Ima terbangun lebih pagi, kali ini ia bibangun lebih pagi dari sebelumnya. Ima menatap seisi dapur ia memang bangun sejak pagi tadi, tapi tidak satu pun sarapan yang sudah tersaji. Ima bingung harus memulainya dari mana sementara ia memang tidak bisa memasak.
Cari yang mudah, Ima mengambil roti lalu memanggangnya dan berharap Ilham mau memakan roti buatannya ini. Ima sedikit terlihat panik saat melihat rotinya yang sedikit gosong, sedikit sih tapi membuat penampilannya terlihat begitu buruk.
Entah, karena hanya ini yang ia bisa akhirnya membawa roti itu dan di letakannya di atas meja. Di sana terlihat Ilham yang sudah duduk sambil menatap ponselnya, dia terlihat begitu serius sampai tidak sadar sudah ada Ima di depannya.
"Ini sarapannya, maaf ya gosong." Ima menampilkan deretan giginya, Ilham mengalihkan pandangannya kepada Ima, di tataplah roti istrinya itu, tanpa ragu-ragu ia menyantap roti berselai cokelat itu. Tanpa sedikit pun keraguan membuat Ima malah terdiam tidak percaya jika Ilham memakan rotinya tanpa komen sedikit pun. Ilham menghentikan aksi makannya ia menatap Ima dengan tajam.
"Kenapa kamu tidak sarapan?"
"Aku tidak suka roti," jawabnya.
Sejak kecil Ima memang tidak menyukai makanan berjenis roti, entah kenapa? Yang jelas Ima selalu ingin muntah bila harus memakan roti."Terus kenapa kamu membuat sarapan roti?"
"Karena aku tidak bisa memasak yang lain." Ima berkata dengan jujur, bagaimana pun ia memang harus berkata jujur kepada suaminya mau menerima atau tidak karena inilah faktanya ia hanya gadis manja yang tidak bisa memasak.
"Kalau begitu kamu harus belajar lagi dari sekarang."
"Aku pasti akan belajar kak, sesuai ucapanku aku akan menjadi istri yang baik."
"Baiklah, jangan cuma ngomong doang tapi buktikan." Ima sedikit lega setidaknya hari ini suaminya tidak terlalu terlihat dingin dia terlihat tenang.
"Minumnya mana?" tanya Ilham lagi.
"Eh iya lupa, mau apa minumnya?" Ima kembali tersenyum.
"Kopi saja," jawab Ilham singkat.
Tanpa bertanya lagi Ima segera membuatkan satu gelas kopi untuk Ilham suaminya, tidak menunggu waktu lama ketika dilihatnya sudah selesai Ima segera memberikan kopi itu kepada Ilham.Sejenak Ilham menatap kopi yang sudah berada di depannya, tanpa ragu ia segera meneguknya. Kening Ilham berkerut membuat Ima juga ikut berkerut.
"Kenapa? Apa ada yang salah dengan rasanya?" tanya Ima gugup, ekspresi Ilham menggambarkan jika rasa kopi itu memang tidak enak.
"Kenapa rasanya berbeda dengan kopi yang kamu suguhkan di rumah waktu itu? kopi yang sekarang ini tidak manis airnya terlalu penuh." Komentarnya.
Ima sedikit bingung mau jawab apa, karena yang di rumahnya dulu pantaslah enak, soalnya itu pembantunya yang membuatnya Ima hanya mengantarkannya dengan mengaku dialah yang membuatnya padahal nyatanya itu bukanlah buatannya.
"Ternyata banyak yang harus kamu pelajari lagi Ima." Lanjut Ilham.
"Iya Kak maaf ya, nanti aku akan belajar caranya membuat kopi juga deh," ucap Ima seraya tersenyum.
Ilham tidak menjawab, lelaki itu mengeluarkan sesuatu dari dompetnya Ima hanya diam menatapnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Unconditional Marriage (Akan Diterbitkan)
RomanceCinta masa kecilnya kepada lelaki seusia Kakaknya, yang kini berlanjut saat Ima sudah beranjak dewasa. Ima menagih janji Ilham untuk menikahinya. Sementara usia Ima terbilang masih cukup muda. Namun tidak membuat Ima menyesal akan keputusanya untuk...