Part 16

3.5K 172 18
                                    

Derap kakinya menyusuri lorong gelap sekolah di pagi hari. Murid yang datang masih bisa dihitung pakai jari. Menyibukkan diri dengan aktivitas masing-masing.

Entah angin apa yang membuat dirinya datang sepagi ini, sementara kelas masih dimulai setengah jam lagi. Sangat tidak mencerminkan dirinya.

Angin sejuk pun masih dapat ia rasakan---tidak harus berburu udara dengan siswa-siswi lain seperti saat mengantri jajan di kantin. Air mancur yang terdapat di taman menambah ketenangan. Sampah yang biasa berserak di setiap sudut juga belum menampakkan diri. Sungguh sebuah anugerah yang jarang ia dapatkan.

"Gue pikir sekolah ini gak pernah bersih," gumamnya.

Matanya melihat sekeliling. Amat berbinar ketika menangkap siluet seorang laki-laki yang sedang mengalunkan kepalanya---menikmati alunan musik dari headset yang menancap di daun telinganya.

Ia terkekeh. "Jodoh sih ya, di mana-mana ketemu."

Tangannya jahil menggoyangkan selembar daun rumput ke leher lelaki itu. Meringis. Itulah reaksi yang ia tunjukkan.

Menghela napas. "Ngagetin aja kamu, Len."

Ia termangu. Apa ia tidak salah dengar?

"Lo ngomong apa tadi?"

"Kamu ngagetin, Hellen."

Hellen mencubit pipinya sendiri. Sakit. Ternyata pendengarannya memang masih berfungsi dengan baik. "Kamu? Lo halu ya Jo?"

Jo menggeser badannya. Memberi ruang agar Hellen ikut duduk bersamanya. Melepaskan tas dari gendongan Hellen dan meletakkannya di bawah bangku.

"Orang pacaran itu, gak pake lo-gue, pacar." Jo mencubit hidung Hellen sampai memerah. Tidak hanya hidung rupanya, pipi Hellen ikut semerah tomat rebus mendengar jawabannya.

Hellen meneguk ludahnya susah payah.

"Kamu gak nyaman ya?"

"Eh bukan kok. Gu-- eh aku cuma gak biasa aja."

Jo memeluknya dari samping. Hellen tidak dapat berkata-apa. Jantungnya berdetak kencang. Sepertinya ia harus ke dokter nanti sore, siapa tahu copot.

Tiba-tiba, ia teringat dengan kejadian kemarin siang di rumah Jo. "Oh ya, nyokap lo-- eh hmm mama kamu gak suka ya sama aku?"

"Kenapa harus suka? Toh pacar kamu aku, bukan mamaku."

Hellen berdecak. "Ih bukan itu, Jo."

Jo tertawa. "Mama aku emang gitu orangnya. Mungkin, dia juga lagi sakit kepala, Song Joong Ki nikah sama Song Hye Kyo. Nanti juga pasti suka kok.

"Kamu tenang aja, pacar."

Hellen mengangguk. Menyandarkan kepalanya di bahu Jo. Memandangi air mancur beberapa langkah di depannya. "Hidup ini lucu ya. Sekarang, kita bisa seneng bareng-bareng. Tapi besok, kita malah saling caci."

"Kamu kok bilang gitu?"

"Emang gitu kenyataannya, Jo."

Jo terdiam.

Hellen melanjutkan. "Tapi aku gak akan biarin itu terjadi. Aku gak akan pergi dari kamu. Kecuali..."

Jo menoleh. Menunggu perkataan Hellen yang selanjutnya.

"...kecuali kamu yang minta aku buat pergi."

¤¤¤¤¤ ¤¤¤¤¤

Dahi Jo berkerut saat melihat sepasang high heels berwarna putih tergeletak di teras rumahnya, juga sebuah mobil sedan terparkir di halaman rumah.

Suara sahut-menyahut dari ruang tamu membuatnya semakin penasaran. Siapa yang bertamu sesore ini?

"Calvien!"

Kunci motor yang ia pegang jatuh bersamaan dengan sorot mata yang meredup. Suara itu.

"Duduk sayang," ajak Kinan---mama Jo. Di sebelahnya terdapat Winata---papa Jo. Jo menghela napas. Tidak menoleh ke pemilik suara yang tadi memanggilnya.

Jo meneruskan langkahnya tanpa memedulikan panggilan kedua orang tuanya sedikit pun.

Untuk apa lagi dia datang?

¤¤¤¤¤ ¤¤¤¤¤

Jo menuruni anak tangga setelah Jessica memanggilnya untuk makan malam. Emosi Jo semakin bertambah setelah mengetahui tamunya tak kunjung datang. Jo membuang muka.

"Jonathan, kenapa sih baru turun? Kasian tahu, Natty dari tadi nungguin kamu." Kinan membagikan piring ke semua anggota keluarganya, juga ke Natty, gadis bertubuh ramping yang kini duduk bersebelahan dengan Jessica.

"Jo gak minta ditunggu."

Natty terlonjak. Heran dengan tanggapan yang Jo berikan. Tapi, sebisa mungkin memaksa bibirnya untuk tersenyum.

Jo menyelesaikan makannya lebih awal, terlebih tadi ia hanya mengambil porsi sedikit. Meninggalkan meja makan tanpa sepatah kata. Kinan menggelengkan kepala pelan. "Kamu kejar, gih."

Natty mengangguk. "Iya, tante."

Natty tidak perlu bertanya di mana Jo berada, sebab ia tahu, Jo suka sekali mengurung diri di kamar. Ia juga tidak perlu bertanya di mana kamar Jo, sebab itu menjadi tempat favoritnya setiap ke rumah ini.

"Kamu gak pernah berubah ya. Masih suka ngurung diri. Masih suka musik mellow. Hmmm... wangi parfum juga gak berubah." Natty masuk tanpa permisi.

Jo membuka tugas geografinya. Menuliskan sesuatu. Mengacuhkan Natty yang kini beranjak ke tempat tidurnya.

"Udah lama kita gak ngobrol. Terakhir kali waktu..." Natty mengingat-ingat. Sudah lama sekali.

"Lo selingkuh."

Natty tersenyum kecut. Ternyata, Jo masih mengingatnya dengan jelas.

"Kamu masih ingat. Aku pikir kamu udah lupa. Oh ya, sementara waktu aku tinggal di sini loh, sambil nunggu rumah lamaku beres. Dan kamu tau? Aku bakal satu sekolah sama kamu!"

Pulpen Jo terjatuh. Satu sekolah? Rahangnya mengeras. Tangannya mengepal kuat-kuat. Berbalik arah, menatap Natty tajam.

"Buat apa?" tanya Jo dingin. Natty menggigit bibirnya. Tidak pernah ia mendengar Jo bicara seketus itu padanya. Yang ia tahu, Jo selalu lembut, hanya kepadanya.

"Buat... temu kangen sama kamu. Oke, aku minta maaf. Dulu, aku ketipu sama Wildan. Ternyata, dia cuma manfaatin kekayaanku. Maafin aku Jo. Aku bener-bener gak maksud---"

"Nyakitin gue?"

Natty menunduk. Air matanya jatuh dengan mudahnya. Suaranya bergetar. "Bukan gitu, Jo. Tapi serius, aku ke sini buat minta maaf sama kamu. Memperbaiki apa yang udah aku hancurkan."

Jo memutar bola matanya. Jika Natty mengucapkannya tepat sehari setelah ia memergoki Natty dan Wildan bergandengan tangan, mungkin, Jo bisa memaafkannya. Tapi, kejadian itu sudah lama, saat mereka masih SMP. Bagaimana mungkin sekarang Natty kembali dengan semudah itu?

"Aku mau kita balikan, Jo. Maafin aku."

Jo melepas kepalannya. Membuang napas kasar. "Gue maafin lo."

Tangis Natty mereda. Tapi, sepertinya itu hanya sementara. Sebab, perkataan Jo yang selanjutnya jauh lebih menyakitkan dari sikap acuhnya.

"Tapi kita gak bisa balikan."

That Devil Is My Angel #ODOC_TheWWGTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang