8.Siapa Wanita Itu?

3.7K 203 8
                                    

Ima tengah menatap Kakak laki-lakinya yang kini tengah seenaknya duduk diatasi sofa seraya memakan sisa camilan yang hari lalu Ima beli, sejenak memang senang karena Kakaknya bisa mengunjunginya tapi kesel juga, karena Revan suka kelewatan jika bertamu di rumah orang, serasa rumah sendiri.

"Kakak pulang deh, Ima nggak mau rumah Ima jadi berantakan," ucap Ima dengan sedikit mengusir.

"Pelit banget sih, mentang-mentang udah punya rumah juga."

"Ima bukannya pelit Kak, soalnya kalau berantakan nanti Kak Ilham marah." Gerutu Ima kesal.

"Memangnya Ilham suka marahi kamu?" Ima langsung terdiam.

"Jawab dong! Berani sekali dia memarahi Adikku ini." Revan memasang wajah tak sukanya.

"Kak Ilham marahnya juga tidak terlalu kok." Ima tidak mau kalau ada permusuhan antara Kakaknya dan Ilham. Masalah rumah tangga tentu harus di rahasiakan.

"Kalau Ilham sampai berani berbuat kasar sama kamu, jangan pernah diam saja! Bilang sama aku, biar aku kasih pelajaran dia."

"Iya, udah jangan di bahas, mending sekarang Kakak pulang." Ima mendorong tubuh Kakaknya dengan paksa.

"Duh Ima, Kakak belum lama di sini masa udah di usir. Kakak kan kangen sama kamu." Ima tidak mendengarkan apa kata Revan, dengan kesal Ima segera mengusir Revan dari rumahnya.

Jebluk!

"Dasar Adik durhaka, tega banget ngusir Kakaknya." Gerutunya.

Ima mendengus kesal seraya membersihkan bekas sampah plastik yang berserakan karena ulah Kakaknya, bahkan di usianya yang sudah cukup tua nyatanya Revan itu selalu bersifat kekanakkan malah Ima merasa jika sedang berdua dengan Revan, dia yang merasa lebih tua dari sang Kakak.

***

Cuaca hari ini tidak terlalu terik membuatnya teringat sesuatu, kartu yang di berikan suaminya tadi mungkin bisa ia gunakan sekarang untuk bersenang-senang.

Ima bergegas pergi naik angkot untuk mengambil uang, karena memang tidak ada pegangan yang artinya ia harus gesek terlebih dahulu.
Setelah dari ATM, Ima pergi ke supermarket, ia masih penasaran dengan makanan ringan yang ia pegang dan belum sempat di beli. Bukankah Ilham sudah memberikan ATM ini yang artinya isinya bebas mau ia pakai apa pun, asal tidak terlalu berlebihan, toh Ima hanya menginginkan camilan saja yang ia rasa tidak akan mengeluarkan banyak uang.

"Pas nggak uangnya? Jangan-jangan nanti kurang lagi." Ledek kasir itu.
Ima mendengus kesal.

"Kali ini saya punya uang banyak, nih di bayar kontan, tidak kurang." Ima memberikan uang dengan sombongnya, biarlah ia di bilang sombong lagian ia benar-benar kesal saat kasir itu malah meledek alhasil membuatnya seperti di permalukan di depan orang lain.

Setelah mendapatkan apa yang dia mau, kebetulan tidak jauh dari sana ia melihat Cafe yang tidak terlalu besar, dan di cuaca yang terik ini pasti sangat enak jika membeli minuman dingin sambil bersantai. Ima tidak bisa menolak godaan itu, ia pun berjalan ke arah Cafe itu.

"Pesan apa, Mbak?" Ima yang baru duduk di Cafe segera mendongkak.

"Ini Mbak." Ima menunjuk menu yang sempat ia pilih, setelahnya pelayan itu langsung berlalu dari hadapannya.

Ima menatap arah sekeliling, tempatnya tidak terlalu besar namun dekorasi tempatnya membuatnya merasa senang berada di sini ya walau sendirian, tidak seperti pelanggan lain yang tengah menikmati santainya dengan pasangan mau pun sahabat.

Ima tengah menyeruput minumannya yang tadi ia pesan, tanpa sengaja tatapannya malah tertuju kepada seseorang yang kini tengah berjalan bersama seorang wanita menuju ke arah luar. Ima melihat tak percaya jika suaminya pergi dengan wanita lain ke Cafe ini, api cemburu mulai membakar hatinya, Ima hendak mengejar tetapi ia malah ketinggalan mobilnya yang sudah berlalu pergi.

"Kak Ilham sama siapa? Apa mungkin dia selingkuh, ya? Duh kok Ima malah jadi tidak tenang, takut kalau Kak Ilham benar-benar selingkuh." Ima menggerutu tak jelas. Bahkan perasaannya mulai tidak enak, ingin marah juga menangis.

"Ima?" Panggil seseorang. Ima segera menoleh.

"Kenapa kamu ada di sini?" Lelaki itu tersenyum manis kepadanya.

"Eh Rian 'kan." Ima mencoba mengingat-ingat.

"Iya."

"Wah ketemu lagi kita."

"Kamu belum jawab pertanyaanku loh, kenapa kamu di sini?" Ima terdiam beberapa saat, dia mendadak tidak bisa menjawab karena kembali teringat dengan suaminya dan wanita lain.

"Memangnya tidak boleh aku ke sini?"

"Bukan begitu, aku cuma tidak menyangka akan bertemu kamu di sini. Kalau begitu kebetulan aku juga mau bersantai di sini, ayo kita duduk!" Rian melempar senyumnya.
Pikiran Ima masih tidak tenang, ingin mengejar tetapi ia juga tidak tau dimana tempat kerja suaminya.

Karena Rian terus mengajaknya untuk duduk lagi, Ima pun menurut mungkin mengobrol dengan Rian akan sedikit membuat ia tenang.
Rian menatap Ima yang kini tengah sibuk meminum jusnya, sejujurnya Rian merasa begitu senang jika bertemu Ima, gadis yang beberapa hari ini mengusik hatinya, gadis lugu dan cantik yang benar-benar idamannya, kalau boleh jujur Rian akan berkata jika dirinya telah terjerat dalam pesona Ima.

Setelah puas menatap wajah Ima tanpa sengaja tatapannya tertuju kepada sesuatu yang melingkar di jari manis Ima seketika senyumnya memudar.

"Ima kamu sudah menikah?"

Ima menyimpan minumannya, lalu melihat arah mata Rian yang kini tengah menatap cincin pernikahannya. Ima pun mengangguk seraya tersenyum.

"Iya, Ima sudah menikah," ucapnya tersenyum bangga.

Deg!

Rian merasa kecewa saat mendengar Ima sudah menikah yang berarti Ima sudah milik orang lain, ia pikir Ima masih sendiri yang artinya ada kemungkinan untuk ia bisa mendekatinya.

"Kenapa memangnya?" Tanya Ima. Rian segera memasang ekspresi wajahnya ke semula.

"Ah tidak! Oh ya, berapa usia pernikahan kalian?" Lanjut Rian berusaha untuk berekspresi biasa saja walau sebenarnya hatinya sakit.

"Heumm, baru beberapa hari."

"Wah, ternyata masih pengantin baru nih." Senyum Rian menggoda Ima.
Ima tersenyum malu, sambil menjawab, "Iya."

"Oh ya, suami kamu kerja apa?"

"Dia kerja di kantor."

"Berarti mapan dong, ya?"

Ima mengerutkan keningnya, ia merasa pertanyaannya Rian ini terdengar sangat kepo.

"Kenapa malah jadi kepo, ya?" Ima malah jadi bingung.

"Ya cuma mau tau aja sih."

"Oh ya, kamu sendiri udah nikah?" Pertanyaan itu membuat Rian terdiam.

"Nikah, Hahaha siapa juga yang mau sama aku?" Rian terlihat sedang menertawai dirinya sendiri.

"Eh, kenapa malah ngomong gitu?" Ima menatap Rian dengan ekspresi tidak mengerti.

"Aku sudah dua kali gagal nikah, gadis yang aku percaya malah pergi, bagiku pernikahan tidaklah penting." Ima merasa tertarik dengan pembicaraannya.

"Duh pasti sakit banget itu, maaf deh aku seharusnya tidak bertanya seperti itu." Merasa bersalah menanyakan pernikahan kepada orang yang gagal menikah.

"Tidak apa, senang juga sih ada tempat buat curhat."

"Kamu tidak punya teman?" Tanya Ima.

Lalu Rian menggeleng. "Tidak! "

"Kita kok sama, ya."

"Memangnya kamu juga tidak punya teman?" tanya Rian balik.

"Iya, Ima ini tidak pernah punya teman selain Kakak dan suami Ima, hanya mereka yang selalu ada."

Fakta yang sebenarnya betapa kesepiannya ia dulu karena tidak punya teman, jika tidak ada Ilham mau pun Kakaknya entah akan seperti apa kehidupannya.

"Terkadang kita memang kesepian saat tidak punya teman." Balas Rian, seolah merasakan bagaimana kesepiannya saat tidak punya teman.

"Iya benar, aku juga selalu iri bila lihat yang lain punya banyak teman."

"Hm ... tapi sekarang jangan sedih lagi, aku bersedia kok menjadi temanmu." Rian tersenyum.

"Benarkah, wah akhirnya Ima punya teman." Ima tersenyum senang.

"Oh ya, kalau boleh tau berapa usiamu? Sepertinya kamu terlihat begitu muda."

"Iya, Ima memang masih muda, usia Ima baru delapan belas tahun."

"Delapan belas tahun, kamu menikah di umur segitu? Astaga Ima, menurutku itu terlalu muda." Rian sampai menggeleng.

"Ya, tapi kalau udah jodohnya mau bagaimana lagi? Mungkin memang takdirnya sudah begini, mau muda atau tua yang penting udah sama-sama siap." Jawab Ima.

"Iya juga sih, ya sudah silahkan di lanjut minumnya!" Ima pun hanya menurut saja dan kembali meneguk minumannya.

Rian sengaja mengalihkan pembicaraan, karena entah mengapa dia masih tidak bisa menerima jika ternyata gadis yang ia taksir sejak pandangan pertama sudah bersuami.

Begitu aku menemukannya, ternyata dia sudah jadi jodoh orang. Ya Tuhan, mengapa rasanya aku selalu tidak beruntung di dunia percintaan, batinnya.

***

TBC
Mana nih suaranya buat cerita ini kayanya terlalu jelek jadi gak suka yah heum menyedihkan kisah Ima sama Ilham.


07-03-2018/revisi 14-02-23

Unconditional Marriage  (Akan Diterbitkan)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang