17. Tetap sama

15.2K 1.6K 18
                                    

"Buka mulutmu!" Perintah Kai.

Aku mengeleng cepat, tanganku yang sakit adalah tangan kiriku. Aku bisa makan biasa tak perlu bantuan orang lain. Ini waktu makan siangku dan Kai selalu memaksaku untuk membuka mulut. Anehnya Sin dan Lui saling cekikikan tak jelas.

"Kai, aku bisa sendri!" Kataku ingin merebut sendok yang dia pegang.

"Tidak, kau sakit. Biasanya orang sakit akan disuapi. Kita teman harus saling membantu." Katanya tetap kukuh.

"Hah, ya." Kubuka mulutku akhirnya. Perdebat dengannya hanya akan menyita waktu makanku saja.

Kai tersenyum dan mulai menyuapiku. Sebuah benda masuk kemulutku lembut. Hm, enaknya walau hanyalah bubur biasa. Perutku masih bisa menerima makanan lembut itu.

"Minum?" Tanya Kai.

Aku mengangguk, dia tahu saja aku ingin minum. Kai menyodorkan minum dan langsung kuminum. Aku tidak memegangnya karena tentunya Kai yang memegangnya pelan. Aku seperti bayi besar saja.

"Kata Ms. Sa kau boleh pergi dari sini besok. Kau benar baik-baik saja. Jika kau masih sakit bilang saja. Biar kukatakan pada Ms. Sa memperpanjang kau disini. Apa tubuhmu ada yang luka lagi? Apa tanganmu masih sakit? Jika mereka tetap menganggu mu bilang kepadaku! Aku akan menjagamu, Sin, dan Lui..."

"Sttt, kau cerewet mirip ibu-ibu!" Kuletakkan telenjukku kedepan mulutnya agar diam.

Sungguh, pemuda berambut merah maron ini mirip ibuku bila aku sedang sakit. Aku sudah besar, tolong digaris bawahi aku sudah besar. Bukannya bayi yang selalu dijaga!

Kai diam dan menatapku lekat. Dari sini kudapat melihat matanya yang biru jernih. Mirip pusaran air yang akan memperangkapmu dan tak akan membiarkanmu pergi dengan mudah. Tubuhku serasa terbawa arusnya, semakin lama arusnya kencang dan membuat ku tak bisa lepas darinya.

"Luna!" Suara seseorang membuyarkan lamunanku.

Segera kutarik tanganku darinya dan berdehem. Kulihat Sin dan Lui tertawa lepas. Mereka mengejekku rupanya! Pipiku panas seketika pasti sudah memerah. Sial! Apa yang kulakukan tadi? Aku malah mengagumi mata Kai yang biru. Kulirik Kai, dia juga sama sepertiku wajahnya memerah bak tomat masak. Merah sekali...

"Haha... Wajahmu lucu!" Tawaku lepas melihat Kai salah tingkah.

"Aku ke kamar mandi dulu!" Kai pergi terburu-buru sampai membentur pintu didepan.

"Haha..."

🍃🍃🍃

"Hai, Luna!" Sapa Abby masuk ke dalam ruang inapku.

Dibelakang nya ada Voy dan Lydia. Apa mau mereka? Minta maaf? Bukan style mereka untuk minta maaf. Terimakasih? Bukan kesenangan mereka. Alisku terangkat, mencurigkan.

"Hai!" Sapaku ramah.

"Kami bertiga ingin menjengukmu, kami membawakan buah segar. Orang sakit harus makan buah-buahan segar bukan?" Abby duduk dikursi dekat ku.

Voy dan Lydia membawa keranjang buah yang sangat besar. Meja saja tak muat menampung keranjang itu karna lebarnya yang overload. Mereka tersenyum samar, bukan senyum tulus hanya senyuman miring.

"Kami menyesal melakukannya, kuharap kau memaafkan kami. Terimakasih juga telah membela kami." Ucap Abby penuh penyesalan diiringi sebuah kekesalan.

Kepalaku mengangguk dan tersenyum pada mereka. Dugaanku salah ternyata mereka mau memint maaf dan berterimakasih padaku. Semua keajaiban baru saja terjadi. Sebelum dia pergi, Abby mendekat dan membisikan sebuah kalimat yang pastinya dugaanku benar.

"Ini hanya untuk formalitas biasa, kuharap kau mati saat itu juga. Selanjutnya, akan ku tambah racunku dan membunuhmu." Suara Abby lirih.

"Aku tahu! Selanjunya aku akan melawanmu! Kupastikan kau akan diberi hukuman itu! Kali ini adalah kesempatan terakhirmu." Ucapku berbisik.

"Hah, dasar gadis bodoh!" Abby menjauhkan dirinya dariku.

Dia tersenyum dan pergi dari ruang inapku. Heh, kecurigaanku benar adanya. Hanya untuk formalitas katanya! Cih, seharusnya aku tak perlu meminta keadilan untuk mereka. Tapi, jika aku melakukannya akan membuat mereka semakin membenciku dan academy ini. Sebelum mereka pergi, kubuka mulut ku.

"Tadi aku belum memaafkan kalian, oh ya selamat menjadi petugas kebersihan nona-nona!"

🍃🍃🍃

Kupikir akan mudah masalah ini dipecahkan. Ternyata semakin lama masalahnya bertambah. Untuk apa Antonio Black memberiakanku masa lalunya kepada seorang gadis biasa macam diriku. Aku tidak bisa menjaga diriku atau melawan Abby seminggu lalu. Bekas lukanya juga masih ada, tanganku melepuh. Faktanya hal ini akan permanen. Lucunya Ms. Sa tak dapat mengembalikan tanganku seperti semula.

Kupandangi tangan kiriku, Ms. Sa telah melepas perbannya. Tangan kiriku memutih dengan corak terbakar. Kulitku mengelupas, apa yang akan ku bilang pada keluargaku mengenai hal ini. Tanganku menjijikan! Leon akan mengejekku setiap hari.

"Hisk... Hisk..." Apa yang akan kulakukan. Aku rindu kalian, sangat. Cerewetnya ibu, ejekan Leon, oleh-oleh dari ayah. Bulan ini aku terpaksa kubuang jauh-jauh oleh-oleh dari ayah. Bertemu dengannya bahkan tidak bisa kulakukan.

Apa aku akan diejek dengan tangan melepuh ini? Teman ku akan bagaimana reaksi nya? Seorang Luna memiliki tangan melepuh!

"Haha... Aku sudah biasa kan, aku gadis bodoh kan. Haha... Apa peduli ku, hisk... Apa peduliku? Haha... Hisk..." Aku bak orang gila yang tertawa dan menangis.

Ibu, ayah, Leon... Kalian sedang apa?

🍃🍃🍃

"Luna!"

Kubalikan badanku, Kai, Sin, dan Lui berdiri diambang pintu. Aku tersenyum dan menghampiri mereka. Kai menarik tangan kiriku dan memasang sebuah sarung tangan berwarna merah muda. Alisku terangkat dan sedetik kemudian aku tersenyum penuh makna.

"Itu akan membuatmu terlihat keren, bagus kan? Kau jadi gadis merah muda." Ucap Kai.

"Wow, kau jadi keren." Puji Sin.

"Hm, kuakui kau hari ini keren." Lui tersenyum.

Oh, kuamati sarung tangan warna merah muda ditangan kiriku. Ini indah dan pas, sangat cocok dengan kemejaku. Yah, usaha mereka patut kupuji. Mereka tidak mengasihaniku dengan kata-kata mereka. Mereka justru memberiku semangat dan motivasi.

"Aku memang keren tiap saat. Terimakasih, ini hadiah terkeren yang kuterima." Kususap mataku yang akan mengeluarkan cairan bening.

"Kau menangis?" Tanya Kai.

"Tidak! Aku... Aku... Hisk... Hisk..." Kepalaku menunduk. Hatiku sesak mengingat tanganku melepuh.

Deg...

Tubuhku tertarik sesuatu dan menubruk sesuatu yang hangat. Nyaman dan membuatku ingin mengeluarkan semua tangisku. Kai mendekapku, dia mengingatkanku pada Leon. Leon selalu melakukan hal yang sama setiap kali aku dapat masalah. Hangatnya juga sama, mereka selalu memelukku dengan rasa hangat yang sama.

"Menangislah jika itu membantumu, pada akhirnya kau hanyalah seorang yang haus akan tempat mengadu."

🍃🍃🍃

The power of Kai!

Salam ThunderCalp!🤗

The Number : The Black Academy ( END )Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang