Hellen menyesap rokoknya dalam-dalam. Memejamkan matanya beberapa saat. Berusaha menikmati, hingga kepulan asap itu menggumpal di otaknya. Berharap bebannya berkurang walau hanya sedikit.
Namun sayang, saat ia menutup mata, bayang-bayang Jo justru tampak semakin jelas di benaknya. Melambai-lambaikan tangan dengan tersenyum manis. Membuat dadanya semakin sesak, mengingat bagaimana tingkah Jo terhadapnya, perhatian lelaki itu, serta kasih sayang yang diberikan.
Bugh.
Tangannya yang terkepal erat menumbuk dinding kamarnya. Menyalurkan seluruh emosinya di sana. Namun berakhir sia-sia, rasa sakitnya malah semakin bertambah.
Ia tidak tahu lagi, pikirannya buntu, harus memikirkan bagaimana cara untuk melupakan Jo. Bagaimana caranya berbaikan dengan keadaan. Serta, bagaimana menghapus setiap rasa yang berkecamuk, setiap kenangan yang tersimpan, dan setiap luka yang tertoreh.
Hellen membuang puntung rokoknya. Berbicara pada diri sendiri. "Apa lo memang gak pernah cinta sama gue?"
Hellen jadi teringat bagaimana ia mendekati Jo. Mengikuti ke mana pun lelaki itu pergi. Mengganggu aktivitas membacanya. Serta membuat Jo kesal dan terpaksa menuruti perkataannya.
Ia juga baru menyadari, bahwa selama ini, selama hubungan ini terjalin, hanya dirinya yang mengatakan cinta. Jo tidak pernah mengatakannya. Atau, menyukai pun Jo tidak pernah? Atau mungkin, pacaran adalah cara Jo agar tidak lagi terganggu?
Lalu, untuk apa pujian-pujian manis itu? Untuk apa sebutan aku-kamu diberlakukan? Hellen terlalu bodoh untuk mendapatkan jawabannya.
"Ternyata... gue aja yang gak sadar dari awal. Nganggap lo segalanya, beda sama lo yang gak pernah nganggap gue ada."
Hellen menghembuskan napas kasar.
"Kalo gak pergi gitu aja, gue harus apa?"
Karena sejatinya, sesuai janjinya, Hellen tidak akan pergi sebelum Jo minta. Tidak akan menyerah sebelum Jo yang menyuruh. Walaupun, hati ini sudah retak tidak karuan.
¤¤¤¤¤ ¤¤¤¤¤
"Jo, kamu kok melamun?" tanya Kinan. Melihat wajah anaknya yang tidak seceria biasanya. Meski, sebelumnya Jo hanya menunjukkan wajah datar. Tapi kini, sungguh, tidak ada kata semangat sedikit pun.
Jo meletakkan sendok dan garpunya di atas piring. Menyusun keduanya dengan membentuk tanda silang. Pertanda, bahwa ia sudah selesai makan.
Jo bangkit dari duduknya. "Kenyang," ujarnya singkat.
Jo melangkahkan kakinya, melewati anak tangga dengan langkah lunglai.
Jo mematikan setiap penerangan di kamarnya. Menutup jendela serta menarik tirainya. Membiarkan dirinya terlelap di dalam kegelapan. Sama seperti Jo yang dahulu. Jo yang tertutup, dan Jo yang menyukai kesendirian.
Ia menenggelamkan kepalanya di balik bantal. Memukul-mukul kasur dengan tangan. Memaki dirinya sendiri dengan umpatan-umpatan kasar.
Jo mengingat jelas perbuatan Hellen tadi malam, saat pacarnya itu tidak sengaja memergoki pertemuan keluarganya dengan keluarga Natty. Pertemuan yang memperkeruh suasana.
Bagaimana Hellen menyiramnya kopi panas yang baru dihidang, cara Hellen menatapnya, Hellen yang tidak mampu berkata apa pun karena tubuhnya bergetar hebat, Jo melihat semuanya. Parahnya, setiap inci pergerakan Hellen pun, ia ingat.
"Gak perlu dibahas. Semua udah jelas 'kan? Lo dan dia bakal dijodohin. Lo dan dia bakal bersatu. Gue heran sama pemikiran dangkal orang tua lo itu. Seenaknya menghakimi gue. Sementara Natty yang gue gak tau entah siapa malah dibangga-banggain."
"Gue gak akan pergi sebelum lo minta. Tapi, gue juga gak akan minta lo kembali. Jadi tolong lepasin gue secepatnya."
Sungguh, apa pun yang Hellen katakan, makian sekasar apa pun, Jo menerimanya. Justru, ia harus berterima kasih dengan Hellen yang telah menamparnya dengan perkataan yang pedas. Membuat Jo sadar dengan apa-apa yang tidak pernah ia sadari.
Tapi, setelah semua terjadi, setelah murka yang Hellen berikan, apa yang harus Jo lakukan? Bagaimana mengembalikan keadaan seperti semula?
"Lo bodoh, Jo! Lo bodoh!" makinya pada diri sendiri. Menjambak rambutnya kuat-kuat. Menumbukkan dadanya sampai sesak. Seolah, menyakiti diri sendiri adalah pilihan terbaik untuk mengalihkan rasa sakit.
Apa yang harus ia lakukan?
Saat Hellen hendak mendekatinya, ketika Natty berada di tempat yang sama saja, Jo tidak bisa berbuat apa-apa. Bertindak bodoh, tidak peduli, layaknya dua orang yang tidak pernah kenal. Layaknya orang asing, yang tidak sengaja berpapasan. Meninggalkan Hellen tanpa menjelaskan apa-apa.
Lalu, ia berharap untuk dimaafkan?
Pintu kamar Jo terbuka, seseorang masuk tanpa meminta izin terlebih dahulu. Jo menutupi seluruh tubuhnya dengan selimut tebal, malas berkomunikasi dengan perempuan yang sudah duduk di ranjangnya.
"Jo, kamu kenapa? Ada aku, tapi kamu gak sesemangat dulu. Apa semua karna cewek berandalan itu?"
Jo mendengus. Natty. Buat apa dia ke sini?
Tapi, Jo justru memejamkan matanya. Berpura-pura telah terlelap di dalam tidurnya. Tidak mau menanggapi Natty. Karena ia yakin, satu kata yang ia ucapkan, pasti akan sampai ke telinga mamanya, Kinan.
"I know you're not sleeping yet, baby," ucapnya. Mengusap rambut Jo lembut. Kenikmatan yang biasanya disambut baik oleh Jo. Tapi, itu dulu.
Rahang Jo mengeras. Sungguh, ia ingin menenangkan dirinya sekarang. Berbicara dengan kegelapan, bukan dengan nenek sihir.
"Pergi lo, cewek murahan."
Natty tertawa sinis. "Murahan? Yang kamu bilang murahan ini, mantan yang paling kamu puja-puja loh dulu. Kamu gak lupa 'kan?"
Jo melepaskan selimutnya tergesa-gesa. Menatap Natty tajam dengan api yang tersulut di matanya.
"Pergi, atau jangan pernah menginjakkan kaki di rumah gue lagi!"
Natty mengangkat bahu. Beranjak pergi dari kamar Jo. Menutup pintunya perlahan.
"Kita lihat aja nanti, siapa yang akan kalah. Gue, atau Hellen si iblis gila."
KAMU SEDANG MEMBACA
That Devil Is My Angel #ODOC_TheWWG
Ficção Adolescente[T A M A T] Bagi dewan guru, siswa-siswi, satpam, bahkan cleanning service, Hellen bagaikan iblis. Selalu membuat onar, melawan guru, dan melakukan apa pun sesuka hati. Tapi bagi Jo, Hellen berbeda. Hellen adalah malaikat untuknya. ¤¤¤¤¤ ¤¤¤¤¤ Ceri...