Tiga buah koper besar telah siap dimasukkan ke bagasi mobil berwarna putih. Para penumpang pun mulai membuka pintu mobil, lalu masuk ke dalamnya. Kendaraan roda empat tersebut meluncur terjun ke jalan raya setelahnya.
Mobil melaju cepat, membelah jalanan yang lengang. Tidak banyak bunyi klakson. Tidak ada pekikan tidak sabar. Tidak ada adegan tikung menikung. Sebab, waktu sekarang terlalu dini untuk melakukan aktivitas di jalanan.
Jakarta di pukul setengah empat pagi, masih gelap, tidak ramai, juga masih diiringi suara ayam berkokok. Angin sepoi-sepoi mengalun, menerpa wajah para pedagang pasar yang akan menjajakan sayur-mayur serta lauk-pauk.
"Kenapa tiba-tiba ikutan mau pindah sih?" tanya Elly---ibunda Natty yang kini melihat anaknya lewat cermin.
Natty menampakkan senyumnya. Senyum terindah setelah berbulan-bulan kembali ke Jakarta. Senyum yang tulus. Seolah pertanda, semua beban yang ia tanggung telah hilang, tumpah, dan berhenti memeranginya.
"Bukannya dulu, kamu yang pengen banget balikan sama Jo? Bahkan, kamu sendiri yang minta ke Jakarta," sambung ayahnya.
Natty menghela napas. Menatap kedua orang tuanya bergantian. "Ma, Pa, Natty emang suka sama Jo. Tapi kayaknya, setelah Natty telaah lebih dalam, semua cuma obsesi. Natty terlalu berambisi buat mendapatkan Jo. Padahal Natty tau, Jo udah gak ada rasa lagi," ujarnya sambil menghayati setiap suku kata yang ia ucapkan.
"Huh, gayanya. Kemaren tuh mewek-mewek, dasar kids jaman now," tambah lelaki berkumis yang tengah menyetir.
Natty berdecak. "Ih kenapa sih! Anak mewek diejek, anak bijak diejek."
Natty memalingkan pandangannya---berpura-pura merajuk.
Krukk. Krukkk.
Natty mendengus. Perutnya dengan lancang meronta minta diisi. Padahal belum menunjukkan waktu mahal. Sontak, kedua orang tuanya terbahak. "Itu ada kafe yang udah buka!" Elly menunjuk sebuah kafe kecil di sebelah kiri. Diapit oleh dua minimarket yang saling bersaing.
Papa Natty meminggirkan mobil. Mematikan mesin. Ketiganya berjalan keluar bersama-sama.
Kemudian, mata Natty menemukan sosok yang selama ini membuatnya kesal. Keduanya bertatapan cukup lama, sampai Elly menegur Natty untuk segera mengambil tempat duduk.
"Mama duluan aja, itu ada temenku."
¤¤¤¤¤ ¤¤¤¤¤
Hellen membereskan barang-barangnya. Meletakkan uang tip asal setelah melihat sosok yang tidak ingin ia temui justru mendekat ke arahnya.
"Ada yang harus kita bicarakan."
Hellen menggenggam tali tasnya erat-erat. Mengikuti perkataan tersebut layaknya diperintah seorang guru yang menyuruh menaati peraturan. Kembali duduk di tempatnya dengan raut bercampur aduk.
Hellen menghela napas. Pandangannya beralih, enggan menatap mata orang tersebut. "Kalo lo ke sini buat Jo, dia gak ada di sini."
"Bukan, Hellen. Gue nyari lo, bukan Jo. Plis, tolong, dengerin gue kali ini aja. Dengerin gue sebagai sesama perempuan, bukan sebagai musuh. Dengerin gue sebagai Natty, bukan sebagai mantan pacar Jo."
Natty tersenyum menenangkan. Menarik tangan Hellen untuk menggenggamnya. Menyalurkan kehangatan.
Hellen menarik napas dalam-dalam. Membuangnya. Melakukannya tiga kali berturut-turut. Kemudian, mengangguk singkat.
"Jo cinta sama lo, tapi dia---"
"Tapi dia lebih cinta sama lo, gitu kan Nat? Plis, gue capek." Hellen menundukkan kepalanya. Menangkupnya dengan telapak tangan.
"Lo bisa gak sih dengerin gue dulu? Apa mulut lo gak pernah bisa ngerem. Aduh, gue heran ya, kok ada cewek kek elo." Natty memutar bola mata. Menggeram gemas.
"Dengerin gue, Hellen Geovani. Jonathan, mantan pacar gue, dan sekarang udah jadi pacar lo, beneran cinta sama lo. Lo itu segalanya bagi dia, Len. Cuma lo, satu-satunya perempuan yang ada di hatinya. Bukan gue, bukan siapa pun.
Hellen mendongakkan kepalanya. Bisa ia rasakan, sebentar lagi, ia akan menangis. Tapi Hellen tidak peduli. Biarlah kali ini saja, ia mengeluarkan isi hatinya. Walau, dengan musuh sekalipun.
"Tapi kenapa dia gak jelasin sama gue?"
"Karena... Jo gak pernah bisa ngelawan orang tuanya. Karena menurutnya, melawan bukan balasan yang pantas untuk seseorang yang rela bersusah payah menghidupi kita."
Hellen menggelengkan kepalanya. Otaknya tidak mampu mencerna, ada apa gerangan yang telah ia lihat saat ini. Kedatangan Natty yang tiba-tiba, lalu mendekatinya dan mengajaknya berbicara empat mata. Membahas Jo dan dirinya. Bukankah Natty mencintai Jo?
Natty kembali menarik tangan Hellen. Mengelus pundaknya lembut. Lalu berkata, "Gue dan Jo udah damai. Jadi, gak ada lagi penghalang buat kalian bersatu. Sebenarnya gue juga pengen bilang sama lo, siapa tau setelah mendengar ini lo bisa berubah pikiran.
"Jo bahkan membentak papanya setelah bolos dari les, cuma buat nyari lo sampe larut."
Hellen menutup mulutnya yang terbuka lebar. Logikanya menolak percaya, alih-alih mengira bahwa semua hanyalah rencana busuk Natty. Namun hatinya berkata lain. Omongan itu, seolah memancarkan harapannya untuk kembali kepada Jo. Lalu... siapa yang harus ia percaya? Hati atau logika?
"Hari ini gue pindah ke luar kota. Gue pamit. Titip Jo."
Natty keluar kafe bersamaan dengan kedua orang tuanya yang kini menenteng tiga bungkus burger serta tiga botol minuman bersoda.
¤¤¤¤¤ ¤¤¤¤¤
Hellen tidak menyentuh makanannya sedikit pun setelah kepulangan Natty, yang berarti adalah pertemuan terakhir bagi mereka. Perpisahan yang indah untuk dua mantan pesaing. Mungkin ini yang dinamakan cinta, ikhlas dan tidak memaksa.
Ia termenung. Kepalanya ditelungkupkan ke atas meja. Menggunakan tangan sebagai penumpu.
Lalu, tenggorokannya tercekat kala mendengar suara itu.
"Hellen...."
Suara yang tak lain adalah milik Jonathan Calvien Winata.
KAMU SEDANG MEMBACA
That Devil Is My Angel #ODOC_TheWWG
Roman pour Adolescents[T A M A T] Bagi dewan guru, siswa-siswi, satpam, bahkan cleanning service, Hellen bagaikan iblis. Selalu membuat onar, melawan guru, dan melakukan apa pun sesuka hati. Tapi bagi Jo, Hellen berbeda. Hellen adalah malaikat untuknya. ¤¤¤¤¤ ¤¤¤¤¤ Ceri...