juga bukan." Hellen serius menatap gemerlap bintang-bintang.
"Kenapa gak bintang aja? Selalu bersinar dan bikin orang-orang senang.
"Atau bulan? Tetap menemani bintang, walaupun dia cuma sendirian."
Tawanya memecah suasana. Tidak ada gunanya bertanya pada diri sendiri. Siapa yang akan menjawab? Tidak ada. Hellen selalu bertingkah seperti anak kecil, suka berbicara sendiri saat merasa kesepian.
"Karna bokap lo pengen lo pinter fisika."
Suara lelaki itu menggema ke telinga Hellen. Hellen melirik ke kanan dan kiri, tidak ada orang. Ia yakin, ini pasti halusinasinya saja. Mungkin ia hanya sedang terlalu lelah, sampai suara Jo pun terngiang di kepalanya.
Hellen jadi teringat pada kejadian beberapa hari lalu di perpustakaan, saat dirinya mengecup pipi Jo kilat. Membayangkan bagaimana reaksi keterkejutan lelaki itu. Mengingat bagaimana Jo meneriaki namanya dengan kesal, membuat Hellen tertawa terbahak-bahak.
"Jo... Jo... lo lucu juga."
"Lucu apanya?"
Suara itu muncul kembali. Bulu kuduk Hellen merinding. "Aduh, gue pasti cuma halu! Jo, lo belom mati udah gentayangin gue aja."
Mulut Hellen sibuk berkomat-kamit, entah membaca apa, yang terpenting ia harus menghilangkan bayangan Jo di pikirannya.
"Heh! Gue disini!"
Hellen membalikkan tubuhnya. Sedikit terlonjak saat benar-benar melihat raga Jo yang tertutup gelapnya malam.
"Astaga. Gue pikir..."
"Kebanyakan nonton drakor."
Hellen mendelik. "Lo kali yang kebanyakan nonton drakor. Sok sok romantis lagi datengin gue ke basecamp. Ngintilin gue ya? Haduh, kayaknya harus cari tempat baru nih biar terhindar sama fans yang satu ini."
Jo menjitak kening Hellen pelan. "Romantis? Ngarep."
"Jangan malu-malu, Jo. Modus lo kebaca banget. Apa gak ada cara lain buat deketin gue? Hmmm, lo harus konsulta--" Jo menutup mulut Hellen secara paksa.
"Gue ke sini cari ketenangan, bukan keributan."
Hellen mengangguk paham. Ia juga butuh ketenangan saat ini.
Hellen menyesap lagi batang rokoknya. Mengeluarkan asap dari hidung dan telinga, kemampuan yang baru-baru ini ia dapatkan setelah latihan beberapa kali. Memainkan kepalan tersebut dengan jari.
Hellen menjulurkan sebatang rokok. "Lo gak tertarik?"
Jo mendorong tangan Hellen. Menggeleng.
"Kenapa? Apa hidup lo terlalu sempurna, sampe rokok pun gak tersentuh? Apa lo gak pernah depresi sama masalah? Atau... lo gak punya masalah?"
Jo berdiri dari duduknya. "Lo gak perlu tahu."
"Oh oke."
Jo membalikkan badannya, memutuskan untuk pulang karena malam sudah semakin larut. Tapi gerakannya terhenti saat Hellen menyebut namanya.
"Makasih udah buatin makalah gue."
Jo mengangguk. Ia meninggalkan Hellen setelahnya. Jo tahu, ada ketulusan di balik ucapan terima kasih itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
That Devil Is My Angel #ODOC_TheWWG
Fiksi Remaja[T A M A T] Bagi dewan guru, siswa-siswi, satpam, bahkan cleanning service, Hellen bagaikan iblis. Selalu membuat onar, melawan guru, dan melakukan apa pun sesuka hati. Tapi bagi Jo, Hellen berbeda. Hellen adalah malaikat untuknya. ¤¤¤¤¤ ¤¤¤¤¤ Ceri...