13

8.8K 259 1
                                    

Adelia Watson

Adam tak akan pernah tahu, ciumannya telah benar-benar
membuatku berantakan, aku merasa beku dan begitu terekspos.

Rapuh. Aku benar-benar lelah melakukan ini, seolah kami berdua hanya pasangan muda-mudi yang sedang mabuk, tapi itu tidak benar. Ciuman itu tak ada kaitannya dengan hubungan kami yang hanya kepura-puraan.
Dan semuanya itu membuatku menginginkan sesuatu darinya, jauh lebih banyak dari yang bisa diberikannya padaku.

Seluruh badanku gemetar dan aku menarik nafas dalam-dalam.
Mobil melambat dan berbelok ke jalan turunan dan aku tahu kami telah tiba di tempat tujuan. Gedung Hotel yang megah telah menanti, terlihat dipenuhi oleh orang-orang dan aku sangat gugup, dan juga masih terpengaruh ciuman tadi.
Adrenalin berlari di dalam darahku dan membuatku gemetar dan aku melirik keluar jendela, menatap pemandangan di sekeliling kami. Aku ingin pemandangan itu memenuhi pikiranku agar aku berhenti
memikirkan bibir dan lidah Adam yang menggodaku.

"Apa aku kelihatan baik-baik saja?" Aku meratakan rambutku, berharap rambutku tak terlalu kusut.

"Kau kelihatan menakjubkan." Ketulusan dalam suaranya
menyentuhku begitu dalam. Aku begitu tolol jika berada di samping cowok ini dan dia bahkan tak menyadarinya.

Aku mengerling ke arahnya. Bibirnya bengkak, matanya berbinar dan rambutnya kusut di tempat tanganku mencengkramnya tadi. Selain itu, dia kelihatan tampan.

Aku meraihnya, aku meratakan rambutnya, menyisirnya dengan jariku. Aku melakukannya sedikit lebih lama dari seharusnya tapi rambutnya begitu lembut dan aku suka caranya menempel di jariku.

Dia tak mengucapkan apapun,,
walaupun matanya intens menatapku tajam sepanjang waktu. Ketika aku selesai, aku menjauh darinya, duduk di tempatku dengan helaan nafas lega.

"Begitu," kataku, membersihkan tenggorokanku ketika kusadari masih bergetar. "Sekarang kau terlihat rapi" sambungku dengan senyuman. Ia membalas senyumanku.

~~

Adam Efron

Kami duduk berdampingan mengelilingi meja yang penuh orang, suara percakapan mereka memekakkan telinga. Kami tak bicara apa-apa selama makan malam, selama setidaknya satu jam, kurang lebih sejak acara berlangsung.

Aku tahu kedengarannya bodoh, tapi dia membuatku gugup dan aku hanya ingin terlihat sempurna di depannya. Aku seolah tak bisa menemukan kata-kata. Apa yang harus kukatakan setelah sesi ciuman di kursi belakang mobil?

Aku tak ingin momen itu menjadi tak ada artinya. Aku duduk di sini dan aku masih merasakan sensasinya. Aku berpikir Bagaimana dia merespon sentuhanku, suara kecil penuh kenikmatan
di belakang tenggorokannya. Hangat tubuhnya, lidah selembut beludru yang bertautan dengan lidahku, tangannya di rambutku.
Aku tak bisa mengingat terakhir kali aku berciuman seperti itu.
Pernahkah aku berciuman seperti itu? Sial, aku benar-benar tak yakin. Bahkan saat bersama Olive kurasa pengaruhnya tak sehebat ini. Aku merasa sangat panas dan bergairah walau hanya dengan menciumnya saja.

Melalui sudut mataku, kelihat dia meneguk air. Bibir penuhnya melekat di gelas, leher halusnya bergerak-gerak ketika dia menelan.

Aku merasakan dorongan yang sangat kuat untuk mencium kulitnya yang terbuka itu, hingga kukepalkan tanganku dan meletakkannya dipahaku. Memaksa diriku berhenti berpikir seperti orang bodoh.

Tak berhasil. Aku tak bisa berhenti memikirkannya. Bagaimana ketika dia di pelukanku, dan bibirnya masih terasa di bibirku. Aku tak pernah berpikir seperti ini sebelumnya.

Aku menahan semua emosi bodoh ini di dalam diriku sejak dulu dan aku menahan agar
mereka tak keluar. Itu semua omong kosong. Sebagian besar waktu, aku merasa seperti robot. Tetap bergerak, menjalani kehidupan hari demi hari. Bekerja dan terus bekerja melanjutkan bisnis Ayahku.

Adelia's Love StoryTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang