"Akhirnya selesai juga."
Hellen meregangkan jemarinya. Menutup buku catatan miliknya dan milik Jo. Melempar keduanya bersamaan. Tidak peduli jatuh di mana, Hellen hanya ingin mengistirahatkan tangannya yang hampir keriting. Membiarkannya diguyur air dingin.
Ia menarik handuk dari jemuran, menyiapkan pakaian ganti---kaos putih polos dan celana pendek sepaha, lalu memulai aktivitas mandi paginya yang kesiangan. Hari Minggu memang biasa dipakai orang-orang untuk bermalas-malasan, dan itu selalu terjadi pada Hellen.
Hellen tidak seperti gadis seusianya yang betah berlama-lama di kamar mandi. Bahkan, kalau bisa tidak mandi, ia akan senang hati melakukannya. Jadi hanya membutuhkan sepuluh menit, ia sudah keluar dari kamar mandi lengkap dengan pakaian gantinya.
Hellen berjalan menuju meja rias untuk mengambil hair dryer, mencolokkannya ke cok sambung dan mulai mengeringkan rambutnya yang basah.
"Bu Emi gila apa ya, nyuruh gue nyiapin catatan sebanyak tumpukan sampah dalam dua hari. Untung aja ini Minggu, gak repot kan gue."
Hellen menyelesaikan aktivitasnya. Matanya menyapu sekeliling kamar, sudah rapih tanpa ia bersihkan. Tapi...
"Buku catatan si Jo gue taro mana ya?" tanya Hellen pada dirinya sendiri.
"Mbak Ineeem!" Hellen berlari ke dapur, mencari asisten rumah tangga yang tadi membersihkan kamarnya.
"Iya?"
"Mbak liat buku catatan ekonomi temen Hellen gak?"
Jangan heran dengan kata-katanya yang lembut. Di rumah ini, Hellen memang sangat menghargai semua pekerja, karena merasa banyak berhutang budi. Hanya mereka juga tempat Hellen mengadu, sebelum Chelsea datang ke kehidupannya.
"Yang mana atuh? Abdi teh beresin semuana, buku-buku teh Hellen di meja belajar," jawab Mbak Inem.
"Oh, oke deh."
¤¤¤¤¤ ¤¤¤¤¤
Jo tampak sangat marah pada Hellen sejak gadis berambut panjang itu menjelaskan bahwa buku catatannya hilang. Buktinya, setelah Hellen selesai berbicara, Jo langsung pergi dengan langkah lebar, seolah malas berlama-lama bersama Hellen.
Hellen membuntutinya diam-diam saat Jo mencari Bu Emi di kantor guru. Berusaha menjelaskan hal yang terjadi.
"Hilang? Anak itu, memang tidak bertanggung jawab." Bu Emi geram. Berdecak kesal. Hellen memajukan mulutnya mendengar tanggapan Bu Emi.
"Lalu saya harus bagaimana, Bu?"
Bu Emi memajukan kursinya sedikit. Berdeham. Firasat buruk, pikir Hellen.
"Saya minta maaf, tapi peraturan tetaplah peraturan, Calvien. Kamu tetap tidak bisa ikut ujian, seperti yang lainnya."
Jo mendesah. Dalam hati merutuki kebodohannya, mau saja meminjamkan buku catatannya kepada perempuan seperti Hellen. Tidak berpikir panjang; dengan tingkah Hellen yang suka semena-mena dengan barang.
"Apa gak ada cara lain, Bu?"
Bu Emi tampak menimbang-nimbang. Memikirkan cara agar Jo bisa mengikuti ujian.
Hellen memajukan indera pendengarannya, ingin mendengar lebih jelas. Tapi tiba-tiba, sesuatu yang tidak diinginkan terjadi. Bugh. Hellen terjatuh, dan tidak sengaja mendorong pintu.
Bu Emi dan Jo sontak mengalihkan pandangannya kepada siswi yang sedang menggaruk-garuk kepalanya itu. "Hellen?" panggil keduanya bersamaan.
"E..eh."
"Mau cari masalah apa lagi kamu? Gak capek, berurusan sama saya? Pake ngilangin buku Calvien lagi." Bu Emi geleng-geleng kepala melihatnya.
"Ibu jangan negatif mulu. Saya ke sini mau minta maaf, saya gak sengaja."
Hellen menunduk---merasa bersalah. Sejujurnya, untuk pertama kali dalam hidupnya, baru kali ini Bu Emi melihat Hellen sebegitu menyesalnya, atau bisa jadi hanya tipu daya belaka.
Jo bangkit dari duduknya. Keningnya berkerut, kedua alisnya hampir menyatu. "Gak sengaja apanya?"
"Maksud lo?"
Jo mengangkat bahu. "Balas dendam, huh?"
Hellen menggelengkan kepala. Tidak bisakah Jo membedakan situasi?
"Terserah ya, Jonathan, lo mau ngomong apa. Gue ke sini mau minta maaf sama Bu Emi atas keleletan gue." Hellen beralih menatap Bu Emi. "Bu, saya gak bisa ngumpul catatannya hari ini."
"Kenapa? Bukannya tadi pagi kamu bilang udah selesai?"
Hellen mengaitkan kesepuluh jarinya di belakang badan---salah tingkah. Menarik napas kasar. Sesungguhnya, ia malas terlihat seperti orang baik, berpura-pura berkata lembut, terlalu melankolis. Tapi apa boleh buat, ia melakukan ini juga untuk menyelamatkan Jo. Karena menurutnya, ketika kita membuat seseorang sulit, berarti kita juga harus bertanggung jawab pada orang itu.
"Saya gak bisa ngumpulin catatannya Bu," ulangnya.
Melanjutkan, "Gak mungkin saya bisa tenang ujian, sementara dia yang udah minjamin catatannya ke saya gak bisa ikutan ujian. Mana bisa saya bersikap acuh-tak-acuh sama orang yang udah bantu saya.
"Saya harap ibu mengerti. Jadi, kalau ibu hukum dia, ibu juga harus hukum saya."
Bu Emi menutup mulutnya---kagum dengan penuturan Hellen yang menurutnya sangat mengiris hati. Ternyata, perempuan bringas, lasak, pembuat onar, suka melawan guru, memiliki satu sisi yang tidak pernah ia tunjukkan. Bu Emi refleks menarik Hellen ke pelukannya. Hellen tidak membalas, tidak juga menolak.
Jo terpukau dengan perkataan Hellen. Bagaimana Hellen mengatakannya, bagaimana Hellen memintanya, Jo melihat ketulusan.
Bu Emi melepas pelukannya. Hellen menegak salivanya. Jo mendatarkan kembali raut wajahnya.
"Baiklah. Kalian gak akan saya hukum. Kalau mau ujian, cukup buat makalah tentang pelajaran kita selama semester ini, saya tunggu dua hari lagi."
Jo bernapas lega. "Makasih Bu."
Tapi Hellen, tidak memancarkan kebahagiaan di mukanya. "Makalah, Bu?"
Bu Emi mengangguk.
"Kenapa... gak dihukum hormat tiang bendera aja?"
Bu Emi melongo. "HELLEN!"
Sedetik kemudian Hellen sudah hilang dari pandangannya. Bu Emi menggeleng. "Ada-ada saja.""Kalo gitu, saya permisi, Bu," pamit Jo, dibalas anggukan oleh Bu Emi.
Tanpa Jo sadari, kedua sudut bibirnya terangkat ke atas. Dalam hati, Jo mulai sadar bahwa sebenarnya, Hellen bukanlah iblis.
Ia hanya... malaikat berbaju iblis.
KAMU SEDANG MEMBACA
That Devil Is My Angel #ODOC_TheWWG
Roman pour Adolescents[T A M A T] Bagi dewan guru, siswa-siswi, satpam, bahkan cleanning service, Hellen bagaikan iblis. Selalu membuat onar, melawan guru, dan melakukan apa pun sesuka hati. Tapi bagi Jo, Hellen berbeda. Hellen adalah malaikat untuknya. ¤¤¤¤¤ ¤¤¤¤¤ Ceri...