20

7K 213 0
                                    

Happy Reading♡♡

~~~~~~

Adam Efron.

Aku sangat menderita ingin menghilangkan diriku sehingga aku bisa melupakan semuanya.
Setelah makan malam, Tidak banyak hal yang kami bicarakan, dan jikapun aku mencobanya, aku tidak bisa membuat percakapan. Aku lelah, baik secara mental dan fisik, dan
dia tahu itu. Adelia tidak menekanku, tidak meminta penjelasan apapun kecuali kalau dia menganggap itu penting.

Seperti pertanyaannya, apa yang terjadi denganku dan Olive. Sulit untuk dipercaya, tapi terasa enak membicarakan semuanya, membuatnya lepas dari dadaku. Aku tidak pernah bicara tentang Olive dengan orang lain.

Tidak orang tuaku, tidak dengan siapapun. Aku sudah menahan dalam diriku selama 2 tahun dan sekalinya aku bicara, itu seperti bendungan jebol. Aku menangis. Bersedih,. Aku menceritakan kisahku yang menyedihkan dan dan sangat berterima kasih saat dia tidak menjauh, tidak menyalahkan, tidak menghakimi. Dia hanya memelukku erat dan membiarkanku menangis, seperti aku ini sejenis bayi besar. Sialan.

Aku tidak ingin menghakimi diriku sendiri, kecewa atas
diriku karena punya emosi seperti ini.

Olive meninggalkanku dan mengkhianatiku. Aku punya setiap pembenaran untuk menangis dan mengamuk jika aku ingin.

Kami tertidur melewatkan sisa sore begitu saja. Bersama. Meringkuk di tengah di kasurku, tangan kami saling terkait, selimut tersusun diatas kami. Sore terlewati, sebagian besar malam kami ingat tetap seperti ini, dan aku tahu kami berdua membutuhkannya.

Aku takut dengan apa yang mungkin aku bisa lakukan. Apa yang mungkin dia bisa lakukan. Apa yang mungkin kami berdua bisa lakukan bersama untuk membuat semuanya berantakan.

Teleponku berbunyi dan aku tahu tanpa melihat siapa itu. Ayahku atau Ibuku, dua orang paling terakhir yang ingin aku ajak bicara.

Aku bergerak cepat dan duduk, mencari teleponku. Lampu di meja rias dari sisi sebelah masih menyala, melemparkan cahayanya memancarkan kesuraman. Melihat sekilas pada teleponku, aku memeriksanya, yup, itu ayahku yang mengirimkan pesan dan sesaat
aku akan membacanya, telepon mulai berdering. Lagi, itu dari
ayahku.

"Olive ada disini Dam" seketika tubuhku membeku. Aku menatap tubuh Adel yang tertidur diatas ranjang membuatku menghembuskan nafas.

"Aku tak ingin bertemu dengannya Dad." Kataku dingin

"Dia ingin menemuimu dan menjelaskan--" sebelum ayahku menyelesaikan ucapannya aku memotongnya "Tak ada yang perlu dijelaskan Dad. Suruh dia pergi.."

"Apa ini karena Adelia?"

Aku terdiam. Pikiran dan perasaanku seketika bercampur aduk. Aku kesulitan menghirup oksigen. "Ya. Dan kami akan segera pergi besok. Katakan padanya untuk pergi dan jangan pernah kembali dikehidupanku" lalu aku mematikan sambungan telfon ayahku secara sepihak.

Aku melihat Adelia, dia memutar punggungnya kembali jadi dia
menghadapku lagi, mata coklatnya itu dengan tekun melihat setiap gerakanku. Dasar perutku terasa teraduk dan aku penasaran seberapa banyak yang dia dengar.

"Dia kembali?" tanyanya lembut. Aku mengangguk. Tidak mengatakan sepatah katapun.
Menyibakkan selimut dari tubuhnya, dia bangkit dan berjalan dengan lututnya menghampiriku, meletakkan tangannya pada bahuku, wajahnya menatap wajahku.

Menutup matanya lebih rendah
dan dia menatap pada mulutku, aku bisa melihat laju naik turun dadanya, merasa kehangatan yang nyaman dari sentuhannya.

Gadis ini, dia hanya…. Melakukan semua ini untukku.
Tapi aku tidak tahu bagaimana cara mengatakannya kepadanya.

"Terima kasih untuk semuanya ini." katanya, mengejutkan aku.

Adelia's Love StoryTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang