Part 19

3K 159 7
                                    

Sesuai permintaan Hellen, Chelsea menjemputnya di rumah. Mereka berencana menghabiskan makan malam di luar. "Bosan masakan rumah," dalihnya saat Chelsea bertanya mengapa Hellen tiba-tiba memintanya datang.

Hellen mengenakan style busana kesukaannya, kaos tipis, celana jeans sobek-sobek, serta sepatu kets berwarna abu-abu, senada dengan kaos yang ia kenakan. Sementara Chelsea, memakai atasan croptee serta legging yang membuatnya tampak langsing.

"Bagusnya makan di mana ya?" tanya Hellen sambil menyetir.

Tadi sebelum berangkat, mereka sudah bertengkar terlebih dahulu, berebut ingin menyetir. Saling membuat alasan tidak masuk akal. Hellen yang berkata bahwa Chelsea tidak boleh menyetir di malam hari, karena orang tuanya pasti akan cemas. Sementara Chelsea memanfaatkan keadaan hati Hellen, yang menurutnya tidak baik bila menyetir, takut kenapa-kenapa katanya. Tidak seperti biasanya yang sibuk melempar kerjaan.

"Kafe Tentram aja! Lagi diskon, banyak cogan pula," pekik Chelsea, kebiasaan yang tidak pernah berubah.

Hellen memutar bola mata. Tidak berbicara apa-apa lagi selama perjalanan menuju kafe. Memutuskan untuk tenggelam di dalam pikiran masing-masing.

Setengah jam kemudian, mobil sedan berwarna hitam milik Chelsea memasuki pelataran. Tempat ini amat padat diisi pengunjung. Butuh memutar beberapa kali untuk dapat memarkirkan mobil.

Banyak orang berlalu lalang. Ada yang bergandeng mesra dengan kekasih, menyuapkan sesendok makanan ke anaknya, ada juga yang sibuk menikmati akses wifi dan bertingkah seolah tidak kenal dengan teman semejanya.

Beruntung Chelsea memiliki seorang kenalan, salah satu anak dari pemilik Kafe Tentram---lelaki yang mengemis cinta Chelsea---sehingga mereka tidak harus menunggu kursi yang kosong.

Remang-remang cahaya lampu hias memenuhi ruangan. Alunan musik jazz membuat suasana kafe menjadi lebih tenang. Sesuai dengan namanya, tempat ini memang membuat siapa pun merasa nyaman. Terlebih, bagi mereka yang sedang dirundung masalah.

Seorang pelayan menuntun Chelsea dan Hellen ke meja yang telah disediakan. Melewati siul-siulan para pemuda yang tergoda dengan kecantikan keduanya. Chelsea mengedipkan sebelah matanya, membuat beberapa di antaranya klepek-klepek. Sementara Hellen, tubuhnya membeku saat mendengar suara yang familiar baginya.

"Terus kamu mau sama siapa? Perempuan berandal yang gak jelas kelakuannya itu?"

¤¤¤¤¤ ¤¤¤¤¤

Tujuh manusia berpakaian rapi duduk berjajar di meja kayu berbentuk lingkaran. Empat wanita mengenakan dress, sementara tiga orang pria terlihat gagah dengan tuksedo. Mengawali perjumpaan dengan senyum. Diikuti dengan adegan salam-menyalam. Lalu disambung dengan perbincangan utama, dengan basa-basi sekedarnya, malas menunggu lebih lama.

"Saya sangat senang, jeng, dengan kehadiran si cantik ke keluarga kami, anak kami ini naik lagi nilainya." Wanita berusia 40 tahun membuka percakapan.

Wanita lain---berusia setahun lebih tua darinya menjawab, "Oh ya? Bagus dong, emang kemarin sempat turun?"

"Ma," tegur anak lelakinya.

"Kenapa sih, Jo? Gak salah kan, mama muji Natty? Emang kenyataannya dia pengaruh yang baik juga kok." Kinan memperkuat argumennya.

Perbincangan mengenai Jonathan dengan Natty hanya dipenuhi oleh ibu mereka. Natty mendengarkan dengan seksama dengan wajah berseri-seri. Ayahnya sedang sibuk membicarakan bisnis yang Jo tidak peduli sama sekali. Sementara di sebelahnya, Jessica, hanya bisa mendengus. Membiarkan para orang dewasa itu hanyut dalam percakapannya, yang selalu membahas Jo.

Jo menghela napas.

"Kalian sudah kami jodohkan," ujar Kinan lagi.

Jo tersentak. Tentu saja, keterkejutan timbul dalam dirinya. Sebenarnya, ia sedang hidup di jaman Kahiyang Ayu atau Siti Nurbaya? Menurut buku-buku sejarah yang pernah ia baca, ciri khas adat yang menjodohkan anaknya sudah tidak lagi diterapkan para petinggi kerajaan. Tapi, kenapa orang kota sepertinya, yang sudah jauh dari kata kerajaan harus dijodohkan? Lalu, bagaimana dengan hubungan percintaannya dengan Hellen?

Pertanyaan-pertanyaan tersebut langsung memenuhi kepalanya. Tanpa sadar, tangannya sudah mencengkeram sendok dan garpu.

Elly, mama Natty ikut bersuara, "Iya Nak Jo. Kalian juga masih mencintai 'kan?"

Natty mengangguk. Senyumnya melebar, memperlihatkan deretan giginya yang tersusun rapi. Tampak sangat setuju dengan pernyataan kedua wanita paruh baya tersebut.

Tapi sayang, jawaban Jo justru membuat harapan Natty terbang terbawa angin.

"Enggak," ujarnya.

"Terus kamu mau sama siapa? Perempuan berandal yang gak jelas kelakuannya itu?"

Jo melotot ke arah mamanya. Tahu persis siapa yang dimaksud perempuan berandal. Bagaimana bisa, hanya dengan mendengar pernyataan dari orang-orang, ia menyimpulkan bahwa Hellen perempuan gak baik?

Tak lama kemudian, Jo merasakan dua orang gadis menghampiri meja mereka. Tentu saja, keduanya adalah Hellen dan Chelsea, menampilkan raut muka yang amat menyedihkan. Terlebih Hellen, dadanya kembang kempis sesaat setelah mendengar pernyataan Kinan.

Byurr.

Segelas kopi panas yang berada di meja itu, melayang begitu saja. Menyiram jas beserta bagian tubuh Jo. Membuat Kinan memekik, hendak mencekik Hellen sekarang juga dengan perbuatan kurang ajarnya. Seluruh anggota keluarga---Jo dan Natty---memusatkan perhatian, juga termasuk beberapa pengunjung lain.

Setelah menimbulkan keheningan di dalam kafe, Hellen pergi begitu saja. Meninggalkan Chelsea yang masih mematung, tidak menyangka akan jadi seperti ini.

Jo merasakan panas di sekujur tubuhnya. Memang, siraman kopi yang baru mendidih itu membuatnya merintih. Tetapi, panas di hatinya jauh lebih mendominasi.

Jo mengusap wajahnya kasar. Apa yang harus ia lakukan?

Chelsea menepuk bahunya pelan. "Kalo lo emang cinta sama dia, kejar dia, Jo."

Jo belum bergerak sama sekali. Mengucapkan sepatah kata pun tidak. Sementara orang-orang di sekeliling memilih diam, apalagi Kinan dan Natty, penyebab semua kekacauan ini.

"Kejar, sebelum sesuatu buruk terjadi."

That Devil Is My Angel #ODOC_TheWWGTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang