Part 25

3.2K 147 3
                                    

Jalanan sudah sepi. Hanya satu-dua kendaraan berlalu lalang, melewati malam yang lengang. Terlalu larut bagi seseorang untuk melakukan aktivitas, selain tidur dan bermimpi.

Jo melirik jam tangannya. Pukul tiga dini hari. Ini berarti, ia belum pulang ke rumah sejak mencari Hellen, bertemu Natty dan mencari Hellen lagi. Ia sudah ke rumah Hellen, ke diskotik tempat Hellen menghabiskan malamnya, maupun ke rooftop. Hellen tidak ada. Tidak ada pilihan lain selain menyerah dan kembali berusaha besok.

Perutnya berbunyi, meminta diisi. Ternyata, perutnya cukup bisa dikendalikan pada saat-saat seperti ini. Setelah berjam-jam melupakan jadwal makan, ia baru merasakan lapar sekarang. Parahnya, ia bahkan melupakan jadwal les matematikanya, sementara besok pagi-pagi harus diadakan ulangan.

Pikirannya melayang pada percakapannya dengan Hellen beberapa minggu lalu, sebelum Natty datang dan menghancurkan segalanya.

"Kamu gak bosan belajar terus?" Hellen bertanya.

"Kadang-kadang sih, pasti. Tapi mau gimana lagi? Udah kewajiban aku sebagai anak pertama."

"Tapi, apa kamu gak sadar, kalo sebenarnya kamu cuma jadi boneka? Yang bisa dimainin sesuka hati."

Jo meraih tangan Hellen dan menggenggamnya. "Aku harus pintar, supaya anak-anakku juga pintar. Apalagi, kalo istrinya kayak kamu."

Hellen melongo, melepaskan genggaman tangan Jo. "Yaudah, sono lo nikah sama Amir!"

Jo tertawa. Hampir setiap percakapan mereka tidak pernah berakhir serius. Selalu saja, bila Hellen mulai menanyakan mengenai dirinya, Jo akan mengganggu. Padahal, mungkin Hellen tidak sadar, bahwa semua hanya alibi untuk menutupi kesengsaraannya. Namun, semua sudah berubah. Senang berganti menjadi pilu. Tawa berganti menjadi air mata.

Memikirkan itu membuat Jo kembali tersadar dengan kenyataan. Kembali teringat akan luka di hatinya.

Jo memarkirkan mobilnya di garasi. Berjalan selangkah demi selangkah pelan, agar tidak mengeluarkan suara. Ternyata, lampu ruang tamunya sudah mati, jadilah ia berjalan santai melewati ruang tamu.

"Dari mana saja, Tuan Jonathan?"

Bukan, itu bukan suara asisten rumah tangga yang biasa terjaga di larut malam, yang selalu sedia setiap majikannya membutuhkan sesuatu. Itu suara seorang laki-laki gagah, dengan nada ketegasan yang tidak terbantahkan.

Lampu hidup beberapa detik kemudian. Sudah ada dua orang berdampingan berdiri di anak tangga ke tiga. Menatap nyalang dengan raut marah bercampur kantuk, seraya berkacak pinggang.

Jo tidak menjawabnya. Ia hanya balas menatap, tidak kalah sengitnya dengan kedua orang tuanya. Hendak melanjutkan langkah, namun dihalangi. Jadilah ia berdiam diri, menunggu celotehan selanjutnya.

"Anak sekolah macam apa pulang jam segini?" Winata bertanya lagi. Nada kemarahan terdengar jelas di telinga Jo.

"Tadi---"

"Ngemis-ngemis minta bolos kelas dari jam 12, bawa cewek berandalan. Di jalan rusuh kayak orang rendahan. Pergi ke diskotik. Datengin rumah orang asing. Dan terakhir, bolos les?

"APA YANG ADA DI PIKIRANMU, JONATHAN?!" bentaknya keras. Hingga, beberapa asisten rumah tangga keluar, mengintip diam-diam, sembari memastikan bahwa tidak ada sesuatu yang buruk.

Jo menggenggam tangannya di udara. Hendak membalas, namun membiarkan orang tuanya yang paling tahu segalanya menyelesaikan ucapannya.

"Mama bingung ya, kenapa selera kamu sekarang rendahan sekali? Bukankah Natty terlalu sempurna dibandingin sama dua perempuan gak jelas itu?

"Mama gak mau tau. Kalo kamu sampe nekat deketin mereka lagi, siapa pun itu tanpa izin mama, kamu akan mama pindahkan ke sekolah!"

Winata menyambung, "Benar. Papa setuju. Atau kalau perlu, kita urus surat pindahnya sekarang."

Jo membuka mulutnya. Ia tidak bisa menahan diri lebih lama lagi.

"Kalian pikir saya ini apa? Boneka? Yang bisa kalian gerakkan sesuai keinginan kalian, yang katanya kalian pelihara dengan kasih sayang padahal hanya menjadi mainan."

Mata Winata melotot. "Lancang ka---"

"Kenapa semua hanya tentang nilai? Apa kalian gak pernah bersenang-senang waktu muda? Lalu, apa kalian pernah bertanya keinginan saya dan Jessica? Enggak! Kalian memutuskan semua secara sepihak dan gak pernah melibatkan saya dan adik saya.

"Apa kalian gak sadar, selama ini Jessica merasa tidak diperhatikan? Lalu di saat yang bersamaan, saya ditekan dengan seluruh permintaan kalian. Anda dan Anda memang orang tua yang adil, sama-sama mampu membuat anak terpuruk." Jo menunjuk Kinan dan Winata dengan jari telunjuknya. Peduli setan dengan sopan santun yang selama ini ia terapkan.

"Saya sudah lama diam. Saya selalu menuruti kemauan Anda, Pak Winata. Tapi kali ini saya tidak akan menyerah, tidak akan melepaskan orang yang saya cintai lagi.

"Saya cinta Hellen dan saya akan selalu memperjuangkannya."

Jo menyingkirkan Kinan dan Winata yang memaku di tempat. Terkejut dengan semua perkataan Jo. Jo hendak membuka pintu kamarnya, namun kemudian, yang dapat Jo dengar hanyalah teriakan ibunya.

¤¤¤¤¤ ¤¤¤¤¤

"Bagaimana keadaan Mas Nata, Wan?" Kinan berdiri setelah dokter yang menangani Winata---suaminya keluar dari ruangan. Jonathan dan Jessica hanya menoleh dan memilih untuk mendengarkan. Jo memeluk Jessi, menenangkan adiknya agsr tidak takut lagi.

Memang, katanya seorang anak perempuan akan lebih khawatir dengan ayahnya. Walaupun, ayahnya tidak lagi perhatian kepadanya, serta selalu mementingkan pekerjaan. Namun sejahat apa pun, tidak ada anak yang mampu membenci orang tuanya sendiri.

Namanya Dokter Irwan, kerabat jauh Winata yang sudah mereka anggap keluarga. Ia tersenyum menenangkan. "Bersabarlah, Mas Nata mengalami serangan jantung. Ia hanya terlalu shock, hingga jantungnya berkontraksi. Mungkin, pikirannya yang terlalu banyak beban juga menjadi salah satu sumbernya.

"Tapi sebentar lagi Mas Nata akan siuman. Yang penting, jangan kageti dia, jangan timbulkan masalah-masalah yang membuatnya terkejut lagi."

Kinan mengangguk lemah.

"Saya permisi, Mbak."

Dokter Irwan pergi. Kinan dan Jessica segera masuk ke ruangan. Sementara Jo memilih berdiam diri di kursi panjang.

That Devil Is My Angel #ODOC_TheWWGTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang