28. Akhirnya

13K 1.3K 19
                                    

"Meong..."

Lui berjalan menghampiri ku, aku tahu dia berniat menghiburku dengan suara kucing nya. Aku tersenyum kecut, aku memang gadis bodoh. Hah, cahaya bulan amat terang menerpa wajahku. Aku gagal menemukan daun itu! Arght... Aku gagal!

"Sudah tengah malam dan kita belum menemukan apa-apa. Maaf ya." Suara ku parau.

"Meongg..."

"Aku belum menyerah tenang saja! Aku akan mengecek keadaan pria itu." Setidaknya aku ada sedikit rasa pantang menyerah.

Pria itu masih diam bersandar disebuah pohon. Wajahnya cukup jelas karena terkena cahaya bulan. Alisnya tebal dan memberikan kesan mata yang tajam. Rahangnya tegas dengan hidung mancung. Yang paling menarik adalah rambut panjangnya yang kutaksir hanya sebahu. Wajahnya hanya penuh goresan kecil. Tapi tak menghilangkan kesan tampannya.

"Hah, kapan pria ini bangun? Aku tak bisa menjaganya selalu." Atau kutinggalkan saja. Toh pria ini asing bagiku dan aku sudah menolongnya semampuku. Iyakan?

"Ungg..." Kudengar pria itu mengeram. Matanya mulai terbuka pelan dan menampilkan bola mata sehitam malam.

Wow, dari jarak sedekat ini matanya seakan menelanku hidup-hidup mirip dengan seorang yang sudah berubah sekarang. Apa jangan-jangan ini penganti Rei? Oh, tidak. Pria ini bisa berbahaya untukku. Oke, pikiran ku kacau 100%. Atau dia ini seorang pemburu? Mati aku! Aku mundur pelan berjaga-jaga siapa tahu dia berniat membunuhku.

"Si-apa k-kau?" Suaranya parau. Kurogoh tasku dan mengambil minum untuknya. Kubantu dia minum pelan.

"Namaku Luna, aku menolongmu tadi." Aku memperkenalkan diriku.

"Oh."

Hah, dan hanya oh jawabannya. Terimakasih atau apalah, aku tak mengharap dia membalasnya tapi apa tidak ada apresiasi untukku yang sudah menolong dan menyelematkan nyawanya. Kakiku melangkah menuju Sin yang berada didekat api unggun. Lui memasukan beberapa kayu bakar lagi.

"Arght..." Pria itu memegang perutnya. Aku tahu dia menahan sakit sampai wajahnya amat nelangsa. Apa peduliku?

"Apa yang terjadi padamu?" Tanyaku penasaran.

Dia diam seribu bahasa, oke ini lebih parah kondisinya dari Rei. Setidaknya Rei punya sikap sedikit lebih sopan. Mungkin aku salah bertanya padanya. Yah, aku juga orang asing baginya. Tentu saja! Lui melompat ke pangkuanku. Dia pasti lelah dan juga Sin. Sedari tadi kami lari dan berjalan tanpa hasil.

"Hmm, kau berkelahi ya?" Tebakku.

Pria itu menatapku, wajahnya sudah menandakan rasa tak sukanya kepadaku. Huh, malas mengajak bicara pria ini lagi. Sudahlah, aku akan diam saja. Arght... Situasi macam apa ini? Jika Sin dan Lui bicara aku tak akan merasa kesepian. Hah...

"Kau dari academy?" Telingaku menangkap suara yang berat dengan sedikit serak mirip penyanyi rock. Wah, apa dia penyanyi yang juga tersesat sama seperti ku.

"Oh, ya. Kau sendiri?" Jawabku antusias.

"Kau tak perlu tahu." Ucapnya sembari memejamkan matanya.

Heh, seharusnya aku tak jawab pertanyaannya. Siapa tahu dia memancingku mengatakan bahwa aku adalah salah satu dari academy. Bisa saja kan dia memang seorang pemburu. Pakaiannya saja mendukung dengan pakaian serba hitamnya. Bedanya adalah dia membawa kain merah dipinggangnya dan pedang panjang.

"Baiklah tuan, maaf tuk mengatakan ini. Tuan ini sangat tidak tahu malu dan tak sopan kepadaku. Seharusnya tuan berterimakasih atau memperkenalkan diri tuan." Kataku sedikit naik oktaf.

"Jadi kau tidak tulus menolongku, begitu?" Pria itu menaikan alisnya.

Sabar Luna!!! Dia lebih menyebalkan dari Alex. Oh, aku tahu jangan-jangan orang ini perpaduan dari Rei dan Alex jika mereka menikah. Rei yang dingin ditambah Alex yang menyebalkan. Lengkap sudah penderitaanku meladeni orang ini.

"Haha... Benar juga, aku butuh bayaran. Mana uangmu? Aku juga butuh makan dan hidup." Ucapku ketus.

"Aku miskin." Singkat sekali.

Miskin apanya? Aku tahu berapa harga bajunya. Lebih dari gajiku membersihkan aula dan pedangnya yang mengkilau. Kutaksir jika aku bekerja 10 tahun baru bisa kubeli pedang itu. Lalu sepatunya, itu mahal dengan kulit binatang asli. Jangan lupa rambut panjangnya. Butuh perawatan ekstra untuk itu.

"Mana pedangmu? Itu mahal kan. Tuan jangan membohongi ku dengan mengaku miskin. Disini aku yang miskin. Jadi mana bayaran ku?" Minta ku.

"Ahh, kau ingin mati? Ini terlalu berharga untuk diberikan kepada gadis bodoh seperti mu!" Ucapnya menusuk jantungku.

"Apa katamu?" Enak, saja dia.

"Mana ada gadis yang berani masuk kemari? Disini berbahaya! Hanya orang bodoh yang datang kemari." Ucapnya.

"Hah, aku memang bodoh dan kau juga bodoh datang kemari." Kusunggingkan senyum miringku.

"Apa!!" Dia meninggikan suaranya.

"Pertama, kau tiba-tiba terluka tanpa sebab. Kedua, kau orang paling tidak sopan dan tak tahu terimakasih. Ketiga, kau orang bodoh!" Tantangku.

Lucu juga bermain bersamanya, haha. Wajahnya lucu saat memerah menahan amarahnya. Apalagi telinganya yang ikut memerah. Ok, cukup sepertinya dia cukup marah kepadaku. Kuambil beberapa makanan kecil dan melemparkannya pada orang itu.

"Aku tahu kau lapar. Hanya roti sih tapi ya lumayan untuk menganjal perut." Kataku tersenyum.

Dia nampak sedikit terkejut atas perlakuan labilku. Tanpa pikir panjang dia memakan roti dariku dengan ganas. Benar kan dia lapar, pantas cepat emosi. Kuperhatikan dirinya yang sedang makan. Rambutnya yang mencuat kadang mengganggu dirinya. Wah, aku ingin memegangnya.

"Jangan berpikir menyentuh rambutku!"

Ahh? Kenapa dia melarangku menyetuh rambutnya. Kan bagus rambut panjangnya, pastu lembut dan halus. Haha... Eh? Tunggu memangnya kapan aku bilang ingin menyentuh rambut nya. Kan aku hanya berpikir jika aku bisa memegangnya. Jangan-jangan...

"Apa??? Kau bisa membaca pikiranku?" Tanyaku shock.

"Eh? Tentu saja." Jawabnya percaya diri.

"Ok, coba tebak aku memikirkan apa." Tantangku.

Luna kau sangat cantik dan manis.

"Nah, apa?" Haha... Rasakan balas dendamku.

Matanya membulat sempurna, aku tahu dia pasti terkejut membaca pikiranku. Ayo, aku menunggu jawabannya untuk memujiku. Hah, aku merasa diatas angin. Dia berdecak kesal dan membuang mukanya.

"Apa? Kau bohong ya?" Kataku curiga.

"Hah, Luna kau sangat cantik dan manis." Dia berdehem.

"Terimakasih pujiannya tuan tampan. Aku suka kau bilang aku cantik dan manis."  Aku tersenyum senang mendengarnya.

"Kau menjebakku!" Ucapnya kesal.

"Kau harus mengakui bahwa aku itu memang cantik dan manis. Iyakan?" Senang rasanya hatiku.

"Kau gadis yang licik!" Perkataannya pedas sekali menusuk jantungku.

"Kau belum tahu ya, Luna Kim memang licik. Jadi jangan main-main denganku!"

"Hah, terserah saja."

Aku tersenyum penuh kemenangan, dia seolah tak memperdulikan perkataanku barusan. Bulan hampir menyentuh tepat di tengah. Satu sisi aku harus cepat, tapi jiwa kemanusiaanku berkata tak bisa meninggalkannya sendirian.

"Pergilah!"

Eh?

🍃🍃🍃

Salam ThunderCalp!🤗

The Number : The Black Academy ( END )Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang