Suatu kebanggaan bisa dikelilingi orang-orang yang peduli akan suka duka kehidupan kita. Lebih bangga lagi, ketika orang yang bersikap acuh-tak-acuh justru memiliki empati yang tinggi terhadap kita. Dan terasa mengesankan, ketika semua orang memilih menjauh, ia malah semakin merapat.
Menurut Hellen, itulah defenisi sahabat yang sebenarnya.
Sepanjang perjalanan, ia tak luput memikirkan keberadaan Chelsea. Ia merindukan sosok sahabat yang selalu berada di sampingnya, sungguh. Tapi, keadaan terkadang membuat ego lebih mendominasi.
Dan sungguh, Hellen jauh lebih merindukan dua orang yang saat ini duduk di jok depan mobil. Sosok yang selama ini selalu ia butuhkan, namun tidak pernah berada di sisinya. Sosok yang selalu ia pikirkan, namun tidak pernah datang kepadanya.
"Mama minta maaf." Singkat. Bahkan terlalu singkat untuk sebuah permintaan maaf. Namun, hatinya sudah tersentuh. Luluh, seolah sepatah kata maaf dari ibunya telah menghapus sebagian luka yang menerpanya.
"Papa... juga."
Hellen baru mengerti, mengapa pada adegan keluarga sebuah film selalu diiringi dengan haru. Hellen sudah mengerti rasanya, bagaimana mendengar ucapan tulus dari seseorang yang amat kita inginkan.
Setetes air mata lolos jatuh membasahi pipinya. Mulutnya bahkan tidak mampu berkat apa-apa lagi. Ia menangis sejadi-jadinya. Bahkan, lebih parah dari tangisnya saat bermasalah dengan Jo.
Suasana menghening. Mobil besar yang mampu memuat delapan orang ini hanya diisi dengan isakan ibu dan anak. Sementara Mubdi---papanya tetap fokus menyetir.
Hellen menyudahi tangisnya. Menarik napas dalam-dalam. Mengontrol suaranya beberapa kali. "I'm so happy to be with you, guys. Tapi... kenapa mama sama papa bisa ada di sini?"
Pertanyaan itulah yang sebenarnya menggema di pikirannya. Padahal biasanya, setelah diberi surat peringatan orang tua pun, orang tuanya enggan barang sebentar untuk mengurusi dirinya. Semua hanya dilimpahkan kepada para asisten rumah tangga, berbekal segepok uang merah.
"Kemarin..."
¤¤ flashback ¤¤
Sehari setelah hilangnya Hellen, setelah berjam-jam mencarinya ke tempat yang sering dikunjungi, Jo berinisiatif untuk pergi ke sebuah bangunan tinggi bertingkat 25 di pusat kota. Bangunan bergengsi yang menyediakan berbagai macam kebutuhan, seperti supermarket, kolam renang, apartemen, sampai meeting room, menyerupai hotel kelas atas serba lengkap.
Ditemani Chelsea, ia masuk ke dalam dengan membungkukkan badan sebagai tanda hormat. Keduanya berpakaian rapi, mengenakan setelan kemeja dan jas. Chelsea membututinya dari belakang, seperti seorang ajudan yang mengikuti atasannya.
"Ada yang bisa saya bantu?" tanya seorang receptionist dengan rambut disanggul. Menyambut hangat kedatangan Jo dan Chelsea.
"Saya ingin bertemu dengan Bapak Mubdi. Apa ia ada di ruangannya?"
Receptionist tersebut tampak bingung. "Apa sudah membuat janji?"
Chelsea berdecak. "Ck! Buat apa sih janji-janji. Kayak orang---" Jo membekap mulut Chelsea dengan tangannya, sebelum perkataan tidak sopan meluncur dari mulutnya. Jo hanya tidak ingin rencananya tidak berjalan sesuai rencana.
"Kami teman Hellen, anaknya. Hellen hilang, dan dia harus tahu itu." Jo tersenyum kaku. Wanita tersebut sedikit terkejut, lalu dengan santun ia mempersilakan Jo dan Chelsea mengikutinya.
"Siapa kalian?"
Jo menegak ludah. Baru selangkah masuk ruangan, ia sudah diberikan pertanyaan dengan seketus itu. Ia menyalami Mubdi. Tentu, diiringi dengan senyuman.
"Permisi, Om. Kami teman sekolah Hellen. Saya Jo, dan ini---"
"Langsung saja, ada apa?"
Chelsea melilitkan tangannya di kemeja. Ternyata, bertemu dengan papa Hellen benar-benar seperti meregang nyawa. Cukup sekali, setelahnya ia tidak akan mau mengikuti rencana gila Jo, pikirnya.
"Hellen hilang."
¤¤ ¤¤
"Semua berkat Jo dan Chelsea. Besok, kamu harus berterima kasih sama mereka."
Hellen menutup mulutnya, tidak menyangka. Baru menyadari betapa giatnya Jo dalam memperjuangkannya. Padahal, Hellen merasa tidak pernah melakukan apa pun untuknya.
"Mama tau, terlalu berat untuk kamu menyesuaikan diri. Tapi mama mohon, kasih kami kesempatan untuk masuk ke hidup kamu, jadi bagian dari hidup kamu lagi."
Hellen mengangguk. Berkumpul kembali sudah cukup baginya untuk membalas semua hutang kasih sayang orang tuanya. Bukankah tidak pernah ada kata terlambat untuk berubah?
Mubdi yang sedari tadi memilih diam bertanya, "Apa kamu gak ingat besok hari apa?"
"Hah?"
¤¤¤¤¤ ¤¤¤¤¤
Wajahnya berbinar ketika menginjakkan kaki di sebuah hotel bintang lima. Dekorasi pesta yang mewah, hiasan unik di setiap sudutnya. Benar-benar selera kelas atas. Menarik, bukan norak.
Tiga pemeran utama dalam pesta tersebut---keluarga Hellen---mengenakan pakaian formal yang sesuai dengan dekorasi. Hellen dengan mini dress peach di atas lutut, mamanya dibalut gown panjang berwarna maroon, dan papanya memakai jas berwarna maroon.
"Aku gak nyangka mama sama papa nyiapin semuanya secepat ini." Matanya menyapu sekeliling ruangan.
Mubdi dan istrinya tertawa kecil. Pria paruh baya itu menepuk dadanya bangga. "Papa gitu loh!"
Hellen menjinjitkan kakinya, beranjak mencium pipi papanya, lalu beralih ke mamanya. Riang sekali saat berkata, "Hapoy anniversary ke 20!"
Mubdi menarik anaknya ke pelukan.
"Ciee yang lagi manja-manjaan sama bokapnya," ledek Chelsea yang muncul dari kejauhan. Disusul oleh teman-teman sekelasnya yang turut tertawa mengejek.
"Chelsea? Kalian? Lah, kalian diundang? Gue pikir---"
Chelsea terbahak. "Udah deh, kalo bodoh jangan ditunjukin gitu."
Mulut Hellen menganga. Bersiap-siap melontarkan penghuni kebun binatang. Namun Chelsea mencegahnya. Ia justru menarik tangan Hellen setelah berpamitan kepada kedua orang tua Hellen dan beberapa temannya.
"Eitsss, nanti dulu marah-marahnya ya. Seminggu lo gak ada kuping gue agak baikan nih, jangan bikin sakit lagi."
Hellen memutar bola matanya. "Cih, kemarin siapa juga yang keteteran nyari gue sampe ngemis-ngemis ke bokap HAHAHAHA."
Chelsea menoyor kepala Hellen gemas. Tidak peduli dengan reaksi sahabatnya yang kini sudah mengoceh tidak setuju.
"Tuh ada yang nyariin."
Mata Hellen tertuju kepada arah tunjukan tangan Chelsea. Terlonjak saat melihat Jo sudah berdiri tegap seraya melambaikan tangannya.
Chelsea menepuk bahunya beberapa kali. "Tunggu apa lagi?"
KAMU SEDANG MEMBACA
That Devil Is My Angel #ODOC_TheWWG
Teen Fiction[T A M A T] Bagi dewan guru, siswa-siswi, satpam, bahkan cleanning service, Hellen bagaikan iblis. Selalu membuat onar, melawan guru, dan melakukan apa pun sesuka hati. Tapi bagi Jo, Hellen berbeda. Hellen adalah malaikat untuknya. ¤¤¤¤¤ ¤¤¤¤¤ Ceri...