Malam ini setelah rampung dengan tugas–tugas kuliah serta kerja paro waktunya di stasiun TV, Hanna memutuskan untuk bersantai di atas kasurnya, memegang ponselnya dan bersegera untuk ber-video call dengan mama dan papa seperti yang dilakukannya setiap akhir pekan.
Mama dan papa dengan kompak melambaikan tangan kearah Hanna disertai dengan senyum ceria begitu pula dengan Hanna.
"Assalamualaikum, ma, pa... " sapanya dengan nada ceria penuh rindu.
"Waalaikumsalam, Hanna...." jawab mama dan papa berbarengan kompak.
"Bagaimana keadaanmu disana, nak? Bagaimana dengan kuliahmu dan kerjamu minggu ini?" tanya papa.
"Alhamdulillah, pa.. semua berjalan lancar meski minggu ini terhitung lebih padat dari yang sudah – sudah tapi aku sangat menikmatinya." Jawab Hanna dengan riang.
Diam–diam mama dan papa mengucapkan syukur kepada Allah karena dilihatnya putri mereka telah kembali hidup sedikit demi sedikit. Mama tidak dapat menyembunyikan rasa harunya malam ini, disekanya air mata itu dengan jemarinya.
"Mama, kok nangis... kenapa, ma? Aku kan baik–baik aja di sini. Aku sehat. Alhamdulillah dan berkat doa mama juga papa, aku bisa melalui semuanya dengan baik juga." Hanna khawatir melihat air mata diwajah orang terkasihnya. Wanita pujaannya, wanita yang memberinya hidup dan tak pernah lelah selalu penuh kasih menghadapinya yang sering kali keras kepala.
"Mama nggak nangis karena sedih, sayang. Mama nangis karena mama bahagia melihat kamu sedikit demi sedikit sudah kembali seperti Hanna mama yang dulu."
Ucapan mama mengagetkan hatinya. Ternyata dia selama ini telah membuat mama juga papanya khawatir. Padahal sudah dengan susah payah dia berusaha menyembunyikan kesedihan dan kehancurannya, ternyata hati orang tua lebih sakti dari orang yang dibilang paling sakti.
"Maafin Hanna ya, ma.. pa, selama ini sudah membuat kalian merasa khawatir." Ucap Hanna lirih.
"Sayang, semangat ya." Papa menegahi semuanya seperti biasa. Penawar kegelisahan serta kesedihan keluarganya yang selalu dia sebut dengan dua malaikat tercantiknya. Ahh.. papa betapa beruntungnya dia memiliki sosok ayah seperti papa.
"Oya, Han... bos kamu siapa tuh namanya yang ditempat kamu kerja dulu?" kata mama kemudian setelah berhasil mengatasi rasa harunya.
"Bos aku, ma? Bu Kiran, maksud mama? Kenapa dengan Bu Kiran, ma?" tanya Hanna kemudian.
"Bu Kiran dan satu lagi pak Andri kepala HRD di tempat kamu kerja itu datang hari Rabu lalu ke rumah. Mama sama papa juga jadi kaget."
"Lho, ada apa ma?" tanya Hanna tidak kalah kagetnya.
"Mereka menanyakan kamu, tentang kuliah kamu. Mereka bilang ada tawaran yang bagus untukmu jika kamu mau. Dan teman–teman kamu di kampus dulu bergantian menanyakan kabar kamu, nak."
Hanna seperti tersadar kalau dia mengganti nomer ponselnya menjadi nomer Korea sudah hampir bulan kedelapan dan yang ada dalam kontaknya hanya mama, papa, Donita, beberapa teman kampus dan para dosen juga profesor di Korea. Begitu juga dengan para kru stasiun TV tempatnya bekerja serta Kim PD. Dia seperti hilang ditelan bumi bagi teman–teman serta kerabatnya di Indonesia.
Hanna memijat dahinya yang tiba–tiba saja berdenyut karena memikirkan kesalahannya lagi.
"Sampaikan salam serta maafku ke mereka, ma karena sudah lama tidak berkomunikasi dengan mereka.Oya, ma?! Tawaran seperti apa itu? Sampai mereka menemui mama dan papa?"
"Mereka menawarimu menjadi produser di tempatmu bekerja dulu. Mereka katanya tidak sengaja melihat hasil kerjamu di Korea yang meraih rating tertinggi di sana. Itu sebabnya mereka ingin mengajakmu kembali dengan jabatan produser, nak."
"Hmmm...." Hanna nampak bimbang. Tapi dia sudah bertekat untuk menyelesaikan dulu kuliahnya di sini. Soal karir setelahnya. Tapi kembali ke Tanah air kerja di rumah sendiri adalah tawaran yang sangat menggiurkan.
"Apapun yang akan menjadi keputusanmu, kami akan mendukungnya, nak. Kalau kamu maupun kamu bisa melanjutkan S2 kamu sampai selesai di Jakarta, kan?"
"Iya, ma.. pa. Aku akan memikirkannya dulu. Mama dan papa sehat–sehat ya di sana. Jangan lupa vitamin ya ma, pa. Aku mau istirahat dulu. Love you, ma.. pa. Assalamualaikum."
"Iya sayang, kamu juga jaga kesehatan kamu di sana. Jangan terlalu capek, kamu juga harus minum vitamin dan makan yang teratur. Mama akan mengirimimu nomor ponsel Bu Kiran ya, supaya kamu bisa berkomunikasi langsung dengannya. Love you too, sayang. Walaikumsalam." Ujar mama dan papa bergantian.
Tidak lama setelah Hanna menyudahi video call dengan mama dan papa, terdengar ketukan pintu.
"Assalamualaikum, Haan..."
Ternyata Donita, ucap Hanna.
"Waalaikumsalam, Ta."
Hanna beranjak untuk membukakan pintu untuk Donita. Padahal dipintu itu terpasang kunci pin yang sebenarnya Donita tahu, hanya saja Donita tetap mempertahankan adat lama dengan tetap mengetuk dan mengucapkan salam dari pada langsung memijit nomor pin untuk langsung membuka pintu. Pernah Hanna bertanya heran mengapa demikian.
Jawabannya hanya "ketuk pintu itu tradisi saja Han, aku hanya nggak bisa menghilangkan tradisi itu sedangkan salam adalah hal yang wajib karena itu membawa berkah tidak hanya kepada kamu dan aku melainkan ke seluruh alam." Dan diakhiri dengan kerlingan khas Donita.
"Han, kamu mau pulang nggak liburan musim dingin ini? Kamu sudah nggak pulang lho waktu liburan musim panas."
Setelah masuk kedalam flat, Donita segera memberondong Hanna dengan pertanyaan seputar liburan.
"Liburan musim dingin kan lama, Han. Katanya kamu kangen sama mama papa..."
Bujuk Donita yang langsung tak bisa ditolak Hanna. Benar adanya dia sangat merindukan mama dan papa, lagipula soal Abhi sudah selesai. Bayangnyapun sudah semakin memudar. Dalam ingatan dan juga hati Hanna. Hanya saja, bayang lain kini sering menerobos masuk tanpa diundang sekalipun. Min Ho Ssi... bisiknya dalam hati.
"Mungkin aku akan pulang diliburan musim dingin ini, Ta.." Kata–kata Hanna ini disambut pekik gembira dari Donita dan segera memeluknya erat.
"Akhirnyaaa.... Alhamdulillah..." Suaranya masih melukiskan kebahagiaannya. Hah.. Donita yang ekspresif. Alhamdulillah Hanna memilikinya. Batin Hanna bersyukur.[]